Doc Tersangka (IST) |
Negara
ini adalah Negara Hukum, kita bisa melihat pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
dengan tegas menyebutkan “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”, pengertian praktis, Negera Hukum artinya Negara
yang menegakan supremasi hukum (supremacy
of law) untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak pernah ada
kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Prinsip penting Negara hukum yakni
perlindungan yang sama (equal protection)
dan juga persamaan dimuka hukum (equality
before the law).
Untuk
maksud tersebut dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan selalu harus berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mengatur. Di dalam konstitusi
Indonesia disebut "rechstaat" tidak berdasarkan pada
kekuasaan belaka "machstaat". Disini hukum telah
menjadi frame dalam penyelenggaraan
pemerintahan sehingga pemegang jabatan wajib untuk berpijak dan menggunakan
hukum sebagai peraturan yang berlaku untuk membuat dan menjalankan fungsi suatu
jabatan.
Desain
tulisan ini secara khusus menyoroti secara singkat fenomea PNS Di Propinsi
Papua Barat dan Kabupaten/Kota yang kerap tersangkut kasus atau perkara hukum
tetapi justru dilindungi oleh kekuasaan sepihak pengusaha (Pimpinan) yang dalam
kapasitas memegang jabatan penting.
Pertama,
dari sisi hukum acara pidana. Dalam praktik hukum acara pidana terdapat salah
satu asas untuk kepentingan penegakan hukum yang dipegang oleh para catur wangsa (Polisi,
Kejaksaan, Hakim dan Advokat) yakni persamaan dimuka hukum equality before the law yang mengandung pengertian setiap orang
diperlakukan sama dihadapan hukum, baik sesama orang yang tersangkut perkara
hukum ataupun kepada orang yang tidak tersangkut perkata hukum, asas ini dapat
ditemui dalam penjelasan umum KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
butir 3 a. Yang berbunyi “perlakuan yang sama atas diri seseorang dengan tidak
mengadakan pembedaan perlakuan”. Pokok utama dari perlakuan sama setiap orang
dihadapan hukum mengharuskan tiada seorangpun yang dapat memperoleh perlakuan
berbeda baik karena jabatan, golongan, suku, agama tertentu termasuk status politik
yang disandangnya, semua orang harus setara dalam penegakan dan mainstream
hukum.
Kedua,
dari sisi hukum administrasi Negara, terdapat Undang-Undang No. 5 Tahun 2014
tentang ASN (Apartur Sipil Negara), Undang-undang yang dikeluarkan pada tahun
terakir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini mengatur dengan tertib
Pegawai Negeri Sipil yang diubah dengan nama ASN (Aparatur Sipil Negara),
sebagaimana menurut pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 3 UU No. 5 tahun 2014
tersebut. Menurut UU ASN, PNS diatur untuk dapat diberhentikan dengan hormat,
tidak dengan hormat dan juga bisa diberhentikan sementara dari jabatan PNS/ASN.
Ketiga,
menyalahgunakan wewenang, seorang pejabat PNS/ASN dalam menjalankan tugas
kedinasan wajib patuh dan dengan wewenang yang ada tidak boleh melakukan
pelanggaran penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur pada Peraturan
Pemerintah (PP) No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Tindakan penyalahgunaan wewenang disini dimaksudkan menurut pasal 4 PP N0. 53
tahun 2010, yakni, ketika seorang pejabat PNS/ASN menggunakan kewenanganya
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu untuk kepentingan pribadi atau
kepentingan pihak lain yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan
tersebut.
Dalam
tiap kasus PNS/ASN yang tersangkut perkara hukum terutama, terdapat pembagian
yang menjadi alasan hukum seorang Pejabat PNS/ASN dapat diberhentian, yaitu
PNS/ASN “yang diberhentikan tidak dengan hormat” adalah PNS/ASN yang tersangkut
perkara dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan putusan
pengadilan, sebagaimana diatur di dalam pasal 87 UU ASN, ini hanya berlaku
untuk PNS yang putusan hukuman berupa pidana penjara 2 tahun atau lebih.
Sementara
PNS/ASN “dapat diberhentikan sementara” jika dalam pemeriksaaan (penyidikan)
perkara ditetapkan status oleh penyidik sebagai tersangka, diatur di dalam
pasal 88 UU ASN. Penonaktifan sementara ini baru akan berakhir setelah proses
pemeriksaan perkara yang bersangkutan berakhir dan memperoleh putusan (vonis) tidak
terbukti bersalah atau memperoleh putusan dibawah 2 (dua) tahun pidana penjara
atau kurungan.
Bertolak
dari kedua pola pemberhentian PNS/ASN yang tersangkut perkara hukum di atas
terdapat kesimpulan singkat bahwa “setiap PNS yang tersangkut perkara hukum
sebagai tersangka dapat diberhentikan sementara oleh pejabat yang berwenang
(atasan) dan diberhentikan tidak dengan hormat atau sebaliknya pemberhentian
sementara PNS/ASN dapat dicabut, diubah dengan pengaktifan kembali seorang
PNS/ASN yang tersangkut perkara hukum sebagaimanamengikuti pasal 82 ayat (2),
ayat (4) dan pasal 88 UU ASN.
UU
ASN tidak menyebut penonaktifan terhadap PNS yang berstatus terdakwa atau
terpidana mengingat tentu (otomatis) penafsiran penonaktifan tersangka akan
berlaku hingga proses pemeriksaan perkara tertentu yang melibatkan PNS berakhir,
dan memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat (in-cracht van gewijsde). Meskipun ada asas praduga tak bersalah
presumption of inoncence pada diri
tersangka selama pemeriksaan, tetapi patut untuk diingat bahwa asas ini untuk
memastikan proses pemeriksaan tersangka berlangsung dengan melindungi hak asasi
manusia tersangka, ini bukanlah asas bagi akses untuk terhindar dari ancaman
pasal 88 ayat (1) huruf c UU ASN. Penting untuk diingat bersama bahwa, pendapat
ahli, presumption of inoncence adalah
prinsip aquisator untuk menempatkan tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan
sebagai subjek bukan objek pemeriksaan.
Dari
fenomena yang ada, beberapa pejabat Di Propinsi maupun Kabupaten/Kota di Papua
Barat cenderung tidak memahami fungsi jabatan mereka dalam menjalankan peraturan
perundang-undangan demikian. Sejumlah kasus di wilayah Propinsi maupun
Kabupaten/Kota di Papua barat terutama tindak pidana korupsi menyeret pejabat
aktif yang hampir mayoritas tidak pernah ada penonaktifan resmi dari Pemerintah
Daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Pada
akhirnya terbentuk kesan negatif yang terpelihara secara kolektif untuk waktu
yang lama diberbagai pihak. Pertama,
para PNS/ASN akan selalu merasa diri paling benar dalam tindakanya, tidak akan
pernah ada budaya malu meskipun kesalahan yang dilakukan melukai hati
masyarakat dan merugikan pemerintah dan Negara, tetapi mereka justru merasa
diri paling layak dan wajar untuk bebas dari penon-aktifan sementara lalu
berkelit dengan alasan yang tidak berdasar.
Kedua,
telah ada penciptaan teladan yang akan berpotensi untuk diikuti oleh PNS/ASN
lainnya, menurut pendapat pribadi, tentu akan ada klaim kolektif bahwa UU ASN
tidak lagi berlaku untuk wilayah tertentu dengan pemahaman-pemahan pragmatis
dari oknum-oknum PNS untuk memperkeruh birokrasi pemerintah daerah.
Ketiga,
kerusakan wibawa pemerintah daerah. Seorang pejabat atau kepala pemerintahan
sebagai pamong yang bijak, seharausnya tegas dan dapat mengambil tindakan
penonaktifan sementara setiap pejabat PNS/ASN yang tersangkut kasus hukum
sebagai tersangka dan juga dengan tegas memberhentikan tidak dengan hormat pejabat
PNS/ASN yang diputus hukuman pidana penjara di atas 2 (dua) tahun pidana
penjara atau kurungan demi menjaga wibawa pemerintah daerah yang berdasarkan
hukum.
Ke-empat
regenerasi pejabat tidak maksimal, karena masih ada pejabat lain yang
berkualitas, memiliki integritas dan kualitas yang baik tidak pernah didorong,
diangkat untuk mengisi atau menggantikan posisi pejabat yang tersangkut perkara
hukum. Padahal setiap penjenjangan karir untuk jabatan boleh dimiliki setiap
PNS yang memenuhi ketentuan Peraturan yang berlaku, jikapun tidak demikian
mengapa harus ada diklat-diklat yang dapat diperuntukan bagi semuah PNS yang
memenuhi syarat.
Ke-lima,
masyarakat di Propinsi maupun Kabupate/Kota di Papua Barat mulai tidak lagi
percaya (Distrust) Pemerintah Daerah, saat Pemerintah Daerah menghendaki
masyarakat mematuhi Perda yang diterapkan tetapi pemerintahan dijalankan secara
brutal akibat inprosedural, masyarakat tentu tidak akan mau menerima produk
hukum pemerintah daerah yang mengatur masyarakat, pemerintahan benar-benar
mengalami degradasi kepercayaan yang dapat menghambat proyeksi pembangunan dan
pelayanan publik.
Entahlah,
bisa pula asumsi di atas terlalu subjektif, mengingat beberapa pejabat
berpendidikan tinggi dan bergelar doktor sehingga sesungguhnya mereka telah
memahami peraturan yang berlaku dengan saksama tetapi diabaikan karena bisa
saja ada pengaruh faktor lain (luar), sebab iklim kekuasaan politik lokal
terbentuk juga berdasarkan faktor lokal.
Kondisi ini sesungguhnya bobrok, kita terikut untuk menjadi brutal dalam
me-manage pemerintahan, karena
eksistensi pemerintahan lokal terutama
pemerintah daerah tidak harus dipelihara dengan praktik – praktik inprosedural.[black_fox]
Artikel ini telah diposting di Harian Local Manokwari Expres Edisi 20 Maret 2015