Pada, 23 September 2016, situasi Hak Asasi Manusia West Papua diangkat cukup tegas melalui suara dari pacific, Vanuatu, Solomon Island, Tonga, Nauru, Marshal Island, dan Tuvalu secara bergilir mendesak United Nation agar segera membentuk dan mengirim misi pencari fakta UN missing fact ke West Papua untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Papua Barat.
Desakan ke-enam pemimpin negara dari Pasific juga terhadap diberikannya akses kesempatan bagi penduduk West Papua untuk berhak menentukan nasibnya sendiri the rights to self determination.
Pesan diatas telah menirim sinyal ke Jakarta yang sangat prihatin terhadap enam negara pasific yang dianggap RI melalui Nara Massista, Second Secretary, Economic I for Economic Affairs of The Permanent Mission of The Republic Indonesia to Tee United Nation, New York, "kurangnya pemahaman sejarah dan pembangunan di Papua Barat, retorika dan manuver politik, untuk mengalihkan perhatian masalah dalam negeri mereka (di pasific) dan melanggar piagam PBB, terutama sesama anggota PBB dilarang saling mencampuri kedaulatan, demikian halnya kedaulatan Indonesia atas Papua Barat".
Perkembangan ini memberi pertanyaan dari aspek hukum internasional bahwa apakah pressure enam Negara Anggota PBB diatas dan jawaban Indonesia sebagai anggota PBB dan masing-masing yang sebagai pemangku "Subjek Hukum Internasional" telah mengantarkan posisi Papua menjadi calon subjek hukum Internasional ?
Seperti halnya ULMWP [United Libertaion Movement for West Papua] wadah pemersatu faksi-faksi perjuangan politik West Papua yang berjuang dipengasingan untuk tanah air West Papua, lantas ULMWP yang secara perlahan diantar menuj subjek hukum internasional ? secara teoritis, Subjek Hukum Internasional terdiri dari (1). State/Negara, (2). Tahta Suci (Vatikan), (3). Palang Merah International, (4). Organisasi International, (5). Individu dan (6). Pemberentok (Billigrency) dan Pihak dalam sengketa.
Subjek hukum international yang disebut "pemberontak dan pihak dalam sengketa" inilah yang masih banyak mengandung debateble oleh berbagai negara anggota PBB. sebab Subjek Hukum Internasional yang ini akan disamakan dengan organisasi pembebebasan dari bangsa yang memperjuangkan hak-haknya.
menguji dari pengalaman diberbagai belahan dunia tidak dapat dibantah bahwa "suatu organisasi yang memperjuangkan hak-hak bangsanya, terutama hak dibidang politik dapat menempati posisi subjek hukum Internasional.
The Palestine Liberation Organization (PLO) contohnya, Indonesia sendiri mengakui dan menerima dibukanya kantor perwakilan organisasi ini di Jakarta. sebagian besar negara-negara kemudian mengakui PLO sebagai wakil yang sah dari entitas penduduk Palestina dan organ ini mendapati tempat "sebagai organisasi pembebasan dari pihak yang bersengketa untuk menjadi subjek hukum Internasional".
Demikian halnya di Namibia, Africa, ada SWAPO (The South West African People Organization) yang aktif berjuang bagi pembebasan rakyat Namibia dari penguasaan Afrika Selatan. SWAPO memperoleh pengakuan dan dukungan dari komunitas Internasional, sekitar 90 tahun perjuangannya akhirnya berhasil membentuk State Namibia, lalu kemudian pengakua SWAPO sebagai subjek hukum Internasional berakhir dan digantikan State Namibia untuk menjadi subjek hukum Internasional.
Di Pasific ada FLNKS (Front de Liberation Nationale Kanak at Socialiste) yang tengah memperoleh pengakuan dari komunitas internasional, FLNKS dalam kerjanya memperjuangkan kepentingan politik rakyat "Kanaki" at The New Calledonia untuk memisahkan diri dari rezim Perancis.
Di West Papua ada ULMWP, tentu dapat dipastikan organisasi ini telah banyak belajar dari pengalaman dari beberapa organisasi diatas yang telah lebih dulu mendapati tempat sebagai "subjek hukum internasional", sehingga memungkinkan organ ini bergerak ke arah untuk mendapati tempat yang sama.
Dalam prinsip hukum internasional, subjek hukum " Pemberentok billigrency dan Pihak dalam sengketa" tidak bersifat permanent seperti halnya, State, Tahta Suci, Palang Merah Internasional, Organisasi Internasional dan Individu, apabila cita-cita atau tujuan dari Pemberentok billigrency dan Pihak dalam sengketa telah tercapai maka status sebaja subjek hukum internasional akan berakhir, sebaliknya jika gagal juga tempatnya sebagai subjek hukum internasional dapat diakhiri.
mendapati tempat sebagai "Subjek hukum internasional" adalah sangat penting sekali sebab sebuah wadah/organisasi akan memperoleh status untuk mewakili komunitasnya dalam menyepakati setiap solusi politik yang diperjuangan dalam system hukum internasional. dengan demikian, tentu pressure dari enam negara diatas dapat meningkatkan atensi yang lebih tinggi dan serius terhadap permasalahan west Papua dan Indonesia. ***The_Black_Fox.
**** Tulisan ini, hanya membuka sedikit wacana diskusi yang bersifat ilmiah dan hukum Internasional, tetapi tidak dalam capacity poitik.