Propinsi Papua Barat (Doc . Ist) |
OPINI
Adapun
melalui pengaturan diatas, sejak hadirnya implementasi Otonomi Khusus dan juga
pressure LSM DI Jayapura yang sangat masif, Komnas HAM perwakilan Papua
kemudian terbentuk dan berkedudukan di Jayapura guna melayani berbagai kerja
terhadap kasus pelanggaran HAM Papua, Lembaga Komnas ini berdasarkan undang-undang bertujuan
mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia serta
meningkatkan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia secara khusus di
Propinsi Papua.
Lantas,
bagaimana dengan Propinsi Papua Barat yang telah eksis lebih dari 13 tahun,
apakah tidak membutuhkan lembaga ini, atau tidak ada permasalahan HAM atau
mungkin cukupkah kantor perwakilan Jayapura bisa efektif menjangkau konstituen termasuk
korban dugaan pelanggaran HAM di Propinsi Papua Barat. Ini menjadi materi
perenungan seberapa urgensi pembentukan perwakilan Komnas HAM di Propinsi Papua
Barat.
Pertama,
patut
dipahami bahwa Undang-Undang dengan tegas dan jelas mengatur seperti yang
disebut paragrap sebelumnya yakni Komnas HAM berkedudukan di Ibu Kota Negara
(Jakarta) dan dapat membentuk kantor perwakilan di daerah (pasal 76 ayat (5) UU
HAM dan Pasal 55 ayat (2) UU Otsus Papua). Tentunya dengan dasar tersebut demi
tegaknya perlindungan, penghormatan dan pemajuan HAM serta efektifitas
implementasi Otonomi Khusus Papua di Propinsi Papua maka idealnya dari norma
hukum, Komnas HAM Perwakilan Propinsi Papua Barat layak terbentuk serta
berkedudukan di Manokwari.
Kedua,
melalui Inpres Nomor 1 tahun 2003 Propinsi Papua Barat telah eksis, yang
kemudian pada tahun 2008 berstatus Otonomi Khusus terpisah (dimekarkan) dari
Propinsi Papua melalui Undang-undang RI No. 35 tahun 2008 tentang penetapan
Perpu Nomor 1 tahun 2008 menjadi Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Propinsi
Papua Barat. Adapun konsekuensi dari fakta hukum tersebut pasal 45 ayat (2)
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dapat menjadikan legalitas yang serupa untuk
membentuk Komnas HAM perwakilan RI di Propinsi Papua Barat.
Ketiga,
sejak tahun 2009 penyaluran dana Otonomi Khusus dalam bentuk transfer
penerimaan daerah dari pemerintah pusat di Propinsi Papua barat, tidak lagi
melalui Jayapura, dalam pengertian konkrit yakni setiap kebijakan maupun
program yang timbul dalam rangka otonomi khusus Papua, termasuk pula Hak Asasi
Manusia di Propinsi Papua barat tidak lagi miliki relasi diberbagai aspek
dengan Propinsi Papua.
Ke-empat,
pada tahun 2011, MRP (Majelis Rakyat Papua) kemudian terbentuk di Propinsi
Papua Barat dan berkedudukan di Manokwari, institusi ini sebagai lembaga kultur
orang asli Papua. MRP juga berperan pada sektor Hak Asasi Manusia, menurut pasal
5 ayat (2) dan pasal 20 ayat (1) huruf e Undang-Undang Otonomi Khusus, MRP juga
bertugas dan berwenang dalam “memperhatikan perlindungan hak-hak orang asli
Papua serta memperhatikan dan
menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan
dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta
memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya”, secara khusus di Propinsi Papua
Barat.
Dan Ke-lima,
di tahun 2015, DPR Papua Barat dan Pemerintah Propinsi Papua Barat kemudian
membentuk dan mengangkat pengisian 11 kursi Otonomi khusus di DPR Papua Barat,
sesuai ketentuan pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Otonomi Khusus. Kursi ini
memiliki peran yang seirama dengan Majelis Rakyat Papua untuk memperjuangkan
hak-hak dasar orang asli termasuk yang maksud undang-undang Hak Asasi Manusia.
Kursi Otonomi Khusus di DPR saat ini bukan lagi representasi partai politik
nasional agar tidak lagi menjadi corong kepentingan politik praktis tertentu
melainkan kepentingan konstituen yang menjadi affirmative Otsuslah yang diperjuangkan
dalam kursi Otsus.
Dengan
fakta yang ada saat ini, serta merujuk pada refleksi diatas, setiap insiden
atau dugaan kasus pelanggaran HAM secara khusus di wilayah Propinsi Papua Barat
hampir terluputkan dari perhatian serius Komnas HAM Papua untuk menyelidik
berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Adapun kasus Wasior, tahun 2001 mungkin
terlihat aktif di dorong (diikutsertakan bersama kasus wamena tahun 2000)
tetapi kasus-kasus lainnya, misalnya kasus pembunuhan kilat 53 warga sipil di
Arfai, juli 1969, dan penghilangan paksa Permenas Ferry Awom dan Yosep Inden,
di Manokwari tahun 1970, Kasus, penembakan warga sipil di Aimas, Sorong, 30
April 2013 termasuk kasus terakhir, penembakan Sanggeng, 26 – 27 Oktober 2016.
Sungguh ironis, sebab kasus – kasus ini jauh dari keseriusan kerja Komnas HAM.
Sementara
itu, jikapun Komnas HAM Papua melakukan penyelidikan yang serius, lembaga ini
praktis tidak akan miliki bargaining strategis dengan Pemerintah Propinsi Papua
Barat yang berdiri sendiri dari Propinsi Papua, hal ini sama halnya juga dengan
DPR Papua Barat serta MRP Papua Barat.
Dari
keseluruhan argumentasi diatas, maka urgensi perwakilan Komnas HAM Papua Barat
sangat tepat dan tidak melanggar hukum untuk segera dibentuk, tidak ada pilihan
lain sebab masalah Hak Asasi Manusia di Propinsi Papua Barat juga merupakan
kebijakan khusus otonomi khusus dalam regulasi. Pemerintah Propinsi Papua Barat
harus yakin bahwa dengan dilindungi, dihormati dan dimajukannya hak asasi
manusia di Propinsi Papua Barat maka barometer keberhasilan otonomi khusus
dapat terukur secara pasti dan jelas di Propinsi ini.***Black_Fox
Sumber
Posting, Artikel Pribadi