BIAK, Sa memilih akronim ini lantaran kembayakan orang di Papua khususnya menyebut
“Bila Ingat Akan Kembali” dengan kata "B I A K", namun disini BIAK bukan untuk kisah romantis melainkan
sebuah tragedi pilu yang terjadi pada 6 Juli 1998.
Hari itu puluhan
orang terorganisir untuk melakukan aksi
damai dibawah menara air (tower) aksi di pimpin sang ikon pejuang damai Papua
tuan FILEP KARMA, bendera Bintang Kejora yang diijinkan mantan Presiden RI
Gusdur tahun 2001 nampak dikibarkan warga di hari juga.
Pemerintah lalu
tidak menyukai aksi itu lalu menggerakan “kekuatan aparatur keamanan” dan membubarkan secara paksa terhadap aksi warga. Fakta mengungkap bahwa “ternyata situasi tidak
sebatas pembubaran, melainkan telah terjadi pembunuhan (mutilasi), penyiksaan, penangkapan
paksa, penculikan, pemerkosaan yang mengakibatkan hilangnya puluhan nyawa
manusia, sebagian mengalami luka-luka, yang terjadi diluar hukum”.
Sejumlah referensi
saat ini menegaskan, peristiwa ini tidak diakui pemerintah dan bahkan diisolasi
selama bertahun-tahun, tidak percaya? anda boleh bertanya ke Komnas HAM atau browsing (searching) di google.id mengenai peristiwa ini.
6 Juli 2018 ini,
peristiwa ini berusia 20 tahun, sepanjang itu dibungkam tanpa ada pihak yang
hendak mengaku bertanggungjawab.
Tahun 2013,
Pengadilan rakyat di Australia, University of Sidney sempat memeriksa peristiwa
mematikan ini, melalui pemeriksaan arsip laporan dan kesaksian korban yang
masih hidup terungkap lebih dari 150 orang telah terbunuh akibat peristiwa
tersebut, Pemerintah Indonesia diminta melakukan penyeleidikan independen, http://banundisimon.blogspot.com/2017/07/kapan-negara-mengakui-biak-berdarah.html
Tujuan tulisan ini berupaya
mengingatkan pemerintah, dan para aktifis terhadap peristiwa ini.
Rupanya pemerintah melihat BIAK dalam sudut pandang yang berbeda, yaitu Bila Ingat Akan Kembali terhadap pulau strategis ini yang pernah digunakan Jepang hingga direbut sekutu sebagai pangkalan armada pertahanan ketika pecah perang dunia II. Biak yang secara keseluruhan memiliki luas 21,672 KM2 (3.130.KM2 + 18.442KM2) sangat strategis dikatulistiwa pernah menguntungkan AS membangun pangkalan AU Sekutu di pulau Owi guna mendukung logistic militer AS pada perang di pasifik.
Rupanya pemerintah melihat BIAK dalam sudut pandang yang berbeda, yaitu Bila Ingat Akan Kembali terhadap pulau strategis ini yang pernah digunakan Jepang hingga direbut sekutu sebagai pangkalan armada pertahanan ketika pecah perang dunia II. Biak yang secara keseluruhan memiliki luas 21,672 KM2 (3.130.KM2 + 18.442KM2) sangat strategis dikatulistiwa pernah menguntungkan AS membangun pangkalan AU Sekutu di pulau Owi guna mendukung logistic militer AS pada perang di pasifik.
Pemerintah Indonesia
saat ini kemudian masih mengenang BIAK sebagai potensi untuk mendukung armada militer
pemerintah, seperti pernyataan mantan Panglima TNI http://banundisimon.blogspot.com/2016/05/mengubah-pulau-biak-menjadi-kapal-induk.html
Andai komitmen
pemerintah saat ini, menyelesaikan misalnya non-judicials, apakah ini tidak
sepihak? Lalu apakah sudah ada pengakuan, benar kami pelaku, kami bersalah. Kami
akan meminta maaf dan lain sebagainya ?. Kita baru beberapa hari ini menyaksikan laporan amnesty Indonesia dengan judul "Sudah, kasi tinggal dia mati" Pembunuhan dan Impunitas di Papua, laporan yang menghebohkan ini masih pula pemerintah berdalih "Amnesty harus fair, aparat di Papua membela diri (membunuh atau dibunuh), aparat juga korban".
Bagaimana dengan BIAK yang menewaskan ratusan orang dalam seharian saja.
Bagaimana dengan BIAK yang menewaskan ratusan orang dalam seharian saja.
“Bila Ingat Akan Kembali”***Black_Fox