WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Selasa, Oktober 7

“Mengalas Akses Keadilan Hukum Bagi Masyarakat”

Teluk Bintuni dimekarkan untuk menjadi Daerah Otonom Baru (DOB) dari Kabupaten Manokwari sebagai Kabupaten Induknya, kemudian melalui adanya regulasi UU RI No. 26 Tahun 2002, Kabupaten Teluk Bintuni resmi terbentuk secara de-jure.

Tugu : Menuju Bintuni Baru (Doc Foto Pribadi)

Sebagai salah satu Daerah yang berkelimpahan potensi sumber daya alam (Natural Resources),  berupa hutan kayu, sumber tambang minyak dan gas, serta hasil laut berupa udang dan kepiting yang bernilai tawar terbaik di Papua. keunggulan ini sesungguhnya memberi prospek yang istimewah bagi masyarakat sekitar teluk, terutama dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Lebih dari satu dekade penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni, dinamika pembangunan terutama yang berkaitan dengan infrastruktur daerah berkembang cukup pesat tanpa jedah, kota Bintuni yang semula hanyalah kota Distrik (Kecamatan) dibawah pemerintahan Kabupaten Manokwari saat ini miliki fasilitas gratis kepada masyarakat berupa Rumah Sakit Umum terbaik untuk level kelasnya di Papua dan Papua Barat. Bintuni memiliki pasokan energi listrik 24 jam Non-stop, kerja sama  Pemerintah Daerah Teluk Bintuni dan PT. PLN Rayon Bintuni yang menjangkau lebih dari separuh wilayah Kabupaten, Pemda Teluk Bintuni juga mendorong investasi sumber daya manusia (Human Resources) berupa pembebasan biaya dari Sekolah Dasar hingga tingkat SMU/A yang menghasilkan putra – putri lokal terbaik, mereka tersebar disejumlah Perguruan Tinggi ternama baik di Tanah Papua dan luar Papua.

Oleh masyarakat lokal, euforia eksistensi Kabupaten Teluk Bintuni adalah kesempatan  untuk mengatasi keterbelakangan pada berbagai aspek, ketertinggalan akan segera tamat dengan adanya rentang kendali pemerintah yang tersedia di depan mata masyarakat. Tak hanya pada sektor pemerintahan, potensi sumber daya alam juga telah menjadi magnet tersendiri yang menarik berbagai kalangan investor lokal, Nasional dan Internasional untuk masuk ke wilayah teluk bintuni dan menutup jurang keterisolasian yang ada selama ini. pada kesempatan ini masyarakat berbangga dengan peluang yang memang didukung dengan regulasi Undang-undang No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus papua untuk memperoleh lapangan pekerjaan tidak hanya di sektor negeri, sektor swasta pun demikian.

Seirama waktu yang terus bergulir, euforia kesempatan yang ada tidak banyak memberi garansi terutama bagi eksistensi hak-hak dasar masyarakat adat Bintuni. Seyogyanya bisa dipandang bahwa akses pengakuan terahadap adanya hak – hak dasar dan eksistensi sebuah masyarakat yang dijamin berbagai peraturan perundanga-undangan bisa sama halnya dengan itikat baik Pemda terhadap progres pencapaian pembangunan DOB Bintuni maupun juga komitment investor swasta terhadap masyarakat sekitar. 
Kampung Tofoi (Doc Foto Pribadi)
Pada beberapa catatan dapat ditemui pelbagai peristiwa pelanggaran terhadap hak-hak dasar (basic rights) masyarakat adat itu terjadi, proses (pelanggaran) ini berlangsung entah sengaja atau tidak,! tetapi terjadi dengan melibatkan actor dari berbagai pihak. Pada situasi demikian, masyarakat cenderung berada pada keadaan tidak memahami tentang bagaimana “menuntut”, sangat lebih ironis lagi masyarakat justru terlibat di dalam skema pelanggaran yang menimpa masyarakat itu sendiri.

Salah satu contoh kasus yang diungkap versi masyarakat Sumuri di Tofoi, terhadap salah satu perusahan yang beroperasi di Daerah tersebut. Masyarakat mengkisahkan bahwa antara tahun 1980an sampai dengan tahun 2013, sekitar 40 ribu hektar hutan telah dilepas masyarakat untuk investasi yang berkepanjangan. Dari investasi ini, sudah ada dua kali proses kompensasi (ganti rugi) yang menjadi hak masyarakat adat antara tahun 1996 sampai tahun 1998 kemudian versi perusahan di-klaim kompensasi (telah) selesai berdasarkan penandatanganan berita acara bersama masyarakat. Namun yang terjadi proses yang menyedot dana hanya sebesar Rp. 110.000.000.- tersebut oleh mayoritas masyarakat adat penuh siasat kecurangan, teror, intimidasi juga kekerasan (violence) dan penipuan. 
Kasus lainnya dari kampung Jenggrem, Moskona Selatan. Ribuan kayu log hasil OHL (Operasi Hutan Lestari) II ditinggal pergi oleh pengusaha untuk menghindari OHL. Diungkap versi pengaduan masyarakat, bahwa sebagai (masyarakat) pemilik hak atas hutan kayu, mereka telah diberi akses untuk mengkomersilkan kayu log sitaan hasil OHL, “namun inisiatif masyarakat ini terbentur dengan penyitaan yang dilakukan otoritas Kantor Pajak Pratama Manokwari tanpa adanya kejelasan informasi penyitaan terhadap masyarakat”. 


Di Wagura, masyarakat adat Distrik Kuri miliki kisah menuntut hak “sampai dengan terlibat membuat kesepakatan bersama perusahan pemegang Ijin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di wilayah Wagura, Refideso dan sekitar”. Adapun pokok utama kesepakatan menentukan perusahan untuk melaksanakan “kewajiban pembayaran ganti rugi ribuan kayu log yang telah diangkut dalam dua tahap”, dan berkaitan dengan penebangan diluar RKT sebagaimana pengaduan masyarakat a quo, “perusahan dan masyarakat akan membentuk tim terpadu guna melakukan pemeriksaan administrasi”.
 
Beberapa uraian singkat kasus di atas tentunya menjadi deskripsi singkat mengenai adanya hak hak dasar masyarakat adat yang kerap kali berada pada situasi tidak menentu. Kasus – kasus tersebut bisa menjadi representatif dan referensi untuk diduga ada banyak permasalahan hak-hak dasar yang berkaitan dengan penegakan hukum dan peraturan perundang – undangan. padahal di abad 21 adanya pengakuan hak – hak dasar masyarakat adat telah menyita perhatian global, pada tahun 2006 PBB bahkan mengeluarkan Deklarasi tentang Hak-hak masyarakat Pribumi (UNDRIP/ The United Nation Declarations on The Rights for Indigenous People’s), di Indonesia, pada tahun 2012 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia membuat putusan Nomor : 35/PUU-X/2012 dalam perkara pengujian Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan melalui amar putusan perkara tersebut, MK menegaskan “hutan adat bukan milik negara”.

Masyarakat lokal Teluk Bintuni adalah entitas yang kemudian bisa di kata mengalami  keterisolasian keadilan, martabat dan jati diri sebagai manusia penghuni teluk. Pada kenyataan kongkrit, masyarakat sudah berpayung pada wadah kelembagaan – kelembagaan yang dibentuk seperti LMA (Lembaga Masyarakat adat) ataupun Yayasan – Yayasan yang bertujuan memproteksi kepentingan masyarakat dan dapat menjadi relasi masyarakat dengan Pemda atau investor swasta, namun kerap kali ada keterbatasan pada kelembagaan masyarakat tersebut. Khususnya pemenuhan keadilan hukum melalui pendidikan hukum kritis dan advokatif terkesan belum nampak, tentunya proses ini adalah saluran yang tepat mengingat masyarakat Di Teluk Bintuni pada intinya miliki metode tersendiri (kearifan lokal) untuk menyelesaikan setiap permasalahan, hanya saja sering terbentur dengan berbagai kepentingan sebagai kendala.   

Sebagai lembaga Advokasi, Penegakkan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM/Human Rights) di Tanah papua, Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari kemudian melakukan langkah – langkah strategis dengan mendorong terwujudnya pemenuhan akses keadilan hukum bagi masyarakat Teluk Bintuni dengan membuka Pos Kontak Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH)  Teluk Bintuni. Pada prinsipnya Inisiator (LP3BH Manokwari,red) memandang penting untuk hadir ditengah-tengah rakyat di daerah ini guna mambangun upaya pendidikan hukum kritis, penegakan hukum dan Hak-hak Asasi Manusia yang berpihak kepada masyarakat kecil. Lembaga ini di kemudian dibuka secara resmi pada tanggal 15 Oktober 2012 oleh Bupati Kabupaten Teluk Bintuni yang terwakili oleh Bapak David Sebru, S.Sos dan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Yan Christian Warinussy, SH, acara peresmian ini dilakukan secara simbolik di Meeting rooms Steen -Kol Hotel, Bintuni.

Pasca pembukaan, sekretariat LP3BH Pos Kontak Bintuni kemudian dilengkapi dengan fasilitas gedung yang beralamat di KM II Jalan raya sibena, kali dua teluk Bintuni. Saat ini kantor Pos Kontak LP3BH Teluk Bintuni di jalankan oleh seorang koordinator dan empat orang relawan lokal Teluk Bintuni sebagai staf untuk menjalankan operasional Pos Kontak Teluk Bintuni. Dalam praktiknya dilapangan kantor Pos Kontak LP3BH Teluk Bintuni adalah lembaga yang berorientasi pada penguatan hak hak dasar masyarakat adat (civil) maupun penegakan hukum dan peraturan peundang-undangan yang berkeadilan kepada masayarakat di wilayah Teluk Bintuni.  Para staf ini memiliki komitment, itulah nilai yang dibangun bersama tim LP3BH Pos Kontak Bintuni dalam menyukseskan misi pelayanan bantuan hukum ataupun advokasi hak-hak sipil masyarakat adat Bintuni dan sekitarnya.

Proyeksi kedepan, dipastikan lembaga ini akan menjadi mitra Pemerintah Daerah maupun pihak swasta yang menawarkan konsep solutif dibidang hukum dan peraturan perundang - perundangan, dan kepada masyarakat lembaga LP3BH Teluk Bintuni akan menempatkan diri menjadi mitra yang bekerja bersama – sama dengan masyarakat sekitar***s_bn.


Sumber : Posting ini diambil dari selayang pandang Kantor Pos Kontak LP3BH Teluk Bintuni.