Bintuni : Tidak main-main
membaca angka dugaan korupsi PNBP di Teluk Bintuni yang mencapai Rp. 41 Miliyar
rupiah. Kasus ini versi pemberitaan media, diungkap aparat penegak hukum “melibatkan Otoritas Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Kelas 3, Teluk Bintuni dan
terjadi sejak tahun 2011 sampai dengan Agustus 2014”.
Petunjuk untuk
kerugian negara dari kasus ini diperoleh melalui perbedaan nilai rekap
penerimaan dari dua agen Subkontraktor BP-Tangguh, masing-masing, PT. Kanaka
Dwimitra Manunggal dan PT. Enegry Marine Indonesia dan transfer ke khas negara
dari Kantor Unit Pelabuhan (KUPP) Kelas 3 Bintuni.
Progres
penyidikan kasus ini, “kini mengarah pada tiga tersangka yang dirahasiakan oleh
penyidik dari kepolisian resort Teluk Bintuni”, Polres Teluk Bintuni mengklaim
tengah mengajukan permohonan audit kerugian Negara dari kasus ini kepada BPKP.
Kasus PNBP yakni
kasus kerugian keuangan negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (Sink: PNBP)
sebagaimana diatur di dalam PP Nomor 6 Tahun 2009 atau yang diubah dengan PP
Nomor 74 Tahun 2013 tentang jenis-jenis PNBP yang meliputi pembayaran jasa
pelabuhan, jasa rambu, jasa pengawakan dan lainnya berkaitan dengan pelayaran
kapal yang dioperasikan sebagai akibat dari kegiatan perusahan.
Ada fakta
menarik untuk meneropong aspek penegakan hukum legal supreme dari kasus ini sebagai indikasi (petunjuk) adanya
tindak pidana, yakni pernyataan seorang pejabat KUPP Bintuni berinisial SA
sebagaimana dilansir media, Senin, 12 Januari 2015. Pertama ;
disebutkan oleh SA, “...antara per-Januari – Agustus 2014, hanya 2,1 Miliar
yang disetor ke khas Negara oleh bendahara, sementara dengan bukti Penerimaan
Bendahara KUPP Kelas 3 Bintuni, ada 15 Miliar PNBP, sehingga dapat dikatakan
kebocoran anggaran sebesar Rp. 12,9 Miliyar, kedua, “...hal ini terjadi karena kelalaian saya sebagai seorang
pemimpin, namun saya sudah pertanggungjawabkan itu kepada atasan saya di pusat,
sewaktu saya dipanggil ke Jakarta beberapa waktu lalu. Dan apapun
konsekuensinya, saya akan tetap menerima itu”.
Esensi
perdebatan yang penting dari pernyataan ini secara sederhana dapatlah memaulai teka-teki,Pertama: mengapa peristiwa penyetoran ke
khas Negara yang tidak sesuai penerimaan baru diketahui Agustus 2014 ?, versi penegak hukum (Penyidik), sudah
sejak tahun 2011 sampai dengan 2014 dan kerugian negara bukan sebesar Rp.12,9
Miliar atau hanya Januari – Agustus 2014, melainkan sekitar Rp. 41 Miliar. Kedua, Bagaimana dapat seorang Bendahara
melakukan penyetoran PNBP tanpa diketahui seorang pimpinan selama
bertahun-tahun ? fakta mengungkapkan bahwa pimpinan kemudian mengetahui
penyetoran pada tahun 2014 bulan Agustus dan seterusnya, lantas tugas pimpinan
KUPP kelas 3 Bintuni bukan untuk mengetahui nilai penerimaan dan penyetoran
PNBP sejak 2011 sampai dengan Agustus 2014 ? Penyidik mengklaim telah ada tiga
orang pejabat KUPP kelas 3 Bintuni, “akan menjadi tersangka”.
Dan esensi
berikutnya, yakni ada pernyataan dari seorang pimpinan KUPP kelas 3 Bintuni
yang mengatakan, "hal ini sebagai kelalaian, dan akan tetap menerima apapun
konsekuensinya". Dari uraian kalimat ini, terbaca bahwa system penerimaan dan
penyetoran PNBP ke khas Negara di dalam institusi KUPP kelas 3 Bintuni telah
menyertakan berbagai pihak untuk melakukan aktifitas yang merugikan keuangan
negara mencapai Rp. 41 Miliar sejak tahun 2011 sampai dengan Agustus 2014.
Di olah dari Sumber Media Tabura Post Januari - Februari 2015