Jhon. N.R. Gobay Dewan Adat Paniai |
Hasil pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan
29 tokoh Papua yang digelar pada 9 Agustus 2005. Pada kesempatan itu Presiden
antara lain menyatakan, ”Ada sejumlah isu yang harus dituntaskan dengan tepat.
Kita menyelesaikan berdasar kepentingan bersama. Kita ingin mengelola Papua
dengan lebih baik.” Hal itu ditegaskan lagi dalam pidato Yudhoyono di DPR, 16
Agustus 2005.
Sikap konstruktif dan
bijaksana Presiden itu merupakan langkah awal di jalur yang tepat dalam upaya
menyelesaikan persoalan yang menjadi keprihatinan rakyat Papua selama ini.
Puncak ekspresi ketidakpuasan rakyat Papua adalah long march sekitar 15
kilometer, Abepura-Jayapura, yang digerakkan Dewan Adat Papua untuk
menyampaikan ”keputusan” mengembalikan otonomi khusus (otsus) ke pemerintah.
Dalam hal ini satu hal yang telah dihasilkan adalah pembentukan Majelis Rakyat
Papua yang dilaksanakan pada bulan November 2005.
Beberapa
saat setelah Lukas Enembe dan Klemen Tinal, dilantik sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur Papua, setelah diterima oleh Presiden RI di Jakarta, diumumkan sebuah
dokumen untuk Papua yaitu OTSUS PLUS yang lahir di Istana Merdeka, mungkin hal
ini wajar karena wilayah papua masih dalam kerangka NKRI.
Dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan yang partisipatif maka alangkah bijaksana
jika draft OTSUS PLUS datang dari Papua, bukan disiapkan oleh pemerintah pusat.
Pada
tanggal 24 Juli- 27 Juli 2013, di Hotel Sahid Papua di Jayapura telah
dilaksanakan kegiatan Evaluasi OTSUS Papua oleh Majelis Rakyat Papua dan Papua
Barat yang hasilnya meminta dialog dan setelah dilakukan dialog, dilanjutkan
dengan evaluasi Otonomi Khusus Papua.
Beberapa
permasalahan yang dapat dikemukakan dalam mengkaji substansial UU OTSUS Papua
adalah sebagai berikut:
ASPEK
NORMATIF
§
Bab III, Pasal 3 ayat 1 :
Tidak ada pengaturan/ penjelasan terkait dengan kabupaten/kota sebagai
daerah otonom, sehingga berakibat terjadinya dualisme dalam penggunaan aturan (UU 21 dan UU 32).
§
Bab III, Pasal 3 ayat 3: Perubahan
nama menjadi Distrik dan Kampung tidak merubah konskwensi apapun
terhadap kekhususan bagi Papua, dikarenakan tidak terdapat penjelasan.
§
Bab IV, Pasal 4 ayat 2: Pengaturan
pemberian kewenangan khusus dalam rangka pelaksanaan Otsus tidak jelas (Pelaksanaan kewenangannya
diatur dng perdasus).
§
Bab V Pasal 5 ayat 2 dan
3 : Tidak ada pengaturan terkait dengan representasi
kultural di tingkat kabupaten/Kota.
§
Bab V. Pasal 6 ayat 4 : Penambahan Jumlah anggota
DPRP sebanyak 1.1/4, tidak jelas alasan dan peruntukannya.
§
Bab V. Pasal 7 huruf a : sudah tidak sesuai dengan
perkembangan demokrasi.
§
Bab V Pasal 11 : Tidak sesuai dengan perkembangan
di Papua.
§
Bab V. Pasal 12 huruf a dan Pasal 1 Huruf t :
Terkait pengakuan orang non Papua, belum jelas mengenai hak dari masyarakat
adat dlm pembeberian pengakuan.
§
Bab V. Pasal 19 :
Belum jelasnya pendekatan representasi kultural (apakah berdasar wilayah
pemerintahan atau wilayah adat).
§
Bab VII. Pasal 28 :
Isi dan substansi pembentukan partai politik dalam pasal 28 tidak jelas.
§
Bab IX. Pasal 34 ayat 3
huruf e : Tidak ada ketegasan tentang jumlah prosentase
peruntukan penggunaan dana otsus.
§
Bab XXIV. Pasal 76 :
Ketentuannya masih Umum, belum mengatur secara rinci tentang prosedur dan
parameter.
ASPEK IMPLEMENTATIF
§
Pembentukan hukum berupa Perdasi dan Perdasus belum
dilaksanakan secara optimal terkesan main-main.
§
Pengelolaan dan pelaksanaan Anggaran di Papua tidak
effisien effektif (tidak menyentuh kepentingan rakyat banyak).
§
Pengelolaan pendidikan dan kesehatan bagi orang
asli papua belum menjadi skala prioritas .(perencanaan, Anggaran, SDM, Sarana
dan Prasarana).
§
Kebijakan Pembangunan di Papua tidak integratif
(antara Pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi, dan Kabupaten/Respek, PNPM
Mandiri, BOS, dll).
§
Perencanaan pembangunan masih formalistik, belum
partisipatif yang sesungguhnya.
§
Pemekaran daerah masih melihat kepentingan politik
dan bukan untuk kepentingan masyarakat.Kebijakan pemekaran DOB selama ini hanya
dimanfaatkan oleh para elit-elit politik lokal untuk kepentingan politik karena
kecewa dengan hasil PILKADA, non job, dan kecewa dengan jabatan. Namun ada yang
benar-benar karena rentang kendali. Kebijakan pemekaran kedepan diharapkan,
dilakukan secara sungguh-sungguh dengan membuat kajian akademis yang benar, dan
disiapkan sebuah aturan yang tegas tentang target-target pencapaian sehingga
meminimalisir korupsi.
OTSUS PAPUA, PRO DAN KONTRA
Sejak
diberlakukan UU OTSUS Papua, ada berbagai pihak yang merasa beruntung dengan
diberlakukannya OTSUS karena dengan ini masyarakat adat dapat dengan menepuk
dada dan mengatakan saya putra daerah dengan adanya UU ini rejim orde baru yang
sangat akrab dengan militer berkurang dari Papua.hal itu ditandai dengan pintu
untuk purnawirawan dengan pangkat Kolonel menjadi Bupati dan Kakanwil tertutup;
dan yang terbuka adalah pintu untuk Orang Asli Papua menjadi Bupati, Kadis
Provinsi, hal itu diikuti juga pejabat di Kab/Kota yang mengakibatkan banyak
Orang Kaya Baru (OKB) di Papua.
OTSUS
juga telah menimbulkan sikab ego kedaerahan yang berlebihan di Papua, yang
contohnya adalah adanya kata-kata yang harus menjadi pejabat di Biak adalah
orang biak, yang lain tidak boleh, yang harus diterima sebagai PNS di Supiori
adalah orang asli supiori, dengan era OTSUS ini timgkat korupsi tinggi sehingga
menciptakan kerajaan-kerajaan kecil didaerah, karena itu kadangkala orang tidak
senang dengan adanya UU OTSUS
Otsus
Papua gagal karena tiga pihak;
1. Pemerintah pusat,
Penerintah pusat ikut menggagalkan OTSUS karena pemerintah pusat tidak
secepatnya membuat Peraturan Pemerintah terhadap sejumlah pasal-pasal dalam
OTSUS yang memerlukan peraturan pelaksanaan yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, produk hukum yang dihasilkan yaitu perdasi dan perdasus
masih harus dikonsultasikan ke pusat telah mengurangi makna OTSUS bagi Papua.
2. Pemprov dan DPRP,MRP
Pemerintah Provinsi Papua yang lamban untuk menyusun dan mensosialisasikan
perdasi dan perdasus agar dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan OTSUS, pihak
DPRP yang tidak dapat menggunakan hak legislasinya untuk menyusun Perdasi atau
Perdasus serta DPRP yang menunda-nunda pembahasan dan penetapan Perdasi dan
perdasus yang sudah disiapkan oleh Pemprov Papua disatu sisi MRP yang seharusnya
memberikan pertimbangan dan saran tidak memberikan saran tentang hal-hal yang
substansial untuk pelaksanaan OTSUS
3. Masyarakat papua, Otsus
Papua juga tidak jalan dengan baik, karena, sejumlah pihak masyarakat
mengganggap tidak perlu ada pelaksanaan Otsus di Papua karena menurut kelompok
ini masyarakat hanya menginginkan dialog atau refendum, hal ini juga ikut
mempengaruhi tidak maksimalnya pelaksanaan OTSUS Papua. Kondisi ini juga dimanfaatkan
penguasa untuk membuat penyalahgunaan dana OTSUS yang diperuntukan untuk
mensejahterakan rakyat,
REKOMENDASI
1. Masyarakat
Adat Papua segera Menyiapkan RUU OTSUS versi masyarakat adat sebagai bentuk
OTSUS PLUS yaitu Otonomi Papua sebagai
Wilayah Pemerintahan Khusus, dengan menambahkan Pasal pasal penting: Bahan
Mineral dan Tambang, Kehutanan, Perikanan, Sumber Daya Genetik,Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat, Perkebunan agar ORANG PAPUA MENJADI TUAN ATAS SDAnya dengan
membangun BADAN USAHA MASYARAKAT ADAT dan Kewenangan MRP agar MRP tidak
dianggap SUPERBODY tetapi jadi SUPER KONSULTATIF, sesuai dengan Pasal 77 UU
OTSUS Papua;
2. segera dibentuk tim hukum Masyarakat Asli
Papua untuk mengkaji kembali OTSUS Papua; dengan jalan melakukan Judicial
Review terhadap UU OTSUS dan UU OTDA,
sehingga jelas kiblat dari Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah
Kabupaten/Kota di Papua.
3. Dalam
mengajukan gugatan JUDICIAL REVIEW yang digugat adalah Presiden RI, MENDAGRI,
Penggugat adalah Orang Asli Papua, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
Resource :
Tulisan Ini diperoleh via email dari Ketua DAP Wilayah Paniai Jhon N.R. Gobay.