Oleh : Yosef Rumasef
Hidangan Sehat Di Dalam Piring Kotor---
"Piramida terbalik kebijakan khusus Presiden bagi Papua.
Ringkasan bagian pertama dari dua tulisan.
Untuk kesekian kalinya Pemerintah Pusat meluncurkan paket kebijakan khusus (selanjutnya saya singkatkan Jaksus) untuk mempercepat pembangunan kesejahteraan Di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2017 tanggal 11 Desember 2017. "Jaksus" baru itu memperpanjang dafatar "Jaksus" sebelumnya yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati, Presiden SBY selama dua periode dan kini Presiden Jokowi.
Makin lama, jumlah "Jaksus" makin banyak lalu membentuk pola seperti piramida terbalik. Piramida terbalik "Jaksus" bagi Papua itu menjadi indikasi bahwa belum ada satupu "Jaksus" yang diyakini pemerintah Pusat menjadi solusi efektif bagi pembangunan kesejahteraan baik di Propinsi Papua maupun di Propinsi Papua Barat, dugaan ini logis karena jika "Jaksus" sebelumnya telah menjadi solusi efektif maka tentu tidak perlu diterbitkan serangkaian "Jaksus" berikutnya.
Ketika ulasan ini saya buat, Indonesia digemaprkan oleh berita kematian massal di Kabupaten Asmat, Yahukimo, dan-lain lain akibat Gizi Buruk, Campak mallnutrisi dan lainnya. Lalu muncul pertanyaan sebenarnya langkah mendesak seperti apa yang lebih mendasar untuk dilakukan Presiden selain menerbitkan Inpres
Piramida Terbalik "JAKSUS" Untuk Papua
Paskalis Kossay dalam tulisan di WA Group The Spirit of Papua berjudul "INPRES LAGI, JOKOWI MENGGEBU BANGUN PAPUA" menyebutkan empat kebijakan Jakarta yang bersifat khusus, ke-empat "Jaksus" itu adalah :
Pertama, pada zaman Presiden Megawati , mulai diberlakukan Otonomi Khusus dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (Selanjutnya disingkat UU Otsus) yang masih berlaku sampai sekarang.
Kedua, pada zaman Presiden SBY, muncul Inpres No. 5 Tahun 2007 tentang New Deal for Papua
Ketiga, masih di Zaman Presiden SBY, diberlakukan Perpres Nomor 65 dan 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat (UP4B).
Ke-empat, pada zaman Presiden Joko Widodo, di keluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Pembangunan Kesejahteraan Di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat.
Dalam catatan saya, Empat "Jaksus" diatas secara paralel sudah dan masih ditambah dengan pemekaran DOB (Daerah Otonom Baru) baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang berimplikasi pada penambahan Kodam (Komando Daerah Militer) dan Polda (Kepolisian Daerah) baru juga ada pula kunjungan Presiden Jokowi minimal tiga kali dalam setahun ke Papua dan Papua Barat.
Alhasilnya perkembangan ini menambah panjang daftar "Jaksus" bagi Papua dan Papua Barat dengan beberapa item berikut : (tulisan hilang)
Kelima : dengan argumen manifest yakni kebijakan memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintah kita hanya bisa menduga adanya argumen lain yang bersifat laten---,secara Paralel baik di zaman Presiden Megawati, Presiden SBY maupun Presiden Jokowi, "Jaksus" ini ditambah dengan kebijakan pemekaran DOB baik Propinsi, maupun Pemekaran Kabupaten/Kota dari sebelumnya satu Propinsi yang terdiri dari 9 Kabupaten menjadi dua Propinsi yaitu Propinsi Papua menjadi 28 Kabupaten plus 1 Kotamadya dan Propinsi Papua Barat dengan 12 Kabupaten plus 1 Kota Madya.
Keenam : secara Nasional, Pemerintahan Presiden Jokowi sudah memberlakukan kebijakan moratorium penambahan DOB dengan alasan efisiensi anggaran Pemerintah. Namun khusus untuk Papua dan Papua Barat , Pemerintah merencanakan penerapan "Moratorium Terbatas". Dalam diskusi dengan Senator Marvin Komber, Bintuni 29 Oktober 2017, Ketua Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI itu menyampaikan bahwa "Moratorium Terbatas" hendak diberlakukan Presiden Jokowi dan efektif sebelum Pemilu 2019 itu akan mengakibatkan dibentuknya tambahan 25 DOB lagi di Tanah Papua.
Propinsi Papua akan dimekarkan lagi menjadi tiga (3) Propinsi yaitu, Propinsi Papua, Propinsi Papua Selatan dan Propinsi Papua Tengah disertai tambahan 13 Kabupaten Baru. dan Propinsi Papua Barat dimekarkan menjadi dua (2) Propinsi yaitu Propinsi Papua Barat dan Propinsi Papua Barat Daya dengan 10 Kabupaten Pemekaran.
Sebenarnya, total proposal penambahan DOB yang diterima Pemerintah Pusat sebanyak 33 DOB namun menurut Senator Komber, Pemerintah Pusat hanya setujui tambahan 25 DOB.
Ketuju : Konsekuensi tambahan DOB tersebut maka Kodam, Polda dan turunya ikut dikembangkan dari 1 Kodam dan 1 Polda menjadi 2 Kodam dan 2 Polda plus turunanya di 29 Kabupaten/Kota Propinsi Papua dan 13 Kabupaten/Kota di Propinsi Papua Barat.
Dan kelak, jika "Jaksus Moratorium Terbatas" Presiden Jokowi direalisasikan, maka akan muncul lagi tambahan 3 (tiga) Kodam dan 3 (tiga) Polda dan turunanya sehingga secara keseluruhan akan ada 5 (lima) Kodam dan 5 (lima) Polda dan turunanya, (Kodim/Polres/Koramil/Polsek) Di lima Propinsi dan 65 Kabupaten/Kota se-Tanah Papua.
Kedelapan : Presiden Jokowi membuat "Jaksus" bagi Papua dengan berkunjung tiga kali dalam setahun ke Papua dan Papua Barat. Suatu kunjungan yang diharapkan mampu mendongkrak implementasi kebijakan pembangunan yang sudah digariskannya.
Tradisi Kegagalan Implementasi "Jaksus"
Sesungguhnya UU Otsus sudah merupakan landasan kuat bagi Pemerintah untuk membangun Papua, Undang-Undang ini merupakan komitmen Negara dimana diatur secara paripurna sasaran keberpihakan dan distribusi kewenangan Pusat - Daerah serta kapasitas pembiayaannya maupun program prioritasnya.
Namun kemudian diluncurkan lagi berbagai "Jaksus" yang tumpang tindih (over-laping) dengan amanat Undang-Undang Otsus. Muncul beberapa intisari masalah kegagalans secara susul menyusul ibarat tradisi yang diwariskan dari generasi kepemimpinan nasional satu ke generasi kepemimpinan nasional yang berikutnya.
Masalah pertama, UU Otsus belum diimplementasikan secara konsisten. Implementasi Otsus sejauh ini lebih dititikberatkan pada distribusi Jabatan untuk menjawab tuntutan "Hak kesulungan Orang Asli Papua" terutama untuk menduduki jabatan politis strategis, misalnya sebagai kepala Daerah dan Jabatan Politis lainnya serta dropping finansial ke Papua dan belum secara paripurna diimplementasikan pasal demi pasal
Masalah Kedua, muncul Inpres No. 5 Tahun 2007 untuk mempercepat pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan pembangunan SDM. suatu komitmen Negara yang tidak jauh beda dengan komitmen dalam UU Otsus. Namun gagal diwujudkan. mengapa gagal ? tidak ada evaluasi yang secara transparan bisa menjelaskan penyebab kegagalan implementasi Inpres ini.
Tapi, berdasarkan pengalaman kegagalan yang tidak jelas itu kemudian Presiden SBY meluncurkan lagi kebijakan baru untuk percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat, yaitu meluncurkan Perpres Nomor 65 dan 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat (UP4B). UP4B pola kerjanya bukan bersifat koordinatif melainkan dikendalikan
oleh Badan tersendiri yang dibentuk dengan Perpres Nomor : 66 tahun
2011. Badan ini bertanggung jawab mengawal kebijakan presiden,
merumuskan program aksi strategis , melakukan koordinasi dengan
Kementerian / Lembaga dan dengan pemerintah daerah provinsi maupun
kabupaten/ kota dipapua dan papua barat. Namun dalam pelaksanaannya
tetap dihadang kendala. Menurut Paskalis Kossay, masalah utamanya adalah
sulitnya koordinasi dan juga sikap resistensi dari pejabat pusat dan
daerah.
Masalah ketiga, kini Presiden Jokowi meluncurkan Inpres
baru Inpres Nomor : 9 tahun 2017 tanggal 11 Desember 2017 tentang
percepatan pembangunan kesejahteraan masyarakat papua di Provinsi papua
dan Provinsi Papua Barat. Inpres ini menunjuk langsung peran para
Menteri dengan uraian tugas sesuai bidang masing-masing. Menteri PPN
dan Kepala BAPPENAS ditunjuk sebagai koordinator untuk mengkoordinir
Kementerian / Lembaga Pusat dalam rangka mensinergikan penyusunan
rencana aksi dan pembiayaan program percepatan pembangunan kesejahteraan
masyarakat Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat sampai dengan tahun
2019.
Inpres Nomor : 9 tahun 2017 ini dari konteks semangat dan
arah kebijakannya persis sama dengan Inpres Nomor : 5 tahun 2007.
Bedanya hanya pada rejim pemerintahan. Keberhasilan implementasi Inpres
ini masih harus dibuktikan dalam kurun waktu tahun 2018-2019.
Sesungguhnya tidak mudah menjalankan koordinasi tingkat menteri untuk
mengimplementasikan program Presiden ini.
Jika tidak konsisten
dan sungguh-sungguh membangun koordinasi antar Kementerian / Lembaga ,
kemungkinan besar semua rencana terbengkalai. Pada akhirnya kebijakan
tersebut akan gagal. Masih harus dibuktikan.
Masalah keempat,
kebijakan pemekaran wilayah pemerintahan dengan pembentukan DOB untuk
memperkecil rentang kendali pelayanan pembangunan tidak berbanding lurus
dengan kemampuan akses masyarakat terhadap hasil pembangunan, khususnya
di bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi kerakyatan. Pemerintah
membanggakan berbagai data pembangunan infrastruktur fisik (jalan,
bandara, pelabuhan, dll) tapi angka IPM (Indeks Pembangunan Manusia)
baik dari Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat tetap saja terendah
se-Indonesia.
Penambahan DOB ini disertai pula secara paralel
dengan pembentukan tambahan Komando Daerah Militer (Kodam) baru disertai
turunannya serta Kepolisian Polda (Polda). Saat sekarang sudah ada 2
(dua) Kodam dan 2 (Polda) baru tetapi angka aksi kekerasan bersenjata
tidak surut terutama di sekitar wilayah operasi investasi multinasional
Freeport dan daerah pegunungan tengah. ***Black_Shark
Kampung Korido, 21 Jan 2018
Sumber : Posting Blog diakses dari akun Facebook yang bersangkutan setelah mengkonfirmasi ijin yang bersangkutan.