|
Ilustrasi : Penyuapan |
Seorang filsuf
Yunani kuno, Taverne pernah mengatakan demikian, "Berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas dan berikanlah saya seorang hakim yang cerdas dan jujur, maka dengan undang-undang yang paling burukpun saya akan menghasilkan putusan yang adil..". Menurut histori
Taverne, pada masa itu permasalahan seputar hukum yang tidak-adil (unfair-law) adalah sebuah derajat yang
paling mengkhawatirkan, dampak dari itu rakyat makin sengsara hingga terjadinya
destabilitasi padapemerintahan.Tidak ada cara lain
kecuali harus dimulai dari penegakan hukum (law
enforcement) guna membatasi setiap pengaruh kekuasaan tanpa batas saat itu
oleh segelintir penguasa.
Pernyataan Taverne
di atas tersebut terkesan terlalu sederhana, bahwa bukan soal hukum atau undang
– undang itu sendiri atau sekedar implementasi proses hukum belaka, tetapi pada
“kualitas dan integritas". dalam hal ini kualitas dan integritas yang dimaksud mencakup kualitas dan integritas intelektual yaitu "kecerdasan" dan pemahaman yang utuh tentang hukum dan kebenaran serta kualitas dan integritas kepribadian yaitu, kejujuran, tanggungjawab, loyalitas dan keberpihakan terhadap kebenaran dan keadilan di dalam masyarakat.
Dewasa ini ada banyak orang yang tahu dan setuju
bahwa lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap kekuasaan yang tanpa batas di
lembaga peradilan court akibatnya
terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse
of power. Perilaku korup, suap maupun gratifikasi termasuk sebagai
kekuasaan tanpa batas. Teori hukum menyebutkan bahwa “semua tindak pidana dapat
dilakukan oleh pegawai negeri tetapi tidak semua tindak pidana dapat dilakukan
oleh bukan pegawai negeri atau masyarakat”. Undang – Undang Nasional Republik
Indonesia kemudian dibentuk untuk mencegah dan membatasi tindakan para birokrat
hukum yang berlebihan misalnya, UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri, UU No. 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman
dan UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat.
Namun tidak serta merta, eksplisitas kesemuaan
undang-undang tersebut kemudian berhasil berdasarkan amanatnya, fakta memperlihatkan
keadaan yang sebaliknya seperti pernyataan Filsuf Taverne di atas yang masih
membutuhkan “Jaksa dan hakim yang jujur dan cerdas”. Merespon fenomena
tersebut, beberapa undang-undang kemudian meregulasikan secara ketat perilaku menyimpang
penegak hukum misalnya, “Kejahatan Jabata” pada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana [KUHP] pasal 418, pasal 419 termasuk di dalamnya penyuapan yang menjadi
fokus dari tulisan ini.
“Penyuapan
atau suap” secara haraifiah menurut kamus besar bahasa Indonesia karangan S. Wojowasito,
IKIP Malang, menyebutkan suap adalah 1.
sekali telan, 2. Uang sogok,
peristiwa ini terjadi terhadap sesuatu yang tidak dapat berjalan normal, suap
diperlukan untuk memperlancar suatu proses. Berdasarkan definisi tersebut “suap
adalah solusi akhir ketika terjadi hambatan yang dipastikan telah merintangi,
suap adalah cara yang dipilih agar suatu proses berjalan normal.
Merujuk pada Pasal 3 Undang Undang No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana
Suap disebutkan bahwa “Barangsiapa menerima “sesuatu” atau“ janji”, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap”.
Dalam buku saku memahami
tindak pidana korupsi “Memahami untuk Membasmi” yang dikeluarkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dijelaskan bahwa cakupan suap adalah (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3)
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Suap juga bisa berarti setiap harta
yang diberikan kepada pejabat atas suatu kepentingan, padahal semestinya urusan
tersebut tanpa pembayaran.
Berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP/WetboekVan Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)
“suap” termasuk sejenis dengan “Kejahatan
Jabatan” yang terdapat pada pasal 418 dan 419 dengan ancaman pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun kepada seorang pejabat yang menerima hadiah atau
janji, selanjutnya ketentuan yang lebih
tegas terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi menyebutkan “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal 425 dan pasal 435 KUHP, diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun.
Bertolak
dari rumusan pengertian di atas, paling
tidak terdapat modus suap sebagai berikut, Pertama, dalam hal ini seorang
pejabat karena kapasitasnya (jabatan) menerima secara langsung “feeatau honor” dan yang kedua, seorang pejabat karena kapasitasnya
(jabatnnya) menerima “melalui janji”. Secara faktual modus demikian memberikan
orientasi bahwa Pertama suap diberikan kepada pihak yang miliki
jabatan, kapasitas (posisi) tertentu. Dan Kedua, Jabatan atau Posisi tersebut
sedang melaksanakan suatu fungsi/tugas tertentu dan ketiga jabatan atau
kapasitas (posisi) tertentu tersebut dapat menjalankan, mempengaruhi, mengubah
atau tidak mengubah sesuatu yang seharusnya atau tidak berdasarkan jabatan atau
kapasitas (posisi) tertentu.
Salah satu keadaan atau peluang terjadinya praktik
penyuapan dari pejelasan di atas yaitu suatu fakta proses, hal ini tentu
melibatkan antar-otoritas supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
dalam tugasnya. Praktik penyuapan berbeda dengan praktik korupsi, kolusi atau
nepotism yang melekat pada tugas yang diemban melalui delegasi, mandat maupun
atributif. Penyuapan justru terjadi dari luar, “setiap orang memberikan atau
menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri/penyelenggara negara termasuk aparat
penegak hukum karena berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban,” dilakukan atau tidak dilakukan” dalam jabatannya.
Praktik penyuapan dilembaga penegak hukum seperti
kepolisian, kejaksaan maupun peradilan sangat mungkin bisa terjadi, Pertama : mengingat system pemerintahan
di Negara Indonesia masih menganut system pembagian kekuasaan (distribution of powers) dalam pemerintahan presidensil baik itu dilevel
pusat maupun daerah. Hal ini mengisyaratkan kekuasaan yang terpadu (integrated powers) namun terlampau luas
sehingga didistribusikan ke institusi atau lembaga negara lainnya (teori trias
politika montesquie), kekuasaan eksekutif (Pemerintah), legislatif (DPR) dan
Yudikatif (Peradilan/Penegak hukum), pada pokoknya lintas kekuasaan ini saling
ter-integrasi, miliki koordinasi dan
saling berhubungan disegalah bidang meskipun Undang-Undang menegaskan otonom.
Secara private melekat “kedudukan dan hak protokoler aparatur kekuasaan” di
atas, disinilah potensi penyuapan yang disebutkan dapat terjadi.
Kedua, Undang-undang memandatakan kewenangan menyelidik,
menyidik dan menuntut adalah fungsi negara dibidang hukum yang dilaksanakan
oleh Kepolisian dan Kejaksaan atau penyidik PPNS lainnya.Pada kewenangan ini
melekat tanggung jawab untuk membuktikan suatu tindak pidana yang melibatkan
setiap orang ataupun pejabat negara yang tersangkut masalah hukum. Salah satu
peran yang cukup strategis yaitu mempersiapkan segalah sesuatu yang berkaitan
dengan proses hukum, pada tataran proses mempersiapkan ini oleh filsuf Taverne
memberikan pernyataan bahwa “berikanlah kepada saya seorang jaksa dan hakim
yang jujur dan cerdas”, seorang filsuf ini mungkin menyadari bahwa proses
mempersiapkan dan melaksanakan segalah seuatu tentang penegakan hukum adalah
situasi dimana sedang terbuka lebar pengaruh pengaruh kekuasaan tanpa batas,
tidak lain bahwa persiapan pembuktian adalah titik awal peradilan itu dimulai,
akankah peradilan ini berpihak pada keadilan atau sebaliknya sangat ditentukan
oleh proses mempersiapkan pembuktian inilah potensi yang dapat menciptakan
peluang praktik penyapan itu terjadi.
Ketiga, dimenasi kecenderungan penggunaan praktik
penyuapan kecil kemungkinan terjadi pada wilayah atau pemerintahan yang baik
dan bersih (good and cleans government), tetapi sebaliknya suatu kondisi
wilayah yang buruk pemerintahan dan miliki rekam kasus penyimpangan anggaran
yang sangat masif sangat dimungkinkan praktik penyuapan terjadi pada institusi
penegak hukum. Sebagai fakta propinsi Papua Barat dan beberapa daerah
Kabupaten/Kota di Papua Barat adalah wilayah yang masih terdapat opini
disclimer oleh lembaga auditor negara, Propinsi Papua Barat sendiri saat ini
untuk sementara menempati peringkat ke-tiga pengungkapan kasus korupsi dan
kerugian negara terbesar di Indonesia, keadaan ini adalah jalan bagi adanya
kemungkinan praktik penyuapan.
Dari
ketiga uraian indikasi di atas masyarakat dan kita sekalian telah dapat dengan
jelas menakar bagaimana kemungkinan dugaan suap itu fakta dan sangat berpotensi
untuk terjadi. Praktik penyuapan itu sendiri adalah kejahatan jabatan atau bisa
termasuk white collar crime tetapi tidak serupa dengan tindak pidana korupsi,
Kolusi dan Nepotisme. Tindak pidana penyuapan terjadi, “karena (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, terhadap tindak pidana penyuapan
sangksi hukumdiancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Semoga
tulisan ini bermanfaat,
Tabea..
Sumber : Artikel Hukum (Pribadi) Artikel ini telah diposting di harian lokal Manokwari, Media Papua Edisi Rabu, 16 Oktober 2013 dan juga Tabloid BUR BMH Teluk Bintuni.