Teluk Bintuni dimekarkan untuk menjadi Daerah Otonom Baru (DOB) dari Kabupaten Manokwari sebagai Kabupaten Induknya, kemudian melalui adanya regulasi UU RI No. 26 Tahun 2002, Kabupaten Teluk Bintuni resmi terbentuk secara de-jure.
Tugu : Menuju Bintuni Baru (Doc Foto Pribadi) |
Sebagai salah satu Daerah yang berkelimpahan potensi sumber daya alam (Natural Resources), berupa hutan kayu, sumber tambang minyak dan gas, serta hasil laut berupa udang dan kepiting yang bernilai tawar terbaik di Papua. keunggulan ini sesungguhnya memberi prospek yang istimewah bagi masyarakat sekitar teluk, terutama dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Lebih dari satu dekade
penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni, dinamika pembangunan terutama
yang berkaitan dengan infrastruktur daerah berkembang cukup pesat tanpa jedah,
kota Bintuni yang semula hanyalah kota Distrik (Kecamatan) dibawah pemerintahan
Kabupaten Manokwari saat ini miliki fasilitas gratis kepada masyarakat berupa Rumah
Sakit Umum terbaik untuk level kelasnya di Papua dan Papua Barat. Bintuni memiliki
pasokan energi listrik 24 jam Non-stop,
kerja sama Pemerintah Daerah Teluk
Bintuni dan PT. PLN Rayon Bintuni yang menjangkau lebih dari separuh wilayah
Kabupaten, Pemda Teluk Bintuni juga mendorong investasi sumber daya manusia (Human Resources) berupa pembebasan biaya
dari Sekolah Dasar hingga tingkat SMU/A yang menghasilkan putra – putri lokal
terbaik, mereka tersebar disejumlah Perguruan Tinggi ternama baik di Tanah
Papua dan luar Papua.
Oleh
masyarakat lokal, euforia eksistensi Kabupaten Teluk Bintuni adalah
kesempatan untuk mengatasi keterbelakangan
pada berbagai aspek, ketertinggalan akan segera tamat dengan adanya rentang
kendali pemerintah yang tersedia di depan mata masyarakat. Tak hanya pada
sektor pemerintahan, potensi sumber daya alam juga telah menjadi magnet
tersendiri yang menarik berbagai kalangan investor lokal, Nasional dan Internasional
untuk masuk ke wilayah teluk bintuni dan menutup jurang keterisolasian yang ada
selama ini. pada kesempatan ini masyarakat berbangga dengan peluang yang memang
didukung dengan regulasi Undang-undang No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
papua untuk memperoleh lapangan pekerjaan tidak hanya di sektor negeri, sektor swasta
pun demikian.
Seirama
waktu yang terus bergulir, euforia kesempatan yang ada tidak banyak memberi
garansi terutama bagi eksistensi hak-hak dasar masyarakat adat Bintuni. Seyogyanya
bisa dipandang bahwa akses pengakuan terahadap adanya hak – hak dasar dan
eksistensi sebuah masyarakat yang dijamin berbagai peraturan perundanga-undangan
bisa sama halnya dengan itikat baik Pemda terhadap progres pencapaian
pembangunan DOB Bintuni maupun juga komitment investor swasta terhadap
masyarakat sekitar.
Pada beberapa catatan dapat ditemui pelbagai peristiwa
pelanggaran terhadap hak-hak dasar (basic
rights) masyarakat adat itu terjadi, proses (pelanggaran) ini berlangsung
entah sengaja atau tidak,! tetapi terjadi dengan melibatkan actor dari berbagai pihak. Pada situasi demikian,
masyarakat cenderung berada pada keadaan tidak memahami tentang bagaimana
“menuntut”, sangat lebih ironis lagi masyarakat justru terlibat di dalam skema
pelanggaran yang menimpa masyarakat itu sendiri.
Salah
satu contoh kasus yang diungkap versi
masyarakat Sumuri di Tofoi, terhadap salah satu perusahan yang beroperasi di Daerah
tersebut. Masyarakat mengkisahkan bahwa antara tahun 1980an sampai dengan tahun
2013, sekitar 40 ribu hektar hutan telah dilepas masyarakat untuk investasi
yang berkepanjangan. Dari investasi ini, sudah ada dua kali proses kompensasi (ganti
rugi) yang menjadi hak
masyarakat adat antara tahun 1996 sampai tahun 1998
kemudian versi perusahan di-klaim kompensasi (telah) selesai berdasarkan penandatanganan
berita acara
bersama masyarakat. Namun yang terjadi proses yang menyedot dana hanya
sebesar Rp. 110.000.000.- tersebut
oleh mayoritas masyarakat adat penuh siasat kecurangan, teror, intimidasi juga
kekerasan (violence) dan penipuan.
Kasus lainnya dari kampung Jenggrem, Moskona Selatan. Ribuan
kayu log hasil OHL (Operasi Hutan Lestari) II ditinggal pergi oleh pengusaha
untuk menghindari OHL. Diungkap versi
pengaduan masyarakat, bahwa sebagai (masyarakat) pemilik hak atas hutan kayu,
mereka telah diberi akses untuk mengkomersilkan kayu log sitaan hasil OHL,
“namun inisiatif masyarakat ini terbentur dengan penyitaan yang dilakukan otoritas
Kantor
Pajak Pratama Manokwari tanpa adanya kejelasan informasi penyitaan terhadap
masyarakat”.
Di
Wagura, masyarakat adat Distrik Kuri miliki kisah menuntut hak “sampai dengan
terlibat membuat kesepakatan bersama perusahan pemegang Ijin Usaha Pemanfatan
Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di wilayah Wagura, Refideso dan sekitar”. Adapun pokok
utama kesepakatan menentukan perusahan untuk melaksanakan “kewajiban pembayaran
ganti rugi ribuan kayu log yang telah diangkut dalam dua tahap”, dan berkaitan
dengan penebangan diluar RKT sebagaimana pengaduan masyarakat a quo, “perusahan dan masyarakat akan
membentuk tim terpadu guna melakukan pemeriksaan administrasi”.
Beberapa
uraian singkat kasus di atas tentunya menjadi deskripsi singkat mengenai adanya
hak hak dasar masyarakat adat yang kerap kali berada pada situasi tidak
menentu. Kasus – kasus tersebut bisa menjadi representatif dan referensi untuk diduga
ada banyak permasalahan hak-hak dasar yang berkaitan dengan penegakan hukum dan
peraturan perundang – undangan. padahal di abad 21 adanya pengakuan hak – hak
dasar masyarakat adat telah menyita perhatian global, pada tahun 2006 PBB bahkan
mengeluarkan Deklarasi tentang Hak-hak masyarakat Pribumi (UNDRIP/ The United
Nation Declarations on The Rights for Indigenous People’s), di Indonesia, pada
tahun 2012 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia membuat putusan Nomor :
35/PUU-X/2012 dalam perkara pengujian Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan melalui amar putusan perkara tersebut, MK menegaskan “hutan adat
bukan milik negara”.
Masyarakat
lokal Teluk Bintuni adalah entitas yang kemudian bisa di kata mengalami keterisolasian keadilan, martabat dan jati
diri sebagai manusia penghuni teluk. Pada kenyataan kongkrit, masyarakat sudah
berpayung pada wadah kelembagaan – kelembagaan yang dibentuk seperti LMA
(Lembaga Masyarakat adat) ataupun Yayasan – Yayasan yang bertujuan memproteksi
kepentingan masyarakat dan dapat menjadi relasi masyarakat dengan Pemda atau
investor swasta, namun kerap kali ada keterbatasan pada kelembagaan masyarakat
tersebut. Khususnya pemenuhan keadilan hukum melalui pendidikan hukum kritis
dan advokatif terkesan belum nampak, tentunya proses ini adalah saluran yang
tepat mengingat masyarakat Di Teluk Bintuni pada intinya miliki metode
tersendiri (kearifan lokal) untuk menyelesaikan setiap permasalahan, hanya saja
sering terbentur dengan berbagai kepentingan sebagai kendala.
Sebagai lembaga
Advokasi, Penegakkan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM/Human Rights) di Tanah
papua, Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH)
Manokwari kemudian melakukan langkah – langkah strategis dengan mendorong
terwujudnya pemenuhan akses keadilan hukum bagi masyarakat Teluk Bintuni dengan
membuka Pos Kontak Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum
(LP3BH) Teluk Bintuni. Pada
prinsipnya Inisiator (LP3BH Manokwari,red)
memandang penting untuk hadir ditengah-tengah rakyat di daerah ini guna
mambangun upaya pendidikan hukum kritis, penegakan hukum dan Hak-hak Asasi Manusia
yang berpihak kepada masyarakat kecil. Lembaga ini di kemudian dibuka secara resmi pada
tanggal 15 Oktober 2012 oleh Bupati Kabupaten Teluk Bintuni yang terwakili oleh
Bapak David Sebru, S.Sos dan
Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Yan Christian Warinussy, SH, acara peresmian
ini dilakukan secara simbolik di Meeting
rooms Steen -Kol Hotel, Bintuni.
Pasca pembukaan,
sekretariat LP3BH Pos Kontak Bintuni kemudian dilengkapi dengan fasilitas
gedung yang beralamat di KM II Jalan raya sibena, kali dua teluk Bintuni. Saat
ini kantor Pos Kontak LP3BH Teluk Bintuni di jalankan oleh seorang koordinator
dan empat orang relawan lokal Teluk Bintuni sebagai staf untuk menjalankan
operasional Pos Kontak Teluk Bintuni. Dalam praktiknya dilapangan kantor Pos
Kontak LP3BH Teluk Bintuni adalah lembaga yang berorientasi pada penguatan hak
hak dasar masyarakat adat (civil) maupun penegakan hukum dan peraturan
peundang-undangan yang berkeadilan kepada masayarakat di wilayah Teluk
Bintuni. Para staf ini
memiliki komitment, itulah nilai yang dibangun bersama tim LP3BH Pos Kontak
Bintuni dalam menyukseskan misi pelayanan bantuan hukum ataupun advokasi
hak-hak sipil masyarakat adat Bintuni dan sekitarnya.
Proyeksi
kedepan, dipastikan lembaga ini akan menjadi mitra Pemerintah Daerah maupun
pihak swasta yang menawarkan konsep solutif dibidang hukum dan peraturan
perundang - perundangan, dan kepada masyarakat lembaga LP3BH Teluk Bintuni akan
menempatkan diri menjadi mitra yang bekerja bersama – sama dengan masyarakat
sekitar***s_bn.
Sumber : Posting ini diambil dari selayang pandang Kantor Pos Kontak LP3BH Teluk Bintuni.