Senin, 19 Agustus 2019,
pagi warga sekota Manokwari dikejutkan setelah pecah kerusuhan massal. Sejumlah
kios, ruko, swalayan, fasilitas ATM milik perbankan dan perkantoran milik Pemerintah
dan swasta dirusak oleh tindakan anarkis massa, situasi makin beringas hingga
terjadi penjarahan massal terhadap sejumlah kios dan pertokoan.
Aktifitas warga hari
itu benar benar lumpuh total, pembakaran ban ban bekas terjadi disejumlah titik
jalan utama, puluhan pepohonan di taman-taman kota ditebang dan digunakan untuk
memblokade ruas-ruas jalan di Kota Manokwari.
Diperkirakan tindakan
anarkis dimulai sejak subuh, atau diduga sejak malam harinya. Meskipun tidak
ada korban jiwa, lantas apa yang dibidik dari rusuh manokwari? Ini mungkin pertanyaan
korektif, alasannya yaitu Pertama,
planning awal merencanakan aksi pada
Senin, 19 Agustus 2019 pukul 08.00 wit, massa diundang (melalui selebaran aksi)
bertemu di titik kumpul guna mengikuti “seruan aksi demo damai ke DPR Papua
Barat dalam rangka menyikapi pernyataan rasialis oknum tertentu di Malang dan
Surabaya kepada mahasiswa Papua”, namun aksi demo damai ini tidak pernah
terlaksana pagi itu, bahkan faktanya sepanjang hari itu tidak ada unjuk rasa
apapun kecuali rusuh.
Seruan Aksi Disebarkan 1 Hari Sebelum Pecah Rusuh Di Manokwari |
Dan pertanyaan korektif
Kedua,
sebelum pukul 08.00 wit pagi atau sudah sejak subuh pagi itu rusuh lebih duluan
pecah sebelum aksi demo. Selepas pukul 08.00 wit pagi, perusuh berhasil
menyeret pendemo berbaur dengan kelompok perusuh, dan (kerusuhan) diduga tindakan
ini sudah melibatkan pendemo maupun yang bukan pendemo sehingga suasana chaos (kekacauan) terus berlanjut tanpa
henti dihari itu.
Ditengah suasana chaos itu, beberapa jam berikutnya media
nasional beramai-ramai menaikan headline-news “Rusuh Manokwari – Papua Barat”. bilah
publik menyimak keseluruhan konten pemberitaan itu ada dua klarifikasi untuk
rusuh Manokwari oleh pejabat keamanan dan kementrian di Jakarta, yang pertama, rusuh Manokwari diklaim terkait
adanya kesalahpahaman yang menimpa mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya,
disertai beredarnya informasi hoax
dan yang kedua adanya pernyataan rasialis di Kota yang sama (malang dan
Surabaya) kepada mahasiswa Papua.
Namun anehnyaa kedua konten
berita dihari itu belum terklasifikasi secara cermat oleh media (menggunakan
prinsip cover bothside), sehingga efeknya publik secara luas dipastikan belum
mengkonsumsi berita yang akurat dan berimbang. Mengapa substansi pemberitaan
dua konten itu perlu dipetakan dengan cermat, dan cerdas alasannya yaitu
informasi hoax (jika terindikasi) harusnya
menjadi berita (kasus) tersendiri untuk dilidik oleh penegak hukum (Polri) dan
yang kedua pernyataan rasialis adalah konten berita yang berdiri sendiri, materi
kedua (pernyataan rasialis) inilah tuntutan
dari seruan aksi, yang direncanakan berlangsung dibeberapa kota utama di Papua
dan Papua Barat hari itu.
Faktanya, pemberitaan rusuh
Manokwari kemudian menggiring opini negatif bahwa masyarakat Manokwari mudah terprovokasi
melalui berita hoax (belum dilidik
oleh penegak hukum), ikutannya dari penggiringan opini itu adalah apa yang
sebenarnya hoax, besar kemungkinan
seseorang yang tidak tahu menahu, bisa menaruh curiga “pernyataan rasialis
inilah yang disebut hoax”, padahal sesungguhnya
ada dua konten berita yang berdiri
sendiri dibalik pecahnya rusuh Manokwari.
Balik ke pertanyaan
korektif awal, apa yang dibidik dari rusuh Manokwari. Saya mencoba mengangkat
opini pribadi, Kota Manokwari memang miliki rekam jejak peristiwa rusuh. Pada
tahun 1999 pernah pecah rusuh yang mengakibatkan gedung DPRD Kabupaten
Manokwari terbakar, tahun 2011 usai pelaksanaan Pemilukada Gubernur Papua
Barat, kerusuhan terjadi akibat protes massa atas hasil putusan Mahkamah Konstitusi
untuk sidang sengekta Pemilukada Gubernur yang memenangkan pasangan Abraham O
Atururi dan Rahimin Katjong sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih saat
itu. Setahun kemudian, tahun 2012 seorang pemuda mantan narapida, Timo Ap ditembak
mati oleh petugas Polisi, reaksi spontanitas keluarga korban, memicu rusuh
pecah lagi di Manokwari. Tahun 2016, Vijai Pauspaus dianiaya warga non-asli
Papua di Sanggeng (Manokwari), kerusuhan kembali pecah di setelah keluarga
korban mencurigai Polisi melindungi pelaku penganiayaan.
Rekam jejak insiden
rusuh diatas, meskipun tidak saling mengkait atau berdiri sendiri namun memperlihatkan
secara nyata Manokwari sebagai wilayah paling rawan konflik. Kerusuhan yang
terjadi di senin, 19 Agustus 2019 sebenarnya memiliki beberapa gejala atau
tanda yang mudah menyulut kericuan warga terutama orang asli Papua. Intelijen
keamanan pasti menyadari hal itu secara akurat. misalnya proyek pembangunan Masjid
andai yang melibatkan Haji Ape, proyek ini menuai protes serius yang belum
tuntas diselesaikan, berikutnya tahun 2016 kasus kekerasan aparatur keamanan
untuk insiden Sanggeng berdarah, diduga pelaku dilindungi menurut sistem
internal Polri. Dan beberapa pekan, usai pengumuman hasil Pemilu 2019, sehingga
pasti pengumuman ini belum tentu diterima semua pihak kontestan pemilu.
Opini singkat ini tidak
menjastifikasi gejala dan ruang gejolak diatas sebagai pemicu kerusuhan
Manokwari, “tidak juga mengabaikan
pernyataan rasialis monyet dari Jawa Timur”, tetapi bagaimana bernarasi
secara netral untuk proses rusuh yang tertata secara rapih di wilayah rawan
konflik.
·
Agenda
Terselubung :
Rusuh di Manokwari menjadih
“agenda terselubung” sebab dipastikan, Parjal (Parlemen Jalanan) komponen OKP
dan organisasi kemahasiswaan disejumlah perguruan tinggi se-kota Manokwari hari
itu bersiap untuk aksi moral atas pernyataan rasialis yang menimpa rekan mereka
di Malang dan Surabaya. Selebaran seruan aksi cukup jelas menerangkan mengenai
titik kumpul, tujuan dan agenda, aksi yang direncanakan dimulai pukul 08.00 Wit.
Sayangnya rencana aksi
ini kemudian disusupi agenda terselubung untuk gagal. Agenda versi oknum –
oknum terselubung memang sangat mudah masuk ke wilayah strategis konfilk yang
sudah dibahas pada paragraph sebelumnya, agenda terselubung ini ada dan diduga
memiliki sasaran bidik tetapi tidak punya panggung untuk beraksi sampai dengan menyelinap
dan membypass agenda seruan aksi
protes rasialis.
·
Aksi
Terencana
Tentu sangat diragukan
jika rusuh Manokwari disebut sebagai reaksi spontanitas warga merespon
pernyataan rasialis yang menimpa mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya.
Andaikan demikian, mengapa justru sebelum pukul 08.00 Wit (waktu untuk rencana
aksi) rusuh sudah lebih dulu terjadi malahan sejak subuh. Siapa mereka yang
merencanakan, tentu mereka yang menggalang massa, dan menggalang logistik pendukung
aksi anarkis sejak malam hingga subuh. Tidak ada orang biasa yang sanggup
melakukan taktik dan strategi ini kecuali oknum yang mahir, dan memahami dengan
matang kondisi kamtibmas Manokwari.
·
Penggalangan
Opini
Satu-satunya pihak yang
dapat menggalang opini public hanyalah media, entah cetak maupun elektronik,
rusuh Manokwari benar-benar menjadi trending
topic paling popular sepanjang tiga hari 19 – 21 Agustus 2019. Semula tidak
pernah ada opini apapun untuk Papua usai pernyataan rasialis itu, rusuh
Manokwari di sertai Sorong berhasil mendorong pengalihan dan penggalangan
opini, sudah diuraikan sebelumnya bahwa opini yang berkembang kemudian yaitu
soal hoax dan pernyataan rasialis.
Dari urain-uraian
sederhana mengenai agenda terselubung, aksi terencana hingga penggalangan opini,
kesimpulan mengenai apa yang dibidik cukup sederhana saja, yang pertama ;
aktifitas pemerintahan Propinsi Papua barat, dengan tergoncangnya aktifitas
pemerintahan, pemerintah daerah akan semakin menaruh perhatian dan kepercayaan
pada institusi keamanan, proses ini tentunya melemahkan posisi rakyat, dan
setiap tindakan membatasi kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum akan
mudah dianggap sebagai tindakan yang sah aparatus keamanan.
Kedua; solidaritas
rakyat sipil Papua Barat terfragmentasi (terpecah) melalui rusuh yang
menimbulkan pengerusakan, perampokan dan penjarahan, keadaan ini setidaknya
memicu rasa saling tidak percaya yang secara langsung melemahkan solidaritas
sipil.
yang ketiga;
stigmatisasi pergerakan warga sipil Papua sebagai gerakan kriminal,
terbelakang, dan mudah terprovokasi informasi hoaxs proses stigmatisasi berimbas dan akan terus menimbulkan
ketidaknyamanan yang sebaliknya bakal menimpa pelajar dan mahasiswa Papua di
pulau Jawa, termasuk makin melemahkan persatuan dan kebersamaan orang asli
Papua. Keempat; rusuh yang baru berlangsung akan terus membangun dan memelihara
persepsi Manokwari sebagai kota paling rawan konflik, sehingga hal ini akan
menyulitkan akses investasi yang dapat mendukung perekonomian.
Artikel ini telah dimuat di
- Media on-line Suara Papua : https://suarapapua.com/2019/08/24/rusuh-manokwari-target-apa-yang-dibidik/
- Media on-line Tempo Timor : https://www.tempotimor.com/opiniaun/818-rusuh-manokwari-apa-yang-dibidik