Doc Foto ini diambil oleh alm. rekan saya Demat. |
Tanah Papua seakan tidak akan pernah senyap dari bunyi sepatu (boots) laras pasukan keamanan militer,
berkaca pada sejarah kelam integrasi Papua ke dalam Indonesia melalui proses “Act of free chooice” ala Indonesia (Pepera), masa kelam
sepatu (boot) dan senpan laras masih membekas dan seakan sulit untuk dilupakan
begitu saja oleh generasi tahun 60-an yang masih hidup saat ini. Sejarah kelam
ini oleh penulis-penulis ulung Papua menyebutnya “the memoria passionis” yang artinya “ingatan penderitaan”, ingatan
untuk sebuah sejarah kekerasan rezim orde baru yang memakai kekuatan ABRI atau
militer saat itu di Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat).
Setelah Jenderal Soeharto dan rezim terguling melalui gelombang
reformasi, Mei 1998, perubahan situasi kemudian berubah total dari Jakarta
hingga ke daerah, terutama di tanah Papua. Pada masa yang bersamaan gejoak
Politik cukup memuncak terutama aspirasi penduduk pribumi #indigenous of Papuan yang menuntut untuk terlepas diri dari
Jakarta, bahkan “aspirasi ini telah disampaikan melalui tim 100 dan didengar
secara langsung oleh istana yang saat itu menjabat B.J Habibie pada Februari
1999 silam.
Sewaktu KH. Abdurhaman Wahid atau Gusdur menggantikan Habibie sebagai
Presiden RI ke-IV, beliau cukup banyak memberi terobosan baru bagi Irian Jaya
saat itu, Gusdur mengembalikan nama Papua yang dihilangkan dengan nama “Irian”,
bendera bintang kejora dibiarkan berkibar bersamaan dengan bendera nasional
merah putih di atas tanah Papua. Meskipun Undang-Undang No. 21 tahun 2001
diundangkan oleh rezim Megawati Soekarno Putri tetapi menurut sejumlah referensi
Undang-Undang Otsus Papua adalah adalah “karya rezim Gusdur untuk Papua yang
lebih terhormat”, Otonomi khusus Papua menjadi “recognize” bagi pemerintah untuk menyakini dengan serius bahwa
“ekses dari kebijakan yang sentralistik telah memicu banyak kesenjangan,
termasuk belum sepenuhnya menampakan “penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia”
di Papua. Pemerintah mengakui bahwa Papua telah banyak menjadi korban dari
praktik kekerasan pemerintah ketika rezim orde baru berkuasa, dan terutama
sekitar 24 tahun status DOM (Daerah Operasi Militer) diberlakukan untuk mempertahankan Irian Jaya dan
hasil Pepera 1969 saat itu.
Kebijakan politik Otonomi Khusus merupakan upaya untuk mendorong Papua
memperbaiki pelbagai permasalahan termasuk didalamnya pelanggaran Hak Asasi
Manusia (human rights abuses)
dari sejarah kelam diatas. Otonomi khusus diharap menjadi regulasi stimulan guna mendorong
terselesainya berbagai permasalahan, tuntutan dan juga berbagai aspirasi di
Papua mulai dari saat itu hingga sekarang.
Untuk memastikan proses penyelesaian berbagai permasalahan antara
pemerintah dan rakyat Papua berlangsung dengan aman tanpa ada traumatis atau
rasa takut masa lalu terhadap militer, Undang-undang Otsus mengakomodir melalui
pasal 48 dan pasal 49 bahwa fungsi keamanan di Papua menjadi urusan “Polda
Papua atau sekarang telah terbentuk Polda Papua Barat guna menjalankan fungsi
kamtibmas dan penegakan hukum’. Undang-Undang Otsus Papua sejalan dengan
perubahan yang terjadi pasca TNI dan Polri dipisahkan melalui UU No. 2 tahun
2002 tentang Polri dan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, adanya kedua
undang-undang ini telah merombak banyak peran ABRI sewaktu berkuasa bersama
rezim orde baru terutama politik dwi-fungsi ABRI saat itu dilestarikan di dalam
Negara termasuk di Papua.
Menurut
persepsi pribadi, bahwa pertama bahwa Otonomi khusus dipahami merupakan policy pemerintah yang tidak melihat perkembangan
gejolak politik termasuk aspirasi politik di Papua sebagai permasalahan “separatis,
pemberontakan bersenjata ataupun perang saudara” yang tentu memerlukan
penanganan serius oleh militer untuk melakukan gelar operasi. Hal ini merupakan
perwujudan kebebasan berekspresi yang dijamain konstitusi UUD 1945, dan UU No.
9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat. ....... [BERSAMBUNG..!!!]
Artikel ini dapat juga diakses pada : www.tapanews.com