WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Jumat, Desember 16

"Kontradiksi Kodam Kasuari dan Misi Jokowi Untuk Papua"

TNI AD di Papua (Doc. Foto Pribadi)
Tanah Papua akan segera miliki Kodam (Komando Daerah Militer) Baru yaitu Kodam XVIII Kasuari yang bermarkas di Manokwari, Ibu Kota Propinsi Papua Barat. Pihak TNI AD secara resmi telah mengkonfirmasi, Senin, 19 Desember 2016 Kodam Kasuari segera diresmikan juga pengalihan asset Kodam Cenderawasih yang bermarkas di Jayapura akan diserahkan ke Kodam Kasuari. 

Dipastikan juga oleh TNI AD, Korem 171/PVT Sorong yang membawahi wilayah Sorong, Rajaampat, Sorong Selatan, Fakfak dan Kaimana serta Korem 173/PVB Biak yang meliputi Manokwari, Teluk Wondama dan Bintuni akan menjati satuan organik dibawah Kodam Kasuari, pada 19 Desember 2016 nanti.

Markas Komando Daerah Militer ini berdiri di Kelurahan Arfai, Distrik Manokwari Selatan, Mayor Jenderal TNI. Joppie Onesimus Wayangkau, Akmli 1986, dipastikan juga akan menjabat menjadi orang pribumi pertama yang menduduki kursi Kodam Kasuari.

Keberadaan Kodam ini dipastikan akan menyedot pasukan TNI AD lebih dari 10 ribu prajurit akan bertugas ke Propinsi Papua Barat.

Namun, Kodam Kasuari ini menjadi semangat pihak TNI sementara masyarakat tidak terlalu membutuhkan Kodam, sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, Kodam Papua Barat selalu ditunda pembentukannya dengan alasan keterbatasan biaya.

Pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo menduduki kursi Presiden RI, TNI AD memperoleh lampu hijau untuk membentu Kodam di Manokwari. Aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat, pada prinsipnya selalu aktif menolak pembentukan Komando Teritori ini tetapi pihak pemerintah tetap menyepakati Kodam.

Pemerintah Propinsi Papua yang dipimpin oleh seorang Gubernur berlatar belakang militer, Abraham O. Atururi kemungkinan mendukung pendirian Kodam ini. DPR Papua Barat dan Majelis Rakyat Papua Barat belum banyak bersuara tetapi dipastikan mereka mendukung serius Kodam ini.

Tersisa hanya masyarakat sipil dan LSM yang menyetujui pembentukan Kodam Kasuari, alasanya cukup sederhana dan berdasarkan fakta, sejarah kelam ABRI masih menyisahkan trauma TNI AD yang kejam kepada rakyat sipil yang berbeda pendapat dengan pemerintah Indonesia. TNI mengambil sikap terhadap setiap perbedaan pendapat sebagai ancaman bagi Negara, separatis Negara. Kondisi ini yang masih melekat pada TNI melalui undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 yakni operasi militer selain perang (OMSP).


Jokow Widodo, orang sipil yang dimajukan oleh partai PDI Perjuangan menjadi Presiden kemudian memandang, ada yang perlu disikapi dengan bijaksana untuk Papua dan pendekatan yang ada oleh Jakarta kepada Papua haruslah pendekatan kesejahteraan untuk masyarakat sipil Papua. Jokowi, pada tahun 2015 menyatakan tiga hal penting disamping pendekatan kesejahteraan, yaitu “dibebaskannya tahanan poitik, dibukanya ruang demokrasi sebesar-besarnya untuk rakyat Papua dan dibukanya juga akses jurnalis asing untuk dapat masuk dan meliput perkembangan hak asasi manusia di Papua.


dari komitment Jokowi diatas, maka untuk membentuk Kodam Kasuari bersama –sama dengan Kodam XVII Cenderawasih di Papua tentu kontradiksi yang sulit dibayangkan. Keadaan ini berbeda dengan tenaga dokter dan guru yang berkurang di Papua Barat tetapi yang datang Tentara. Padahal Jokowi sendiri memenangi Pemilihan Pilpres di Papua namun membalas Papua dengan Militer.  Kalau TNI akan berkontribusi untuk Propinsi Papua Barat, bukankah keberadan Polda Papua Barat saat ini sudah cukup untuk memberi proteksi pada masalah keamanan di Papua Barat, sebab pada sisi lain, ancaman eksternal tidak akan ada di Propinsi Papua Barat berbeda halnya dengan Propinsi Papua yang berbatasan langsung di wilayah darat Negara dengan Negara tetangga Papua New Guinea juga wilayah laut yang dekat dengan Darwin Australia.  Jelas tidak maksimal kebijakan membentuk Kodam Kasuari, memboroskan dana yang seharusnya dapat mensejahterakan rakyat Papua sesuai nawacita Jokowi.***Black_Fox.

Tulisan ini melanjutkan dari artikel : http://banundisimon.blogspot.co.id/2015/04/perspektif-antara-otonomi-khusus-dan.html di posting sebelumnya dari blog ini, sebagai bagian dari hak untuk berekspresi dan menyatakan pendapat. 


Rabu, Desember 7

“Bagian II : (Sambungan) Urgensi Pembentukan Komnas HAM Di Papua Barat”

Propinsi Papua Barat (Doc . Ist)

                                                                  OPINI

Adapun melalui pengaturan diatas, sejak hadirnya implementasi Otonomi Khusus dan juga pressure LSM DI Jayapura yang sangat masif, Komnas HAM perwakilan Papua kemudian terbentuk dan berkedudukan di Jayapura guna melayani berbagai kerja terhadap kasus pelanggaran HAM Papua, Lembaga Komnas ini berdasarkan undang-undang bertujuan mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia serta meningkatkan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia secara khusus di Propinsi Papua.

Lantas, bagaimana dengan Propinsi Papua Barat yang telah eksis lebih dari 13 tahun, apakah tidak membutuhkan lembaga ini, atau tidak ada permasalahan HAM atau mungkin cukupkah kantor perwakilan Jayapura bisa efektif menjangkau konstituen termasuk korban dugaan pelanggaran HAM di Propinsi Papua Barat. Ini menjadi materi perenungan seberapa urgensi pembentukan perwakilan Komnas HAM di Propinsi Papua Barat.

Pertama, patut dipahami bahwa Undang-Undang dengan tegas dan jelas mengatur seperti yang disebut paragrap sebelumnya yakni Komnas HAM berkedudukan di Ibu Kota Negara (Jakarta) dan dapat membentuk kantor perwakilan di daerah (pasal 76 ayat (5) UU HAM dan Pasal 55 ayat (2) UU Otsus Papua). Tentunya dengan dasar tersebut demi tegaknya perlindungan, penghormatan dan pemajuan HAM serta efektifitas implementasi Otonomi Khusus Papua di Propinsi Papua maka idealnya dari norma hukum, Komnas HAM Perwakilan Propinsi Papua Barat layak terbentuk serta berkedudukan di Manokwari.

Kedua, melalui Inpres Nomor 1 tahun 2003 Propinsi Papua Barat telah eksis, yang kemudian pada tahun 2008 berstatus Otonomi Khusus terpisah (dimekarkan) dari Propinsi Papua melalui Undang-undang RI No. 35 tahun 2008 tentang penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2008 menjadi Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua Barat. Adapun konsekuensi dari fakta hukum tersebut pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dapat menjadikan legalitas yang serupa untuk membentuk Komnas HAM perwakilan RI di Propinsi Papua Barat.

Ketiga, sejak tahun 2009 penyaluran dana Otonomi Khusus dalam bentuk transfer penerimaan daerah dari pemerintah pusat di Propinsi Papua barat, tidak lagi melalui Jayapura, dalam pengertian konkrit yakni setiap kebijakan maupun program yang timbul dalam rangka otonomi khusus Papua, termasuk pula Hak Asasi Manusia di Propinsi Papua barat tidak lagi miliki relasi diberbagai aspek dengan Propinsi Papua.

Ke-empat, pada tahun 2011, MRP (Majelis Rakyat Papua) kemudian terbentuk di Propinsi Papua Barat dan berkedudukan di Manokwari, institusi ini sebagai lembaga kultur orang asli Papua. MRP juga berperan pada sektor Hak Asasi Manusia, menurut pasal 5 ayat (2) dan pasal 20 ayat (1) huruf e Undang-Undang Otonomi Khusus, MRP juga bertugas dan berwenang dalam “memperhatikan perlindungan hak-hak orang asli Papua  serta memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya”, secara khusus di Propinsi Papua Barat.

Dan Ke-lima, di tahun 2015, DPR Papua Barat dan Pemerintah Propinsi Papua Barat kemudian membentuk dan mengangkat pengisian 11 kursi Otonomi khusus di DPR Papua Barat, sesuai ketentuan pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Otonomi Khusus. Kursi ini memiliki peran yang seirama dengan Majelis Rakyat Papua untuk memperjuangkan hak-hak dasar orang asli termasuk yang maksud undang-undang Hak Asasi Manusia. Kursi Otonomi Khusus di DPR saat ini bukan lagi representasi partai politik nasional agar tidak lagi menjadi corong kepentingan politik praktis tertentu melainkan kepentingan konstituen yang menjadi affirmative Otsuslah yang diperjuangkan dalam kursi Otsus.

Dengan fakta yang ada saat ini, serta merujuk pada refleksi diatas, setiap insiden atau dugaan kasus pelanggaran HAM secara khusus di wilayah Propinsi Papua Barat hampir terluputkan dari perhatian serius Komnas HAM Papua untuk menyelidik berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Adapun kasus Wasior, tahun 2001 mungkin terlihat aktif di dorong (diikutsertakan bersama kasus wamena tahun 2000) tetapi kasus-kasus lainnya, misalnya kasus pembunuhan kilat 53 warga sipil di Arfai, juli 1969, dan penghilangan paksa Permenas Ferry Awom dan Yosep Inden, di Manokwari tahun 1970, Kasus, penembakan warga sipil di Aimas, Sorong, 30 April 2013 termasuk kasus terakhir, penembakan Sanggeng, 26 – 27 Oktober 2016. Sungguh ironis, sebab kasus – kasus ini jauh dari keseriusan kerja Komnas HAM.

Sementara itu, jikapun Komnas HAM Papua melakukan penyelidikan yang serius, lembaga ini praktis tidak akan miliki bargaining strategis dengan Pemerintah Propinsi Papua Barat yang berdiri sendiri dari Propinsi Papua, hal ini sama halnya juga dengan DPR Papua Barat serta MRP Papua Barat.

Dari keseluruhan argumentasi diatas, maka urgensi perwakilan Komnas HAM Papua Barat sangat tepat dan tidak melanggar hukum untuk segera dibentuk, tidak ada pilihan lain sebab masalah Hak Asasi Manusia di Propinsi Papua Barat juga merupakan kebijakan khusus otonomi khusus dalam regulasi. Pemerintah Propinsi Papua Barat harus yakin bahwa dengan dilindungi, dihormati dan dimajukannya hak asasi manusia di Propinsi Papua Barat maka barometer keberhasilan otonomi khusus dapat terukur secara pasti dan jelas di Propinsi ini.***Black_Fox


Sumber Posting, Artikel Pribadi


Selasa, Desember 6

“Urgensi Pembentukan Komnas HAM Di Propinsi Papua Barat”





                                               Opini

Bagian Ke-I

Sebelum memahami lebih mendalam judul diatas, penting menyimak lebih dahulu latar belakang secara singkat, juga Peraturan atau hukum yang menormakan Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) Di Indonesia, teristimewa Di Propinsi Papua dan Papua Barat dengan tujuan, agar lembaga ini dapat dipahami sebagai bagian dari konteks perjalanan hidup orang asli Papua yang diatur berdasarkan Otonomi Khusus Papua.   

Di Indonesia, ketika orde lama maupun orde baru bertahta sekitar 63 tahun, saat itu belum pernah ada pemikiran dari elit Jakarta maupun Daerah (Papua) untuk mengatur, melindungi (to protect), memajukan (to promotions) and menghormati (to respect) hak asasi manusia, dampaknya setiap tindakan aktor – aktor keamanan Negara terutama Militer dan Polisi yang melanggar atau melakukan kejahatan hak asasi manusia, praktis bukanlah sebuah dosa atau crime (tindakan jahat) untuk bisa dituntut ke Pengadilan.

Martabat umat manusia sebagai ciptaan Tuhan benar-benar tidak diakui dalam keberadaan sebuah Negara, fakta-fakta mengungkap orang pribumi Papua indigenous peoples yang berasal dari rumpun ras Melanesia ini paling banyak disasar untuk menjadi tumbal terhadap praktik kejahatan ini. Kalangan korban, banyak mengungkap bahwa “penyelenggaraan act of free choice (Pepera) 1969 yang membawa Indonesia masuk ke Papua, diduga….” proses ini penuh rekayasa, manipulasi, tidak mengikuti New York agreement 1962 dan juga bukan aspirasi mayoritas penduduk pribumi saat itu. Diduga..” Negara kemudian membalas dan melakukan berbagai upaya untuk meredam secara internal keadaan ini dan juga mempengaruhi komunitas internasional yang tengah memantau kejaganggalan yang terjadi, imbasnya orde baru harus menstatuskan DOM (Daerah Operasi Militer) ke bumi Papua untuk misi tersebut. Disinilah akar kejahatan HAM itu tumbuh dan dilestarikan sebagai perintah komando untuk memerangi separatisme dan menghukum sewenang-wenang warga sipil yang tertuduh sebagai subversive atau makar di Tanah Papua.

Ketika kekuasaan rezim orde baru runtuh melalui reformasi Mei 1998, status DOM Papua memang telah resmi dicabut, ABRI bahkan dibubarkan melalui pemisahan TNI, Polri dan BIN, meski demikian tidak bisa berharap banyak pada dinamika tersebut, sebab tugas operasi militer non-perang (OMSP) menumpas separatis didalam Undang-Undang TNI (Undang-Undang No. 34 tahun 2002) tetap masih saja ada dan KUHPidana juga tetap mempopulerkan subversive dan Makar sebagai delik pidana (tindak kejahatan).

Di alam reformasi, Negara memang berusaha mengakui fakta-fakta kejahatan HAM dan coba memperbaiki dengan membentuk regulasi mulai dari Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 26 tahun 2000 yang mengubah Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, Negara juga meratifikasi Kovenan international hak-hak sipil dan politik juga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ke dalam undang-undang RI. Sementara itu kepada Papua pemerintah menyediakan Undang-Undang otonomi khusus (UU No. 21 tahun 2001/UU No.35 tahun 2008) agar HAM memperoleh tempat terhormat di dalam Negara.

Berdasarkan Undang-Undang diatas, maka setiap tindakan yang melanggar HAM akan disebut sebagai “kejahatan”, undang-undang Pengadilan HAM memperjelasnya sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) disamping kejahatan terorisme, narkotika dan korupsi.

Undang-Undang Pengadilan HAM juga mempertegas dengan istilah hukum pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) yang memisahkan kejahatan Kemanusiaan (crimes against humanity) and kejahatan genosida entah dilakukanya dengan senagaja (by commission) ataupun tidak sengaja termasuk pembiaran (by omission), dan kejahatan itu dapat dituntut ke pengadilan HAM yang diatur di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. 

Komisi Nasional HAM kemudian bermunculan melalui list undang-undang diatas, walau sebenarnya institusi ini bukan baru, sebelum reformasi (1998) institusi ini pernah ada melalui Keppres No. 50 Tahun 1993, namun sayangnya “lembaga Komnas ketika itu hanya menjadi stempel Negara yang tidak banyak berperan dalam rezim yang amat kuat saat itu dan bisa saja seperti yang telah disebut diatas mengenai tindakan melanggar HAM bukan perbuatan melanggar hukum”.

Institusi Komnas HAM di dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 18 lembaga Komnas diatur berwenang sebagai penyelidik Kasus Pelanggaran HAM. selanjutnya berdasarkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 lembaga Komnas HAM nampak pada BAB VII, ketentuan pasal 76 ayat (4) dan ayat (5) menyebut Komnas HAM berkedudukan di Ibu Kota Negara (Jakarta) dan dapat juga membentuk kantor perwakilan Di Daerah (Propinsi), Undang-Undang Otonomi Khusus Papua meng-cover ketentuan yang sama di dalam pasal 45 ayat (2) dengan menegaskan “pemerintah dapat membentuk perwakilan Komnas HAM di Propinsi Papua”.

(Bersambung.......****) 

Sumber Posting : Artikel Pribadi