WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Jumat, Februari 20

"Plan to build regional military command in West Papua"



military of the indonesian republic
President Joko Widodo reportedly agreed to a proposal to expand the army’s territorial command in West Papua. The army proposed two more territorial commands (Kodam) in eastern Indonesia. One is in Manado and the other is in Manokwari, the capital city of Papua Barat province. The navy will also expand its command by adding an Armada Command (Komando Armada Tengah) in Makassar. TNI also proposed to revive Komando Gabungan Pertahanan (Joint Defense Command) which is similar to Komando Wilayah Pertahanan (defense territorial command) or Kowilhan. The Kowilhan was established in 1969, and then eradicated in 1984 during the reorganization of the Indonesian military. The TNI chief, Gen. Moeldoko, said that he also plans to revive the position of territorial assistant for the navy and air force.



President Joko Widodo is the fourth civilian president of the reformation era. Three of his civilian predecessors have never served full term in the office. All of those civilian presidents had to deal with the military and in fact it became their biggest challenge. President Widodo too has to confront the same problem. The three presidents were approaching the military differently. President Habibie chose to defy the military completely when he decided to grant referendum to East Timor. President Abdurrahman Wahid chose a more confrontational approach. He often intervened in the military’s internal affairs. President Megawati Sukarnoputri took a very different approach. She gave a ‘blank check’ to the military. She appointed the ultra-nationalist officer Gen. Ryamizard Ryacudu as the army chief of staff. Under her administration, the military was given permission to launch huge operations in Aceh in order to crush the rebellion. Many of Megawati’s military men are now parts of the Jokowi’s administration.



With the hardliners dominate his administration, we can expect that Jokowi will apply a more nationalistic approach in confronting the West Papua problem. Meanwhile, President Widodo promised "to solve" West Papua's problems in his campaign. He won the region handily during the election. However, will he make good of his promises? How will he handle the security forces in West Papua? Can he change the security situation in the region and give Papuans the human rights protection that they deserve?


This article shows the networks of Indonesia's security forces in West Papua. It will be hard for President Widodo to keep his promises to the people of West Papua and at the same time accommodate security interests (and the other interests that come with it) of the military and police. As we shall see, Indonesian security forces in West Papua have grown every year. Meanwhile, security problems in the region are not declining.***Black-FoX

Resource : On-line Media and ETAN
 

Kamis, Februari 19

"Pidana Korupsi, Extra Ordinary Crime Banci Tanpa Hukuman Mati"

Doc.Ist.
Di Indonesia, Ada sekitar empat kejahatan yang dikualifikasikan menjadi Extra Ordinary Crime (EOC) atau disebut kejahatan luar biasa, masing-masing, Kejahatan Narkotika, Kejahatan Pelanggaran HAM Berat, Kejahatan Korupsi dan Kejahatan Terorisme, mengingat daya rusak dari kejahatan ini sangat mempengaruhi kemanusiaan dan atau eksistensi pertumbuhan generasi bangsa. Pemerintah Indonesia akan tampil habis-habisan untuk memerangi kejahatan EOC tersebut. 

Kejahatan Narkotika, diatur di dalam undang-undang 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pelaku yang terlibat kejahatan ini diancam hukuman berat mulai dari pidana penjara hingga hukuman mati, begitu pula kejahatan Terorisme, dapat dilihat pada, Undang-undang No. 9 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan Terorisme, undang-undang yang lahir sebagai konsekuensi dari diratifikasinya "The International Convention for the Suppression of the financing of terrorism, 1999 atau Konvensi Internasional pendaan terhadap kejahatan terorisme)". 

Sayangnya, mencermati penerapan hukum, kedua kejahatan ini, sangat berbeda perlakukan terhadap pelaku kejahatan Korupsi, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. dan Pelanggaran HAM berat, Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

Fakta menunjukan bahwa pelaku kejahatan korupsi sebagai koruptor sangat banyak tersebar di negara Indonesia dari pusat hingga ke daerah sebagain dari mereka menjabat (menduduki jabatan sebagai pejabat aktif) dan sebagian besar lainnya dihukum tidak kurang dari lima sampai dengan sepuluh tahun pidana penjara.

Kejahatan pelanggaran HAM berat menunjukan kondisi yang lebih buruk, Di Papua, Aceh dan East Timor (Sebelum merdeka) pelaku pelanggaran HAM bahkan sebagian besar sama sekali tidak tersentuh hukum yang disebut extra ordinary crime tersebut. padahal nyata-nyata ada bukti atau korban dan ada pelaku (actor) yang dapat dimintai pertanggungjawaban.

Pembedaan yang banci jelas terlihat diterapkan kepada pelaku tindak pidana Narkotika dan terorisme yang mana bisa diduga pelaku berasal dari kalangan sipil. sebagai kejahatan non-struktural pelakunya dengan mudah ditangkap paksa dan dijatuhi hukuman berat. sebaliknya koruptor dan pelanggar HAM kebal hukum, dengan mudah memperoleh akses impunitas dari pemerintah atau Negara. telah disimpulkan di awal paragraf ini, bahwa kejahatan - kejahatan ini mempengaruhi eksistensi kemanusiaan dan pertumbuhan generasi bangsa, kejahatan korupsi sangat sadis ke arah tersebut, ada ribuan angka buta aksara, putus sekolah dan pengangguran serta tingkat kemahalan biaya ekonomi rakyat dan juga biaya kesehatan yang mengerikan akibat adanya anggaran yang terputus total.

Demikian pula, kejahatan pelanggaran HAM yang disebut secara global "gross violation of human rights". kejahatan ini menghancurkan dan mengurangi populasi penduduk diwilayah Indonesia terutama Papua, pelaku kejahatan ini pernah teridentifikasi di Wasior tahun 2001, Wamena tahun 2000 tetapi Kejaksaan Agung justru dengan gampang mengabaikan pelaku kejahatan ini untuk dihukum seperti pelaku kejahatan Narkotika dan Terorisme. 

Inilah kesan EOC banci tersebut diperlihatkan, padahal wajar jika negara asing memprotes dan meminta Indonesia meninjau kembali hukuman mati. Menteri Hukuman dan HAM, Yasonna Laoly melalui pernyataan menyebut "....desakan PBB terhadap hukuman mati, sah-sah saja, tapi kita punya hukum sendiri, kita punya pengadilan sendiri..." adalah komentar yang sangat tidak mengandung makna terhadap penerapan hukum yang proporsional bagi setiap kejahatan luar biasa/EOC di Indonesia, rezim jokowi meneruskan blunder banci untuk menghukum sipil di Indonesia.***

Sumber : Personal Artikel