Sosok SK, yang kini menjabat sebagai Assisten II Bidang Ekonomi, Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial Sekda Propinsi Papua Barat kini resmi ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan status ini berkaitan dengan dugaan korupsi dana Liga Pendidikan Indonesia (LPI) Tingkat Nasional tahun 2013 di Balikpapan, sebagaimana menurut sumber : http://mediapapua.com/ Kasus ini ditaksir menembus angka kerugian negara sekitar Rp. 900 Juta rupiah.
Penetapan tersangka inilah yang kemudian diperdebat, lantaran SK sendiri tidak diperiksa oleh penyidik kejaksaan Negeri Manokwari. SK sendiri ditetapkan sebagai tersangka berkaitan dengan kapasitasnya yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Propinsi Papua Barat.
Versi media http://www.radarsorong.com/ Penetapan tersangka terhadap SK dipertanyakan Sekda Propinsi Papua Barat, "ada audit dari BPK atau tidak ? dari mana Kejari Manokwari mendapati kasus itu ? apakah mereka (Kejaksaan Negeri Manokwari) sudah pernah memeriksa SK ?
Ombudsman rupanya memperoleh pengaduan langsung dari tersangka SK, Sabar Olif Iwanggin, Ombudsman Propinsi Papua menyebut, ada yang tidak beres dengan penetapan status tersangka terhadap SK. senada dengan Pak Sekda, Ombudsman Papua juga ikut-ikutan mempertanyakan dasar penetapan tersangka kepada SK yang belum pernah diperiksa oleh Kejaksaan Negeri Manokwari.
Menurut undang-undang penetapan status seseorang menjadi tersangka tindak pidana paling kurang dengan adanya bukti permulaan yang cukup, pengaturan mengenai dua (2) alat bukti yang cukup terdapat di dalam pasal 1 angka 14 jo, pasal 17, pasal 21 ayat (1) KUHAP dan didasarkan pada dua (2) alat bukti sesuai pasal 184 KUHAP yakni :
- keterangan saksi
- Keterangan Ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan Terdakwa
Cukup dua alat bukti saja dari lima (5) alat bukti yang sah diatas, maka pelaku jika sudah diketahui dengan pasti, dapat ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana.
Demikian argumentasi hukum yang seharusnya bisa dipahami oleh Pak Sekda Papua Barat dan Ombudsman Papua Barat.
Berikutnya, dalam menetapkan tersangka, Kejaksaan seharusnya lebih independen jika ada tindak pidana tidak perlu ada koordinasi yang melulu dengan instansi lainnya seperti BPK atau BPKP. untuk kepentingan pembuktiaan tindak pidana korupsi yang lebih detil, instansi seperti BPK atau BPKP hanya dapat dimintai keterangan untuk memperkuat temuan kerugiaan negara berdasarkan hasil penyidikan yang sementara berjalan.
Koordinasi antara Pemprov Papua Barat bersama BPK dan BPKP Perwakilan Propinsi Papua Barat sangat mungkin terjadi terus menerus, tetapi untuk lembaga penegak hukum (Kepolisian atau Kejaksaan) harus ada batas untuk menghindari toleransi kejahatan tindak pidana korupsi.
Sumber Posting : diolah dari media on-line : http://mediapapua.com , http://www.radarsorong.com/ dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.