Gelombang informasi akibat ledakan perkembangan tekhnologi konsekuensinya cukup besar. Menjelang pergantian kekuasaan melalui pemilu atau Pilpres tahun 2019 yang saya maksudkan disini benar-benar menyuguhkan tabuhan genderang
perang “hoax”, atau bisa menyebutnya "hoax war".
“Hoax”
sendiri menurut sumber Wikipedia mengandung pengertian sebagai “berita palsu
dan bohong”, hal ini sebagai upaya untuk mengakali pembaca agar mempercayainya,
padahal sang pembuat berita palsu tersebut dalam keadaan sadar menyadari bahwa
berita tersebut adalah bohong.
Anda patut mencatat bahwa “pemberitaan palsu berbeda dengan
pertunjukan sulap, “dalam pemberitaan palsu pendengar/penonton tak sadar sedang
dibohongi, sedangkan pada pertunukan sulap, penonton justru berharap supaya
ditipu”.
Nah, itu sedikit pengertian “hoax” yang saya pahami. balik ke konteks.. !
Kejahatan hoax di
Indonesia masih merujuk pada pasal 28 ayat (1) Undang-Undang ITE (UU No. 11
tahun 2008), “setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam
tahun dan denda maksimal 1 miliar”.
Pola kejahatan ini diungkap kalangan
penegak hukum bersifat “hit and run”,
artinya menggunakan akun-akun palsu terutama social media yang dibuka menyebarkan sebuah pembohongan news lalu menutup akun tersebut dan
dibuka lagi akun lainnya dan seterusnya, dilakukan hanya untuk menyebar atau
mem-forward suatu kebohongan.
Hoax pada
tulisan kecil ini, “perang hoax”, tentu
fenomena politik yang tak terhindarkan. Bro, pasti paham disebut perang
artinya melibatkan kedua belah pihak yang bertikai pada suatu skenario untuk
mencapai tujuan, dan output dari pada war itu jelas “hoax”.
Dalam fenomena politik perebutan kekeuasaan, model klasik
seperti black/negative campaign, curi start ditinggalkan mengingat efek atau
prosentasi pengaruhnya mengecil, bahkan sangat mudah terdeteksi dan ditindak
oleh system hukum politik (pemilu).
Opsi perang “hoax”
kemudian mucul. belum ada sumber terkonfirmasi yang valid, apakah perang “hoax” merupakan pola para pihak
atau hanya sepihak, dan pihak lainnya hanya bersifat reaktif terhadap serangan “hoax” tersebut.
Pada satu kesempatan diskusi seorang pengamat komunikasi politik yang berlatar belakang LSM menyebut , antara “hoax” dan “fakta” semakin tipis
perbandingannya tergantung siapa pemegang remote-powernya, “kebenaran bisa dikata
hoax, demikian sebaliknya”.
Hukum kemudian tersembunyi rapat bahkan tidak mampu berbicara banyak terhadap perang "hoax", entahlah design hukum yang lemah sebagai filter dan pelindung kepentingan publik atau institusi (penegak) hukum berpersepsi bahwa perang hoax merupakan ruang politik bukan lagi masalah hukum.
You'are in danger, berada dalam "perang hoax" ***Black_fox
Hukum kemudian tersembunyi rapat bahkan tidak mampu berbicara banyak terhadap perang "hoax", entahlah design hukum yang lemah sebagai filter dan pelindung kepentingan publik atau institusi (penegak) hukum berpersepsi bahwa perang hoax merupakan ruang politik bukan lagi masalah hukum.
You'are in danger, berada dalam "perang hoax" ***Black_fox