WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Minggu, Juli 28

Catatan Ketua Delegasi Komnas HAM RI dari Geneva

UN Headquarters at Geneva
Tahun 2005, Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Itu berarti demi hukum negara RI terikat untuk memenuhi semua kewajibannya, kecuali terhadap Pasal 1 yang direservasi.

Untuk mengawasi agar semua negara peratifikasi UU—disingkat KIHSP—mematuhi kewajibannya, yakni menghormati dan melindungi semua hak yang tertuang dalam kovenan itu, PBB mendirikan Komite HAM. Dalam konteks itu, negara pihak KIHSP harus menyampaikan laporan kepada komite di atas terkait langkah dan kemajuan yang dicapai untuk mewujudkan semua hak yang termuat dalam kovenan. Laporan itu disampaikan dalam satu tahun sejak berlakunya KIHSP di negara yang bersangkutan dan selanjutnya setiap diminta komite.

Di bawah KIHSP ada 24 hak sipil dan politik yang wajib dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Hal itu antara lain hak menentukan nasib sendiri, persamaan hak laki-laki dan perempuan, hak hidup, kebebasan dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas pemeriksaan adil dan proses hukum yang semestinya, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas kebebasan berserikat, hak politik, hak atas kedudukan yang sama di depan hukum, hak-hak minoritas etnis, agama atau bahasa, dan hak sipil politik lainnya.

LaporanIndonesia
Delapan tahun sejak peratifikasian KIHSP Indonesia pada 2013 menyampaikan laporan awal implementasi kovenan tersebut di Indonesia. Laporan Pemerintah Indonesia lebih banyak mengedepankan
kemajuan normatif berkaitan dengan penghormatan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik. Di depan sidang ke-108 Komite HAM PBB Juli 2013, delegasi RI mengemukakan, rencana aksi nasional HAM (ranham) untuk mengarusutamakan HAM di semua kebijakan nasional. Indonesia telah pula mengembangkan kerangka kerja legislasi dan kelembagaan untuk memajukan HAM.

Delegasi RI menegaskan, KIHSP berfungsi sebagai fondasi penting bagi berbagai UU yang diundangkan kemudian di bidang hak-hak sipil dan politik. Dalam konteks itu, sistem hukum menjamin kebebasan dasar, yaitu berkumpul secara damai, berekspresi, dan berserikat. Selanjutnya, konstitusi menjamin kebebasan beragama. Ranham juga memprioritaskan penguatan kesetaraan gender dan pembaruan KUHP di mana larangan penyiksaan akan disesuaikan dengan konvensi PBB yang menentang penyiksaan.

Atas penyajian laporan delegasi RI itu, Komite HAM PBB menanyakan antara lain: 1. Remedi apa yang tersedia bagi para korban pelanggaran HAM? 2. Apakah para anggota militer yang melakukan tindak pidana biasa diadili pengadilan militer yang tidak independen dan transparan? 3. Langkah apa untuk mengimplementasikan akses ke keadilan yang diluncurkan pada tahun 2009? 4. Apa tindakan pemerintah untuk memastikan UU dan peraturan daerah sesuai dengan KIHSP?

5. Apa yang dilakukan pemerintah untuk menyidik kasus penggunaan senjata berlebihan dalam menghadapi para pemrotes di Papua, dengan sejumlah pemrotes meninggal? Sebanyak 70 pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua, mengapa tidak ada pelaku yang diadili?

6. Mengapa hukuman mati secara sistematis dikenakan kepada para terpidana narkoba? 7. Mengapa pemerintah mengeluarkan peraturan khusus yang membatasi hak-hak komunitas Ahmadiyah? 8. Apa langkah pemerintah untuk mewujudkan Badan Pemantau Independen atas fasilitas dan kondisi tempat- tempat penahanan dan lembaga pemasyarakatan? 9. Apakah KIHSP secara langsung diterapkan pengadilan? 10. Apa ruang lingkup reservasi atas Pasal 1 KIHSP oleh Indonesia?

Itulah sebagian pertanyaan yang diajukan Komite HAM PBB. Utusan RI menjelaskan bahwa proses hukum patut dijamin bagi semua korban pelanggaran HAM oleh militer pada masa lalu. Tiga kasus pelanggaran HAM berat oleh Jaksa Agung telah diajukan ke pengadilan, tetapi para pelakunya dibebaskan hakim karena tindakan mereka bukan bagian dari serangan meluas terhadap penduduk sipil.

Dijelaskan pula, sudah ada diskusi antara pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Pengadilan Militer. Utusan RI menegaskan, pidana mati hanya dikenakan pada kejahatan sangat serius, dan dijalankan setelah grasi ditolak presiden. Menurut delegasi RI, reservasi Pasal 1 KIHSP mengacu pada prinsip hukum internasional berkaitan integritas dan kesatuan politik negara berdaulat. Walaupun bukan sesuatu yang biasa dipraktikkan, pengadilan dapat menerapkan KIHSP.

Semangat keterbukaan
Tanggapan utusan RI atas pertanyaan Komite HAM tidak seluruhnya tepat, terang, dan tuntas. Namun, terasa adanya keterbukaan dan semangat dialogis dalam interaksi antara delegasi RI dan Komite HAM. Komite HAM mengajukan sejumlah pertanyaan kritis soal pelanggaran HAM dan kebijakan nasional HAM RI. Lalu, utusan RI menjelaskan kemajuan yang dicapai dan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan KIHSP.


Jauh dari kesan mencari kesalahan dan menghakimi, dalam interaksi dialogis itu kedua belah pihak berusaha memahami masalah dan tantangan agar menjadi dasar bagi Komite HAM PBB merumuskan kesimpulan dan rekomendasi bagi perbaikan implementasi KIHSP di Indonesia.

Laporan awal tentang pelaksanaan KIHSP kepada Komite HAM PBB adalah suatu capaian karena pertama, menunjukkan komitmen Indonesia untuk menjalankan KIHSP.


Kedua, menunjukkan Indonesia menerima paradigma baru dalam hubungan internasional, yaitu relativitas kedaulatan negara di hadapan Hukum Internasional HAM: Bahwa kedaulatan negara penting untuk melindungi harkat dan martabat rakyat, termasuk hak sipil dan politiknya. Ketiga, menunjukkan kesediaan Indonesia bekerja sama untuk memajukan dan melindungi HAM. Di atas semuanya, perlu usaha yang terukur pada tataran domestik, antara lain, menyelesaikan secara adil kasus-kasus pelanggaran HAM.

Tulisan ini dikutip dari Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Delegasi Komnas HAM RI Pada Pertemuan Tahunan Dewan HAM PBB Di Geneva)


Resource :
Roy Simbiak Via Email.


Selasa, Juli 23

Long Life for the WPNCL

Ada yang bertanya, bagaimana kalau para pemimpin WPNCL saat ini tiada (meninggal) ?? sudah ada yang siap - siap ganti k?? "...Sa mau kastau, bahwa kami WPNCL punya stock saat ini ada 75 pemimpin/ leaders, mereka ini dipilih oleh anggota-anggota untuk memimpin organisasinya, pasti (they are) punya karakter dan kualitas untuk memimpin, mereka adalah pemimpin -pemimpin organisasi pembebasan baik diluar maupun di dalam negeri. Generasi muda dan tua ini siap duduk dalam kepemimpinan WPNCL kapan saja mereka di[pilih dalam KTT/sidang istimewah/luar biasa WPNCL. jadi tidak harus tunggu ada yang meninggal juga, karena dalam KTT WPNCL (the Leaders Summit of the WPNCL), para pemimpin punya keputusan untuk memilih dan menunjuk kepemimpinan WPNCL.

WPNCL adalah koalisi kepemimpinan dari wadah organisasi-organisasi yang mendukung pembebasan bagi bangsa Papua Barat baik d dalam dan di luar negeri.

Thank you, tumas.. brother belong me, long life for the WPNCL.

Resource : Ms Paula Makabori/ Facebook



Politik Militer RI ala Perpres P4B

Personal Picture
Pada bulan mei 2013 lalu, Presiden SBY telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres), Perpres  tersebut cukup memiliki nilai strategis juga nilai politis di Papua dan Papua Barat, Perpres dimaksud adalah Perpres Nomor 40 Tahun 2013 tentang Percepatan Pembangunan di Propinsi Papua dan Papua Barat (P4B). secara substantive Perpres tersebut tentu tidak lepas dari kewenangan Presiden selaku kepala pemerintahan terutama pada system presidensial Republik Indonesia. Perpres juga bagian dari kewenangan pemerintah dalam mengintervensi kebijakan – kebijakan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat di daerah yang disebut bagian dari RI.

Namun, adalah kontras bila suatu proyek diklaim langsung untuk dikendalikan oleh departement pertahanan (departement of defence), departement yang dikenal hanya mengurusi masalah yang berkaitan langsung dengan system of the state defence for the republic of Indonesian. Logika sederhana yaitu, mana mungkin penganggaran untuk kebutuan pertahanan dialihkan ke infrastruktur non-militer dimana merupakan urusan department atau kementrian pekerjaan umum..???

Terlanjur, Perpres ini memberi mandate terhadap TNI untuk terlibat pada sejumlah proyek pembangunan jalan di Papua dan Papua Barat (lihat pasal 3 Perpres). Disebut Perpres P4B adalah singkatan dari Percepatan Pembangunan di Propinsi Papua dan Papua Barat.

Pihak kementrian PU dalam hal ini hanya diberikan mandate sebagai pelaksanaan teknis dari proyek tersebut, sementara anggaran proyek pembangunan jalan ini dibebankan pada kementrian pertahanan melalui daftar pengisian pelaksanaan anggaran kementrian pertahanan (lihat pasal 4 ayat (2) Perpres), pembangunan jalan diluar lampiran yang dimaksud adalah proyek yang menjadi penganggaran kementrian PU.

Peran TNI dalam proyek P4B demikian mungkin dapat diterima (wajar) bagi warga non-papua atau propinsi lainnya diluar Papua dan Papua Barat, akan tetapi memorie passionis masyarakat Papua tidak pernah surut berkaitan dengan militer RI. Seorang peneliti menulis dalam bukunya bahwa wajah Indonesia untuk Papua adalah wajah militer bukan wajah Guru atau Mantri (perawat).

Proyek P4B yang menggunakan energy dari TNI memang merupakan serious problem, mengingat sejumlah kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu hingga kini yang belum tuntas atau setidaknya mendekatkan keadilan kepada para korban. TNI yang oleh UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI diberikan peran OMP dan OMSP sampai sekarang telah menjadi rahasia umum dimasyarakat Papua bahwa operasi-operasi TNI masih efektif dilakukan, jika OMSP yang kemudian digelar berwajah proyek P4B besar kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh TNI berulang di west papua.

Misalnya pertama Bisnis, soal ini tidak dapat dipungkiri TNI punya bisnis di laut, hutan, gunung yang ada di Papua sehingga proyek P4B tentu sangat menguntungkan akses bisnis-bisnis itu semua. Kedua, Jejak pelanggaran HAM (Human Rights Abuses) ada banyak fakta yang sangat menganga untuk dibuktikan di pengadilan kejahatan soal kasus pelanggaran HAM TNI, proyek P4B besar keumngkinan akan menhilangkan jejak-jejak tersebut sebelum diketahui oleh hukum nasional dan atau hukum internasional.

Ketiga, proyek P4B adalah baik dari politik penguasaan Koter (Komando territorial) dan komando non-organik terhadap Papua, sehingga dapat menjadi nilai jual ke Pemda dan Investor terkait fee jasa keamanan infrastruktur yang sewaktu-waktu dapat saja diklaim sebagai infrstruktur militer sebab menggunakan anggaran pertahanan.

Berikut dapat dilihat daftar lampiran Jalan P4B di Papua dan Papua Barat berdasarkan Perpres 40 Tahun 2013.

A.   Provinsi Papua

1.    Log Center Power Station Urumuka
2.    Jalan Base-G
3.    Jalan Sentani – Depapre – Bongkrang
4.    Sarmi – Kasonaweja
5.    Arbais – Sarmi
6.    Logpond – Suator
7.    Lagari – Wapoga – Botawa – Kalibaru
8.    Wapoga – Ingerus – Otodemo
9.    Bagusa – Kelapa Dua
10. SP tiga – Barapasi – Waropen (Kalibaru
11. Ilaga – Mulia – Karubaga – Bokondini
12. Linkar Supiori
13. Sumber Baba – Randawaya
14. Yetti – Ubrub – Oksibil
15. Oksibil – Kawor (Iwur) – Waropko
16. Kenyam – Gearek – Pasir Putih – Suru – suru – Dekai
17. Mindiptana – Kombut
18. Habema – Tiom
19. Batas Batu – Dermaga Mumugu
20. Sumo – Holuwon – Mugi (Batas Jayawijaya)
21. Lingkar Yapen (Woi – Poom – Rosbori – woda – Waindu – Dawai)
22. Mulia – Mewulok – Sinak
23. Dodalim – Poletom
24. Okaba – wanam
25. Wanam – Nakias – Kaliki
26. Merauke – Jagebob – Erambu
27. Waemeanam – Sumuraman
28. Jalan Agats
29. Bade – Taga Emon – Mur (Kepi – Merauke)

B.   Provinsi Papua Barat

1.    Prafi – Manyambu – Anggi – Ransiki;
2.    Atori – Haimaran – Teminabuan
3.    Mameh – Windesi – Kwatisore
4.    Aimas – Klamono – Klabra – Klabot
5.    Tanjung Demon – Baum – Dasri
6.    Ayamaru – Fef
7.    Lingkar Mansinam
8.    Kisor – Fuog
9.    Werba – Siboru – Teluk Patipi – Kokas
10. Lingkar Waisai
11.  Mega – Saisafor – Saukorem – Arfu


Resource : Perpres No. 40 Tahun 2013

Rabu, Juli 17

Arlince, Pesan Perang Yang Curang

Koleksi Foto Pribadi
Ia, Arlince Tabuni, gadis Papua berusia sekitar 12 tahun, putri kembar dari saudari lainnya Arlin Tabuni anak seorang Gembala dari Gereja Baptis Guneri I, Distrik Mukoni - Lani Jaya, Papua.

Gadis manis ini, dieksekusi secara tragis oleh pasukan militer RI pada 1 Juli 2013 di Kampung Popume, Lani Jaya. Insiden berdarah ini berawal dari kedatangan pasukan TNI ke Popume yang menanyakan "Dimana gerombolan OPM yang ada di Balingga ....", pasukan TNI adalah Satgas Amole yang dtugasi berdasarkan klaim mereka mencari orang yang terlibat dalam aksi keributan di Polsek Tiom, kata, Matius Murib (Komisioner HAM Papua). buntut dari penyisiran menggunakan kekuatan tempur (TNI) inilah yang kemudian tumbalnya seorang Arlince.

Kematiannya oleh satuan tempur Indonesia sangat mungkin untuk diduga, saksi mata mengatakan "......Sekitar empat orang anggota TNI dengan peluru lengkap dan siaga seolah-olah akan menembak, setelah bertanya pada kami mereka (TNI) lalu pergi turun ke bawah, beberapa waktu kemudian di Kampung Popume terdengar bunyi tembakan ada tiga kali. Kami kaget, kami ke arah tembakan kami lihat korban tewas" selanjutnya "......Kami bilang, KOMANDAN.... HORMAT..... PERMISI....", lalu kami balik tubuh korban, kami lihat ternyata dia anak gembala yang tertembak di dada, kami lalu katakan kepada mereka (TNI), "..MENGAPA TEMBAK BEGINI, ANAK KECIL TIDAK TAU APA.." ujar MM (Saksi mata). dengan demikian, sangat mungkin unit perang RI, TNI sangat terlibat dalam penembakan itu.

Tragedi Arlince, tidak kurang dari empat hari sebelumnya pada 26 Juni 2013, Goliath Tabuni telah mengirim pesan kepada Kapolda dan Pangdam "...HARAP KAPOLDA DAN PANGDAM XVII/CENDERAWASIH DAPAT MEMBERIKAN PENDIDIKAN YANG BAIK KEPADA ANGGOTA, AGAR MEREKA TIDAK MELANGGAR ATURAN PERANG DAN HUKUM INTERNASIONAL, TERUTAMA KONVENSI JENEWA IV SOAL PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DIWAKTU PERANG". Pesan sebagaimana mengingatkan TNI soal konvensi Genewa 1949. Konvensi Genewa, telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai hukum Nasional Indonesia dengan Undang - Undang No. 59 Tahun 1958 tentang "Ikut serta negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa, 12 agustus 1949. Proses ratifikasi tersebut dilakukan tanpa adanya reservasi atau pensyaratan terhadap isi konvensi sebagaimana menurut azas "Pacta sunt Servanda", MAKA INDONESIA PUNYA KEWAJIBAN UNTUK MELAKSANAKAN DAN MEMATUHI KONVENSI TERSEBUT.

Dalam literatur hukum Indonesia, perang adalah sebuah operasi, hanya saja dipisahkan menjadi dua bagian. Menurut Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang - Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan, OMP (Operasi Militer Perang) dan OMSP (Operasi Militer Selain Perang). OMP dan OMSP tentunya merupakain bagian dari rangkain fungsi pertahanan negara, sangat mungkin OMSP pada 1 Juli 2013 di Lani Jaya mendapati restu dari Negara sebab mereka telah bertanya kepada penduduk sipil gerombolan OPM. 

Jika demikian, ARLINCE ADALAH PESAN PERANG YANG CURANG terhadap pernyataan Goliath Tabuni...

Resource :
Papua Post
Majalah Selangkah



Kamis, Juli 11

UN to take NGO reports on RI human rights seriously

UN headquarters
Geneva
Members of the United Nations Human Rights Committe (UNHCR) said they would terat reports of Indonesia's human rights record, presented by NGO's, as essential input in considering points of recommendation to be made at the end  of an upcoming session by the Committee.

UNHCR head Sir Nigel Rodley underlined the significance of the NGO's reports. " All the reports that we get from civil society are very important to us, since government reports inevitabily tend to portray things in the best possible light," Rodley told the Jakarta Post.

Indonesia's delegation, wich comprises 22 governemnt officials, police and military officers and is led by the Law and Human rights' Director General of human rights, Harkristuti Harkrisnowo, is scheduled to present in initial report on the state of civil and political rights in the country at UN headquarters in Geneva on Wednesday and Thursday.

It will be the first Indonesian report examined by the committee, eight years after the country ratified the International Covenant on civil and Political Rights (ICCPR). The Committee will also hold formal and informal session with the NGO's.

Rodley underscored the fact that the 18 members of the Committee needed to hear from different parties to gain more insight. "There is no way we can be expert on all the countries the are parties to the covenant. So we are highly dependent on civil society to draw our attention to what seem to be the key issues in relation to compliance to the covenant", he said.

After all the hearing, the committee will identify three to four recommendations based on specific urgency and the possibility of being implemented within a one year period. These recomendations, wich will clearly be identified in a paragraph at the end of the concluding observations, are expected to be issued at the end of july.

Representatives of the NGOs will emphasize rights violations during an informal session or the second meeting with the experts on wednesday.

Haris Hazhar, coordinator of the Commission for missing Person and victims of Violence (Kontras), said the government's writen report focused more on legal reform, but did not elaborate on the real situation concerning a number of human rights violations in the country.

Indiria Fernida of UK-Based Tapol, an NGO that works on behalf of political prisoners, stressed the restrictions on freedom of opinion and expression in Papua and West Papua.

She said, the evidence on the ground suggested that measure taken to guarantee freedom of expresion in Papua and West Papua had been ineffeective. "Moreover, vilations of the right to freedom of expression have intensified since, " 2013, she said.

Representatives from the NGOs also plan to highlight the newly endrosed and controversial Mass Organization Law, wich it is feared will give the government greater control over public activities, such as the power to disband an organization deemed a threat to the state.

The new law clearly violates freedom of association. it also stipulates [the creation of] a new institution with  an unclear mandate to function as a clearing house, which could limit how NGOs operate,: Human Rights Working Group executive Director Rafendy Djamin said.

The ICCPR, a multilateral treaty adopted by the UN General Assembly in 1996 and entered into force on March 23, 1976, obliges all parties to respect the civil and political rights of individuals, including the right to life, freedom of religion, speech and assembly as well as electoral rights and the rights to due process and a fair trial.

Resource : Yohana Ririhena, The Jakarta Post

Rabu, Juli 10

Through The Press Relase of The WPNCL


WPNCL Delegation at the MSG Summit
The many years of lobby by the independence movement the OPM, a job now carried on by West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) has entered a new chapter in its international efforts. Due to consistent pressure by Vanuatu and many others leaders including civil society organizations in the pacific especially in melanesia finally the leaders of the Melanesian Spearhead Group (MSG) made a decision on west papua during its 19th Summit held in Noumea, Kanaky/New Caledonia. In its resolution announced in the plenary session on 21st June the leaders MSG made two important decisions on west papua.

1. MSG fully support the inalienable rights of the people of West Papua towards self-determination as
    provided for under the preambule of the MSG constitution

2. MSG stated its concern about human rights violation and other forms of atrocities relating of the west
    papuan people. It encouraged members to raise these concern through their bilateral relations with
    indonesia.

The new chairman, Excellency Victor Tutugoro of the FLNKS invited WPNCL to attend the opening and also address the plenary session held at the head quarters of the former South Pacific Commission, now South Pacific Community. Speaking in this venue his historic  its self because a Papuan leader, the late Markus Kaisiepo attended the first meeting of the SPC 63 years ago. West Papua was a founding member of the SPC.

The MSG decision on the application by WPNCL for membership was retained awaiting a visit to indonesia by the MSG foreign minister to fulfil Jakarta's invitation. Politically it is an admission by indonesia that the west papua issue is no longer an internal matter for indonesia as some would like the world to belief. It is obvious, indonesia took note of the UN credentials to MSG members for successfully sponsoring decolonization issues for example Vanuatu, East Timor, Kanaky and now Ma'ohi nui/French Polynesia. For the impressive record Indonesia would like to be in good rapport with MSG because it already sensed what will come next. For WPNCL wheter visit or no visit the writing is already on the wall. Indonesia has to comply with United Nations General Assembly Resolutin 1541 (XV).

This is a major achievement for WPNCL and West Papua. in this regard the leadership of WPNCL on behalf of the people of West Papua would like to take this oppurtunity to issue the following acknowledgements:

Firsty, we would like to thank the people of Vanuatu for their unwavering support for our case. They have stood by us since independence and maintained the wish of the late Walter Hyde Lini one of the founding fathers of MSG that "Vanuatu is not really free until all the other melanesian brothers are free from colonialism. "We salute the curent Government especially Rt. Hon. Moana Carcases Kalosil, the Prme Minister and Hon. Eduard Nipake Natapei, Deputy Prime Minister and Foreign Minister for their determination to make sure that the decision  on West Papua must not be delayed. The powerful and passionate speech  on the issue by Prime Minister Moana on behalf of Vanuatu will go down in history.

Secondly, in humble appreciation we fully acknowledge  the inspiring speech by the  RT. Hon. Gordon D. Lilo, Prime Minister of the Solomon Islands. He once told the visiting WPNCL delegation in his office that "the West Papuan case is an in complete decolonization issue, It has been going  on for too long. it must be resolved now". Hon, Lilo have spoken  with convidence after his government has successfully sponsored the re-inscription of Ma'ohi Nui/French Polynesia on the UN decolonization list of non-self governing Teritorries in March this year.

Thridly, WPNCL appreciates the understanding reach by the leaders of the MSG for this historic decision. We very much value the Role of Commodore Vorenqe Banimarama the outgoing Chairman for his leadership that have seen major improvements that make it possible for the MSG to be united as ever in reaching decisions. In receiving the Chairmanship from the outgoing Chairman, Excellency Victor Tutugoro among the other major priorities reiterated the need to resolve the West Papuan issue during his 2 years term of office.

Fourthly, WPNCL would like to acknowledge the work done by the Eminent Group in unison with the lawyers to chart a roadmap  for the MSG. Their Melanesian wisdom that is evident in their recomendation is truly outstanding. They would be remembered by us all and future generation for their invaluable contribution.

Lastly, WPNCL Delegation would like to thank Mr. Peter Forau and his staff from the MSG Secretariat for the excellent work in facilitating the proces fro this major decision. You are making histori in the MSG's role as a vibrant, credible and future looking regional institution. Seeing the still changing political environment and the role played by individuals that contributed to these changes that shapes the history of Melanesia one is reminded of the words of one of the great leaders of Melanesia, the Late Solomon Mamaloni. Addressing visiting OPM leaders in 1995 Mamaloni said, "Young Struggle is Our Struggle, if our generation does not do anyithing about it, forever we would be condemnedby the future generation."

The inclusing of west Papua in the MSG proved beyond doubt the unity of Melanesia as the founding fathers had intended it to be. Let us all of work together to maintain this unity for the shake of the future generations.

Finally, the organization would like to thank the delegation, Dr. Jhon Ondowame, (Vice Chairman and Leaders of the delegation of WPNCL), Mr. Rex Rumakiek (Secretary General of WPNCL), Mr. Andy Ayamiseba (Head of Vanuatu Mission of WPNCL), Ms. Paula Makabory (Head of Human Rights Desk of WPNCL) and Mr. Barak Sope (Former Prime Minister of Vanuatu and Advisor to WPNCL).

The Organization would also like to thank the Seventy Five (75) organization in West Papua that have sent letters to MSG secretariat to support the Application of West Papua National Coalition for Liberation for a full membership.

Issued by the Secretariat of the WPNCL in Port Vila, Republic of Vanuatu, on June 25' 2013.    

Senin, Juli 8

Saat Polisi Tidak Berdaya (Kasus Manokwari)

Aksi Masyarakat Saat Memblokade Jalan akibat kecelakaan
Penegakan hukum yang berfungsi menjadi panglima terhadap siapapun mungkin saja akan sirna, hukum itu polisi, sebab kebanyakan orang awam di Papua selalu miliki ingatan buruk dan baik terhadap Polisi dengan klaim - klaim polisi soal penegakan hukum (law enforcement) kepada masyarakat. hal ini tentu saja menarik kesimpulan bahwa dunia awam menentukan bahwa penegakan hukum dimulai dari profesionalisme Polisi, pengungkapan kasus melalui rangkaian proses penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan di pengadilan mungkin menjadi oase terhadap penilaian yang akan muncul.

Sedikit orang mungkin saat ini masih menaruh harapan kepada polisi, tetapi ada banyak orang mungkin saja memilih hukum rimba atau saja hukum adat sebagai Polisi yang adil bagi mereka sepanjang masa. entahlah pihak polisi sendiri tahu hal ini atau tidak..!!! akan tetapi fakta kewenangan memaksa menentukan bahwa polisi masih diwarnai kultur melaksanakan perintah adalah tugas yang sesuai hukum versi polisi. sebagai representatif negara, polisi berwenang terhadap apapun termasuk stabilitas keamanan, membiarkan dan mengkondisikan instabilitas bisa menjadi kewenangan yang resmi polisi.

ini kontroversi, makanya warga masyarakat juga bisa melakukan aksi - aksi, salah satu contoh, insiden kecelakaan ini terjadi sebulan lalu. korban dari kecelakaan ini menimpa salah satu warga asal suku Manikiyon - Arfak Manokwari. kasus ini kemudian diam tanpa ada konpensasi terhadap korban yang wajar versi warga masyarakat, reaksi polisi yang berdiam terhadap kasus ini kemudian menuai protes warga untuk memblokade ruas jalan.

kasus ini menyebabkan hukum menjadi tidak berdaya diantara kepentingan yang berbeda. setidaknya ini menjadi bahan pembelajaran.