WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Minggu, November 24

MRPB Belum Tahu, Sorong Menjadi Komando Divisi III Armada Timur

Foto Ist; Prajurit Marinir
Sorong, Pada suatu sesi kesempatan, saya buka suara secara pribadi kepada salah satu anggota [maaf, saya tidak mau menyebut identitas] pimpinana MRPB [Majelis Rakyat Papua Barat] soal pengembangan Komando Armada Timur, [KOARMATIM] TNI AL.

“Pertanyaan saya sederhana saja, bahwa TNI AL, sedang merencanakan memobilisasi 15 ribu prajurit marinir ke sorong, Papua Barat dalam waktu dekat, mobilisasi ini akan menjadi penempatan secara permanent pasukan sebagai bagaian dari pembentukan Divisi III Komando Armada Timur yang berpusat di Sorong., TNI AL, hanya mungkin menunggu legitimasi pemerintah saja melalui peraturan dan mungkin 2014 sudah fix, apakah MRP tahu ???.

Jawabannya, itu, MRP Belum tahu. Saya ambil sikap berhenti untuk mengajukan pertanyaan lanjutan, sebab tidak mungkin diskusi harus berlanjut tanpa korelasi.
Of course, not a wrong, if the MRP’s gave the answer like this mengingat UU Special Autonomy No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua pada pasal 4 tentang kewenangan Daerah mengatakan secara singkat bahwa “ kewenangan Daerah [Prov Papua & Papua Barat] mencakup seluruh bidang pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, moneter dan fiscal, keagamaan,  dan pertahanan /keamanan serta peradilan yang menjadi kewenangan central of the government [Jakarta]”.

Secara kasar saya menyebut bahwa ketentuan pasal ini menegaskan bahwa pertahanan dan keamanan adalah bukan urusan MRPB untuk tahu atau tidak tahu, tetapi bagaimana mungkin MRPB harus pasif ??? Saya berpendapat bahwa sebagai representatif kultur west papuan indigenous MRPB sejatinya peka terhadap isu-isu seputar proyeksi kebijakan pertahanan dan keamanan negara yang dikembangan di Papua. Mengapa demikian, pertama; UU Otsus adalah undang-undang yang lebih dulu mengakui bahwa permasalahan Hak Asasi Manusia di Papua adalah kenyataan yang belum tuntas, salah satu aktor dari kenyataan ini termasuk melibatkan TNI secara personal maupun institusi. Kedua, bertolak dari kenyataan diatas, maka MRPB sebagai representatif kultural dibentuk dengan target as a basic right’s defender to the west papuan peopel’s, berkaitan dengan kepentingan tersebut MRP seharusnya tahu dan memberikan pertimbangan, kalaupun tidak ke Jakarta, pertimbangan itu bisa diberikan kepada wakil pemerintah pusat di daerah yaitu Gubernur dan Wakil Gubernur atau juga ke Parlement Daerah.

Menurut sumber informasi Elshinta, penempatan prajurit ini sebagai bagaian dari pengembangan divisi II Komando armada Timur yang saat ini masih bermarkas di tanjung Perak,  Surabaya. Secara kuantitas kekuatan TNI AL, di Indonesia terbagi menjadi dua armada, masing-masing, armada barat yang berpusat  di tanjung Priok Jakarta dan Armada Timur yang berpusat di Tanjung Perak, Surabaya dan Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil).

Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), Laksamana Marsetio mengatakan, “kekuatan marinir di Papua, saat ini baru setingkat satu batalyon. Keadaan ini sangat kurang untuk kepentingan keamanan pulau-pulau terluar”.



Sumber : Elshinta, Jakarta/15/11

Senin, November 18

Tidak Semua Anggota MRP Memahami Latar Belakang Otsus

From Ms. Fien Yarangga
"Saya pikir, perlu dipikirkan keterlibatan teman-teman, ini pengalaman saya terlibat dengan MRP.

1. TIDAK SEMUA ANGGOTA MRP MEMAHAMI OTSUS
Tidak Semua anggoata MRP memahami latarbelakang mengapa ada Otsus, apalagi membaca dan mengerti UU Otsus No. 21/2001. Contohg kecil saja, ketika diskusi terhadap kesatuan kultur  dari aspek pemerintahan , kontek budaya dan pemerintahan negara..... tak ada titik temu, karena pemahaman anggota MRP adalah wilayah administrasi pemerintahan negara. Demikian definisis OAP, dimana saudara2 yang hukum perlu juga menegaskan alasan-alasan hukumnya, karena polemik terjadi bagi mereka yang anak peranakan. apalagi yang jelas2 orang tuannya lama tinggal di Papua.

Padahal menurut saya, definisinya sangat mendalam sekali : (Orang Asli Papua) : Bapak-Mama Orang Asli Papua, yang punya dusun, bahasa dan budaya.

2. RANCANGAN JAKARTA 
Pemikiran perubahan UU Otsus ini adalah rancangan Jakarta, dimana tidak pernah secara terus terang menyatakan bahwa OTSUS GAGAL, tetapi tiba-tiba ditawarkan naskah akademis yang tidak memperlihatkan sebuah kajian ilmiah (filosofis, sosiologis, yuridis). tiba-tiba ada Naskah Akademis, ada yang terbuka bahwa itu hasil kerja timnya Feliks Wanggai CS. yang saya mau sampaikan disini bahwa mengapa saudara-saudara hukum tidak pernah memikirkan "menggugat" pelanggaran hukum yang dibuat oleh Negara sendiri ?? tetapi malah kita semua terlibat untuk kerja keras ?? menghalalkan cara-cara demikian. Dan ini yang terjadi selama ini di Papua, bangun wacana case OAP, bakali baru tokoh-tokoh OAP mulai ajak duduk dan seterusnya.... Kita sudah capek. mengapa harus demikian terus??

3. REALISASI HASIL RDP MRP
Bagi teman-teman yang terlibat, silahkan tetapi tolong realisasi hasil RDP MRP yang hanya berisikan dua rekomendasi : DIALOG JAKARTA - PAPUA harus segera dibuat dan PERUBAHAN UU OTSUS PLUS HARUS MELALUI MEKANISME YANG BENAR (Maksudnya atas permintaab OAP, permintaan OAP terhadap UU Otsus sudah jelas baha OTSUS GAGAL tapi tidak pernah diakui oleh pemerintah.

ini,. kira-kira tanggapan saya, jadi teman-teman yang terlibat, maaf jangan pakai kata memberikan bobot.

Selamat Berjuang


This information taken from the email

Jumat, November 15

The Letters from the LP3BH Manokwari to Prime Minister of the Republic of Vanuatu

His Excellency Mr. Moana Carcasses Kalosil
Prime Minister of the Republic of Vanuatu
Port Villa

Dear Mr. Prime Minister,

On behalf of Institute of Research, Analysis and Development for Legal Aid, West Papua, please allow me to extend my deepest appreciation for your continuous support to the struggle of the people of West Papua. 

I specifically would like to express our unlimited gratitude for your most outstanding and treasured speech in a United Nations General Assembly 28th of September, where you called on the UN to reconsider Indonesian sovereignty over our beloved country West Papua.  Your call for the appointment of a UN special representative to investigate West Papua’s political status was the only peaceful way to initiate a lasting and final political solution for West Papua.

The people of West Papua cannot thank you enough for what you, and the people of the Republic of Vanuatu, have done for us.  As we continue to press forward, enduring the hardships on the daily basis due to illegal occupation of our land and continuous violations of our rights, your recent speech at the UN was the most effective motivation and reminder to every West Papuan, that we are not alone in this long struggle.  With the help of God Almighty, and the strong support of our beloved Vanuatu brothers and sisters, we know that our sacred dream will soon be realized.

On behalf of the people of West Papua, may I request your assistance to insist on the members of Melanesian Spearhead Group to undertake their promised visit to West Papua in the near future.  It is very important for the MSG leadership to observe by themselves the fate of the West Papuans in their ancestral land.  It is the most objective way for the Melanesian leaders to directly learn by themselves the true experiences of the indigenous West Papuans..  I hope this visit will give them the necessary facts before MSG makes the decision on the membership of West Papua in MSG.

May our God Almighty continues to bless the Republic of Vanuatu and its leaders.  May God continues to bless and sustain you, Mr. Prime Minister in your daily activity.


Regards,

Director of the Institute,




Yan Chris Warinussy

Kamis, November 14

Sebanyak 39 Anggota DPR Papua Barat Menjalani Sidang Korupsi

Ke-39 Pejabata DPR - PB Pada Sessi sidang korupsi
Di P. Tipikor Papua, Jayapura
Foto : Bintang Papua.com
JAYAPURA : Pada hari kamis, (14/11/13) Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Papua, Jayapura. Sebanyak 39 Anggota DPR Papua Barat aktif periode 2009 - 2014 menjalani sidang sebagai terdakwa dalam dugaan tindak pidana Korupsi APBD Provinsi Papua Barat sejumlah Rp. 22 Miliyar Rupiah. para terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana dmaksud dalam Undang - Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 tahun 2001.

Jaksa Penutut dari Kejati Papua mendakwakan Ke-39 Anggota DPR Papua Barat bersalah melanggar pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sidang sejumlah pejabat DPR Papua Barat yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Papua dan tidak di pengadilan Tipikor Papua Barat lantaran alasan keamanan, terutama berkaitan dengan suasana persidangan termasuk juga keamanan dan kebebasan aparatur penegak hukum untuk memproses persidangan.

Ujian Bagi Profesionalitas :
Sidang Ke-39 Pejabat DPR Papua Barat aktif ini sangat bertensi, suasana politis sesungguhnya paling domain mewarnai proses. hal ini terjadi sebab ke-39 Pejabat DPR Papua Barat ini adalah Caleg, baik caleg DPR Papua Barat dan juga Caleg DPR - RI. oleh sebab itu maka secara politis, proses sidang ini adalah ujian bagi track record terhadap popularitas yang bersangkutan bagi masyarakat secara khusus di wilayah Propinsi papua Barat.

Wakil Ketua DPR Papua Barat Disidang Korupsi


Jimmy D. Itje Terdakwa Dalam Kasus Korupsi
Kasus Pinjaman Rp. 22 Miliyar yang dilakukan oleh
Ketua DPR Papua Barat Periode 2009-2014
[Foto : Pribadi]

Eye's for West Papua Anti-Corruption :

Sidang perdana terhadap kedua wakil ketua DPR Papua Barat Jimmy D. Itje dan Dakwaan tindak pidana Korupsi digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Papua, di Jayapura. Persidangan dengan Nomor Registrasi Perkara No. 53 Tipikor/2013/PN-JPR ini dipimpin oleh susunan Majelis Hakim yang terdiri dari Khairul Fuad, S.H,.M.Hum (Ketua Majelis) dan Petrus Maturbongs, S.H, serta Bernard Akasian, S.H.

Dalam sidang ini, Jaksa penuntut yang terdiri dari Jhon Ilef Malamasan, SH, Rina Friska, SH, Yohanes Salvador, SH dan I Made Irawan, SH yang membacakan surat dakwaan telah mendakwaan Wakil Ketua DPR Papua Barat melanggar pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Setelah Ketua DPR Papua Barat di sidang pada, Rabu, 6 November 2013 lalu, http://banundisimon.blogspot.com/2013/11/dakwaan-tiga-pasal-dalam-tindak-pidana.html sidang kemudian menyeret wakil Ketua DPR Papua. dan menurut rencana Hari ini (Kamis, 14 November 2013) sidang ke-lima belas pejabat anggota DPR PB.

Sidang Wakil Ketua DPR PB di Pengadilan Tipikor Jayapura
[Foto : Bintang Papua]

Resource : Suluh Papua dan Bintang Papua
     

Minggu, November 10

Deteksi Perkembangan RUU Otsus Plus untuk Papua

Suasana Pembobotan RUU Otsus Plus versi Manokwari,
[Doc Foto : Pribadi]
Manokwari : Catatan ini adalah hasil review singkat fenomena RUU Otsus Plus yang berkembang cukup pesat di Manokwari, Ibu Kota Propinsi Papua Barat. RUU Otsus Plus di Manokwari bermula dari keadaan mendadak yang terjadi dilingkungan Pemprov Papua Barat untuk segera membahas atau diistilahkan sebagai pembobotan draft RUU Otsus Plus ini.

RUU Otsus Plus tentang Pemerintahan di Tanah Papua
[Doc Foto : Pribadi]
Menurut sumber informasi media, RUU Otsus Plus adalah agenda dua pihak antara Pak Lukas Enembe, Gubernur Papua dan Pak SBY, pasca pertemuan 29 April 2013. Di Jakarta, berangkat dari hasil meeting empat mata inilah Otsus Plus direncanakan untuk mengubah Otsus versi manatan presiden RI. Megawati Soekarno Putri (UU No. 21 Tahun 2001). Inilah yang kemudian memaksa Manokwari untuk segera membahas atau juga menyeteuji RUU Otsus Plus tanpa mengikuti iarama pasal 76 dan 77 UU No. 21 Tahun 2001 itu sendiri.


Di Manokwari, kurang lebih selama tiga hari dari hari, Jumat, 8 – Minggu, 10 November 2013. Tiga team ditugasi dan langsung dipimpin oleh Sekda Propinsi Papua Barat Ishak L. Halatu untuk menggagas pembobotan RUU Otsus Plus, team pertama ditugasi memboboti “aspek perlindungan”, team kedua memboboti penghormatan dan team ke-tiga memboboti pemberpihakan yang nantinya diakomodir dalam RUU Otsus Plus versi Manokwari.

[Bersambung]


Resource : Catatan Pribadi


Kamis, November 7

Dakwaan Tiga Pasal Dalam Tindak Pidana Korupsi Untuk Ketua DPR Papua Barat

Trio Pimpinan DPR Papua Barat (Foto : Nabirenet)
Jayapura : Ketua DPR Papua Barat, Josef J. Auri dalam menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Papua, Jayapura pada, Rabu, 06 November 2013 didakwa “bersalah melakukan tindak pidana Korupsi” dengan melanggar pasal 2, Pasal 3 dan pasal 12, UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara itu mantan Sekda, Terdakwa Marthen Luther Rumadas, di dakwa melanggar pasal 2 dan pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi.

Rumusan pasal-pasal tindak pidana Korupsi yang termuat dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut sebagai berikut :

Pasal 2 :
Ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat (4) tahun dan paling lama dua puluh (20) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00,- (Dua ratrus juta rupiah),- dan paling banyak Rp. 1. 000.000.000,00,- (satu miliyar rupiah),-  

Pasal 3 :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat (4) tahun dan paling lama dua puluh (20) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50. 000.000,00,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1. 000.000.000,00,- (satu miliyar rupiah),-  

Pasal 12 :
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal, pasal 425 dan pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua (2) tahun dan paling lama tujuh (7) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000.00,- (seratus juta rupiah),- dan paling banyak Rp. 350.000.000.00,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah).


Untuk informasi lain dari Kasus Tindak Pidana Korupsi DPR Papua Barat dapat diikuti pada artikel http://banundisimon.blogspot.com/2013/11/sejumlah-anggota-dpr-pb-doc-pribadi.html


Resource : UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi dan situs http://tabloidjubi.com/2013/11/06/sidang-perdana-ketua-dprd-papua-barat-dan-sekda-manokwari/ 




Selasa, November 5

AHRC Report against genocide in West Papua has been very good

Is. The picture Taken from Obamavicewestpapua
Manokwari : Research report  from the Asian Human Rights Commission ( AHRC ) on the alleged omission has been the Crime of Genocide in the Land of Papua with a focus on Central Highlands region - Papua between 1977-1978 should be the basis and guidelines for human rights workers , including international human rights organizations and the National Commission for human Rights began investigating the systematic human rights violations that have occurred during the 50 years in the Land of Papua .

Yan Christian Warinussy, Executive Director for LP3BH Manokwari says AHRC research as one of the international human rights organization based in Hong Kong has been very good , especially from the aspect of the methodology and sources used , namely the victims as well as a number of former officers of the local church institutions that participate have a situation and conditions in about the year 1977-1978 .


Further Warinussy when no other party , including the Government of Indonesia and the military / police and local NGOs in Jakarta as contrast doubt the results of such research , then please do your research methodology or less the same and maybe do intervieuw with sources who have direct experience of events the . Should not be interviewed civilian officials and military in Papua current and local NGOs in Jakarta and Jayapura or make cheap from a scientific justification for dropping the AHRC research .

Resource : This posting taken from the email


Sabtu, November 2

"Kasus Korupsi DPR PB, Ujian Bagi Kejaksaan" (Bagian 2 Habis)

Majelis Hakim Ad-Hoc P.Tipikor  Papua Barat [Foto: Pribadi]
Kronologis kasus Korupsi DPR PB diduga terjadi dalam pola pinjaman dana, proses pinjaman tersebut telah terjadi sebanyak dua kali pada dua waktu, melalui dua tahap. Menurut pernyataan versi pimpinan DPR PB pinjaman dilakukan untuk menutupi kebutuan Anggota DPR PB terutama yang dari luar Manokwari seperti tempat tinggal juga kendaraan dinas, untuk kebutuan tersebut, ke-44 Anggota DPR PB saat itu telah menerima Rp. 400 – 500 Juta per-orang. Sementara versi Kejati Papua (melalui hasil penyidikan), “kasus ini berawal dari Pertama pada 17 September 2010 tersangka ketua DPR PB bersama tersangka “Marthen Luther Rumadas” mengajukan pinjaman kepada Dirut PT PADOMA, hari itu juga tersangka  “H. Mamad Suhadi” selaku Dirut mengajukan pinjaman kepada “Marthen Luther Rumadas” sejumlah Rp. 17 Miliyar rupiah selanjutnya diserahkan kepada tersangka Ir. Marthen Luther Rumadas” kepada pimpinan dan anggota DPR PB sebagai pinjaman dewan, Kedua, melalui pola yang sama terjadi pada 09 Februari 2011, Ketua DPR PB bersama “Marthen Luther Rumadas” kembali mengajukan pinjaman sejumlah Rp. 5 Miliyar, pinjaman ini kemudian dikabulkan oleh Dirut Padoma “H. Mamad Suhadi” kepada “Ir. Marthen Luther Rumadas” dan diteruskan kepada pimpinan DPR PB. Berdasarkan peristiwa pinjam-meminjam inilah yang kemudian setelah lima bulan berlalu, pada tahun yang sama tepat pertengahan juli 2011 Kejati Papua menetapkan segenap pimpinan dan anggota DPR – PB sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi. Koordinator Penyidik Kejati Papua untuk kasus Korupsi DPR PB menyampaikan bahwa PT PADOMA bukanlah lembaga simpan pinjam, “tindak pidana korupsi terjadi sebab PT PADOMA menyalahi aturan sebagai perusahan yang bergerak dibidang kontraktor, perikanan dan usaha-usaha lainnya untuk menghasilkan PAD bagi Pemerintah Propinsi Papua Barat.  Akibat menyalahi aturan, biaya APBD Propinsi Papua Barat yang dialokasikan ke PADOMA pun terjadi penyimpangan sehingga menimbulkan kerugian negara”.

Berangkat dari uraian kronologis singkat di atas, beberapa catatan peristiwa dibawah ini saya ketengahkan untuk mencermati kedudukan hukum (legal standing), alasannya yaitu kasus ini telah merugikan kerugian Negara yang mencapai Miliyar rupiah dari APBD sebagai uang rakyat di Propinsi Papua Barat serta juga kasus ini terkesan ditangani secara parsial dengan menyita waktu dan perhatian publik yang terlampau meluas terhadap para pejabat terhormat dari rakyat di wilayah kepala burung Propinsi Papua Barat. Uraian fakta-fakta peristiwa berikut ini adalah pendekatan yang dipakai secara praktis dari aspek hukum untuk melihat integritas dan komitment aparatur Kejaksaan, terutama untuk mengungkap kasus korupsi DPR PB Periode 2009 - 2014.

Peristiwa Pertama yaitu Kejati menetapkan “status tersangka terhadap ke-44 anggota DPR – PB” pada Juli 2011, status tersangka tersebut jika merujuk pada pasal 1 butir ke-14 KUHAP menentukan bahwa “tersangka adalah orang yang karena perbuatannya atau keadaanya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Kata tersangka sesungguhnya wajib dipahami bahwa hal tersebut adalah resiko proses hukum acara, dalam hal ini mengandung kewajiban menjalani pemeriksaan, mengisi berita acara dan proses pembuktian, idealnya demikian. Namun akan terlihat aneh apabilah seseorang tidak pernah menjalani serangkaian proses acara pidana kemudian secara mendadak distatuskan sebagai sebagai tersangka, ke-44 pejabat DPR PB ini pernah membantah klaim Kejati Papua terkait pemberitaan status mereka sebagai tersangka mengingat mereka tidak pernah diperiksa sepanjang tahun 2011.

Selanjutnya kontradiksi Status tersangka apabilah diukur perbandingannya dengan pernyataan mengenai “perijinan pemeriksaan pejabat publik dari Jakarta sebagaimana diklaim Kejati Papua saat itu maka menjadi soal yaitu bilah ijin tersebut tidak pernah ada, secara yuridis mengapa bisa ada out-put penyelidikan mengenai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi, sebab keadaan tersebut terkesan menandakan bahwa ke-44 atau 42 Pejabat DPR PB benar-benar telah menjalani proses pemeriksaan sebagai seorang saksi ataupun terlapor dalam perkara tindak pidana korupsi APBD Propinsi Papua Barat.

Peristiwa kedua, yaitu soal perijinan pemeriksaan ke-44 atau 42 pejabat DPR – PB itu sendiri, secara factual pengertian (definisi) ijin pemeriksaan sebenarnya tidak pernah di atur secara formal dalam berbagai produk perundang-undangan nasional Indonesia. Mengapa harus ada istilah ijin?, hal ini sangat menyesatkan masyarakat, Menurut surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia No. R-86/F/F.2.1/01/2005 telah disampaikan petunjuk pimpinan Kejaksaan Agung RI pada point 1 bahwa “ tindakan penyelidikan, penyidikan dan penahanan terhadap anggota DPRD berdasarkan pasal 106 ayat (4)  UU No. 22 tahun 2003 tentang Susduk MPR/DPD dan  DPR/DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, “tidak perlu”dimintakan persetujuan tertulis terlebih dahulu kepada Presiden atau Kemendagri dan atau kepada Gubernur.

Bertolak dari rumusan surat edaran tersebut maka kepastiannya soal perijinan pemeriksaan yang diwacanakan oleh Kejati Papua sepanjang tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 adalah klaim sepihak yang justru merusak berbagai asas – asas hukum acara pidana terutama asas persamaan dimuka hukum, asas peradilan cepat dan atau juga asas kemandirian dan independensi kekuasaan judikatif.

Masalah perjinan melalui kemendagri ini diungkap oleh pihak Kejati Papua pada tahun 2011 saat itu dijabat oleh Leo R.T Panjaitan, SH. MH, tentunya menuai pertanyaan terhadap rezim Leo R.T Panjaitan sebab pasca terjadi rotasi, Kejati Papua yang saat ini dijabat oleh Eliezer Sahat Manurung, SH kasus korupsi DPR PB mendadak mendapati perhatian dan diproses secara cepat dan tepat tanpa melalui birokrasi yang berbelit-belit, seyogyanya penegakan hukum tindak pidana korupsi memang telah mengutamakan proses yang singkat. Kita bias mengetahi bahwa menurut Surat Edaran Kejagung No. R-86/F/F.2.1/01/2005 telah menegaskan bahwa tidak perlu ada ijin dari Kemendagri terkait pemeriksaan anggota DPR – PB adalah tepat, “surat edaran tersebut hanya mewajibkan Kejaksaan untuk melapor ke pihak Kemendagri dalam waktu 2 X 24 jam apabilah telah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penahanan terhadap anggota DPR PB”.

Peristiwa ke-tiga yaitu adanya “pengembalian kerugian Negara” atau kasus korupsi Rp. 22 Milyar telah dikembalikan ke khas Negara atau BUMD Propinsi Papua Barat, PT PADOMA. Terkait pengembalian kerugian negara, Pasal 4 UU No. 31 tahun 1999 dan yang telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 dinyatakan antara lain bahwa “pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 2 dan pasal 3 UU tersebut.Kemudian, di dalam penjelasan pasal 4 UU 31/1999 dijelaskan sebagai berikut:“Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut.“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.

Berdasarkan pernyataan Tersangka Marthen Luther Rumadas, hingga pertengahan 2012, uang pengembalian pinjaman telah mencapai Rp 17 miliar dari total pinjaman Rp 22 miliar, uang ini dikembalikan langsung ke khas Perusahan PADOMA. Pengembalian tersebut wajar sebagai itikad baik, namun menuai kritik. Secara pribadi saya sependapat dengan Pak Yan Christian Warinussy yang mengatakan bahwa “Kejaksaan jangan sekedar jual jamu belaka, sebab kasus ini [DPR-PB] sudah ditangani lama namun tidak pernah maju-maju, hingga secara perlahan-lahan kerugian Negara dikembalikan hingga lunas. Dikuatirkan nanti rakyat justru memandang bahwa proses kasusnya sengaja diperlambat oleh Kejati Papua, agar para anggota dan pimpinan DPRPB diselamatkan lebih dahulu karena sudah mengembalikan pinjaman uang. Kemudian diproses hukum hanya sebagai sandiwara saja”. Berkaitan dengan pengembalian kerugian Negara, merujuk pada Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor : 003/2010 tentang Pedoman Penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang menegaskan bahwa “tersangka yang mengembalikan kerugian Negara tidak ditahan” adalah fakta bahwa kasus DPR – PB memperoleh indikasi yang di-setting ke arah tersebut. Keadaan ini sesungguhnya mengecewakan, penilaian kritis seperti ini “pengembalian kerugian Negara dilakukan oleh pejabat (DPR PB) aktif tentu sangat berpotensi menciptakan deal–deal tertentu yang dapat mempengaruhi proses dan Penyelidik dan Penyidik miliki posisi tawar yang kuat untuk mempengaruhi ke arah mana deal akan disettinguntuk menguntungkan kedua belah pihak.

Berdasarkan uraian peristiwa di atas inilah yang kemudian menurut pendapat pribadi saya adalah ujian the test for the corruption case bagi Kejati Papua maupun Kejari Manokwari guna membuktikan komitment penegakan hukum tindak pidana Korupsi. Integritas dan komitment tersebut adalah harapan semua pihak diwilayah Papua Barat, kasus ini selalu menjadi tanda tanya publik, mengingat kasus ini melibatkan BUMD Propinsi Papua Barat PT PADOMA, melibatkan APBD sebagai uang rakyat, melibatkan pihak yang dipilih dan dipercayakan rakyat sebagai wakilnya di parlement Papua Barat. Penilaian sederhana bahwa kasus ini telah melibatkan pejabat elit milik rakyat yang akan mencalonkan diri kembali pada pemilu mendatang, kasus ini juga melibatkan para pejabat perusahan daerah yang baru dilantik pada 17 Juli 2013 lalu masing-masing Direktur Utama PT PADOMA, Ir. Marthen Luther Rumadas dan  Direktur Pelaksana (Operasional) PT PADOMA H. Mamad Suhadi inilah fakta yang menarik simpati luas masyarakat di wilayah Propinsi Papua Barat  untuk selalu aktif mengiktui perkembangan kasus ini akan dibawah ke mana ? Apakah kasus ini adalah cara alam untuk menjelaskan mengapa Propinsi Papua Barat memperoleh rangking ketiga indeks korupsi terbesar di Indonesia ? segenap public di wilayah kepala burung Papua Barat juga menanti persidangan kasus ini, dengan harapan keberpihakan proses hukum terhadap keadilan dan kebenaran.

Kasus DPR PB adalah ujian bagi kejaksaan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pemerhati penegakan hukum tindak pidana korupsi di wilayah Propinsi Papua Barat. 

Resource : Personal Artikel
Artikel ini telah dipublikasi dan dapat diakses pada link website :


Jumat, November 1

Kasus Korupsi DPR PB, Ujian Bagi Kejaksaan (Bagian 1)

Sejumlah Anggota DPR PB (Doc: Pribadi)
Sekitar 42 Anggota DPR PB Saat ini telah dipastikan secara resmi oleh Kejaksaan Tinggi Papua sebagai status tersangka. Anggota DPR PB ini adalah pejabat wakil rakyat Propinsi Papua Barat hasil pemilu legislatif untuk masa Periode 2009 – 2014. Secara keseluruhan terdapat 44 anggota DPR PB, namun sementara itu kedua orang lainnya telah meninggal dunia. Dengan demikian maka ke-42 anggota DPR PB sisanya adalah tersangka dalam kasus korupsi APBD Propinsi Papua Barat tahun 2010.

Penetapan status sebagai tersangka ini telah berlangsung semenjak tahun 2011 lalu, Kejati Papua pada waktu itu memastikan dan mempublikasikan di media massa bahwa “telah terjadi tindak pidana korupsi” melalui anggaran yang mengalir dari khas BUMD Propinsi Papua Barat, PT PADOMA[3] kepada segenap pimpinan dan anggota DPR PB”. “Kurang lebih Rp. 17 Miliyar dan sekitar Rp. 5 Miliyar lainnya yang merupakan biaya APBD Papua Barat tahun 2010 sampai 2011 lalu”, anggaran tersebut kemudian mengalami penyimpangan yang diduga dilakukan oleh Dirut PT Padoma saat itu,  H. Mamad Suhadi serta Mantan Sekda Papua Barat Ir. Marten Luther Rumadas, M.Si” dan segenap Pimpinan dan anggota DPR – PB. Akibatnya, Negara mengalami kerugian yang ditaksir secara  keseluruhan  sekitar Rp. 22. Miliyar rupiah.


Walaupun versi penyelidik Kejati Papua “terjadi tindak pidana korupsi sekitar pertengahan Juli 2011 silam oleh DPR – PB”, kasus ini kemudian dibiarkan dan meredup sekian waktu dari tahun 2011 sampai dengan 2013. Hal ini (kasus, red) bagaikan sebuah rumor yang berkembang ditengah-tengah masyarakat tanpa pengungkapan yang berpihak pada keadilan dan kebenaran penegakan hukum alias kasus ini mungkin hanya alibi belaka dari Kejati Papua maupun Kejari Manokwari.

Kala itu terekam bahwa terdapat dua wacana yang berkembang terhadap perkembangan penyelidikan kasus DPR PB, Pertama Kejaksaan sebagai penyelidik mengklaim bahwa telah mengirimkan surat terkait ijin pemeriksaan pejabat publik ke pihak Kemendagri, “penundaan (kelambatan) pemberian ijin” adalah hal yang mana saat itu menghambat proses pemeriksaan ke-44 anggota DPR PB. Dan yang Kedua, sebagai justifikasi tambahan, Kejaksaan kemudian memberi statetment bahwa “perijinan dari Pemerintah pusat (Kemendagri, red) terhadap pemeriksaan pejabat DPR PB akan segera keluar pasca Pemilukada Propinsi Papua Barat tahun 2011”. Alhasil pasca Pemilukada, Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi Papua Barat dilantik tidak pernah terjadi pemeriksaan terhadap pejabat DPR-PB. Dari kedua wacana tersebut mungkin saja benar dalam tanda koma, mengingat Kemendagri sebagai otoritas yang melantik pejabat Kepala Daerah terpilih (Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat, red) tentu tidak mungkin dengan gegabah mengabulkan permohonan pemeriksaan pejabat DPR – PB yang nantinya menggelar rapat paripurna pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat. Dan faktor lainnya, masa bakti Kepala Daeraah Propinsi Papua Barat Periode 2011 – 2016 telah terlewati setahun, tentunya kasus DPR PB harus diminimalisir sesegera mungkin agar tidak sampai mempengaruhi proses persiapan pelantikan.

Josef. Y. Auri Ketua DPR PB (Foto: Pribadi)
Secara politis, riwayat kasus ini memang sebuah ironi mengingat “dimenasi politik mungkin turut berandil”.  Kasus DPR – PB selalu bergolak bertepatan dengan political-moment di Papua Barat. Berdasarkan catatan pribadi saya, kasus DPR – PB pertama kali mencuat pada pertengahan Juli 2011, kala itu DPR – PB sedang sibuk dengan agenda pembahasan kriteria calon kepala daerah orang asli Papua dan pengusulan kandidat kepala Daerah Propinsi Papua Barat Periode 2011 – 2016. Keadaan ini kemudian turut mempengaruhi bahkan terpolitisir hingga menyeret ke jalur hukum para anggota DPR-PB yang nota-bene sebagai anggota partai pengusung kandidat. Hal serupa pun akhirnya diduga berulang, bahwa Tahun 2014 adalah moment dimana para pejabat dewan akan segera bersiap untuk mencalonkan diri kembali sebagai Caleg Periode 2014 – 2019 pada Pemilu 2014 mendatang.

Entahlah, terlepas dari persoalan politik apabilah semua fenomena politik fakta maka barangkali idealnya urusan politik tidak harus bercampur baur dengan urusan hukum, untuk itu maka sangat penting dicermati locus dan tompus delicti terutama waktu (tompus delicti) terjadinya peristiwa kasus DPR – PB. Bilamana tujuannya untuk mendeskripsikan fenomena hukum dan keadilan yang berpihak pada kebenaran. [Bersambung]

Resource : Artikel Personal








































The Training of Documentation for Database



Manokwari : Around three days, Oktober, 31st to November, 02st, Non-governemnt organization (NGO's) at the west papua province follow the training of documentation for database. the participants for the training from kaimana, fakfak, bintuni bay, sorong, wondama bay and manokwari, the training also includ the student from the Papuan University (Unipa) and involve resource man from BPS and Elsam Ms. Triana.

Through the facilitators for the training is Mr. Ari.




Looks, when the participans in the training.