Surya Anta Aktifis Fri-West Papua (Doc Foto AMP) |
Orang
Papua, komin tidak pernah mendengar
kepedulian orang non-Papua apalagi penduduk Jakarta untuk berbicara secara terbuka dimuka umum
mengenai nasib orang Papua, kebanyakan dikalangan Papua berpandangan secara
rasialis bahwa kami Melanesia mereka melayu sehingga dari sisi budaya membedakan
solidaritas nasib alias masing-masing berusaha sendiri.
Orang amber, istilah di Tanah Papua untuk
orang non-Papua mungkin hanya bisa bersuara untuk Papua namun pada isu hak asasi manusia pada konteks
penegakan hukum di Negara Demokrasi Indonesia, mengingat hak asasi manusia juga
diatur dalam konstitusi dan Undang-Undang Negara, itupun khusus para aktifis
LSM seperti dari ELSAM Jakarta, KONTRAS Jakarta, IMPARSIAL dan lain-lain yang
menaruh kerja pada Hak Asasi Manusia yang bersuara soal Hak Asasi Manusia,
Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi untuk berbagai kasus
kejahatan Hak Asasi Manusia di Papua.
Hak
menentukan nasib sendiri lebih sensitif dan rawan untuk dituduh ke politik
ketimbang penegakan hukum seperti kebenyakan disuarakan untuk masalah hak asasi
manusia, orang amber pun kini menerobos masuk dan bersuara untuk Papua mengenai
masalah ini (hak menentukan nasib sendiri).
Dunia
hukum Indonesia terkesan awam mengenai hak penentuan nasib sendiri, apalagi
yang dipahami secara global sebagai the
right to external self determination, hak menentukan nasib diluar bingkai (sougvernity)
Negara dalam sebuah pilihan bebas tetap bergabung atau mendirikan Negara sendiri.
Meskipun demikian topik ini tidak dapat disangkal, bekas Propinsi Timor – Timor
pernah melakukan ini di Indonesia tahun 1999 untuk membentuk Negara The
Democratic Republic of Timor Leste.
Jauh
sebelumnya tahun 1969 terhadap Papua (Irian Barat saat itu), Indonesia menyebutnya
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) terhadap sebagian orang (1025 Pemilih) dari
seluruh orang Papua saat itu untuk memilih bergabung dengan Indonesia atau
berdiri sendiri sebagai bangsa yang merdeka. Diduga secara aklamasi sebagian
itu orang memilih Indonesia.
Kalangan
orang amber kini memahami dengan
teliti bahwa masalah Papua tidak selesai sejak 1969, persoalan –persoalan Hak
asasi manusia yang disuarakan para aktifis LSM bisa saja benang merahnya ada
pada persoalan politik yang tidak beres, yakni hak menentukan nasib sendiri.
Sumber
referensi international terakhir ini yakni sebuah komite yang bertanggungjawab
terhadap UN General Assembly, pada senin 21 November 2016 di New York, Markas
Besar PBB mengeluarkan suatu resousi yang disponsori Pakistan, yang menegaskan
kembali bahwa realisasi universal hak masyarakat untuk menentukan nasib sendiri
adalah kondisi mendasar bagi jaminan ketaatan pada HAM. Resolusi Hak Menentukan
Nasib Sendiri kemudian ikut disponsori oleh 72 dari 193 Negara anggota Komite,
dan diadopsi secara aklamasi. Duta
Besar Pakistan untuk PBB, Maleeha Lodhi, menyebut “hak menentukan nasib sendiri
adalah prinsip dasar piagam PBB dan hukum international, melakukan hak ini akan
memungkinkan jutaan orang di seluruh dunia bangkit dari pendudukan colonial dan
asing”.
Sekitar
8 hari berikutnya, 29 November 2016, dari resolusi hak menentukan nasib sendiri
di PBB, di Jakarta, Deklarasi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WEST
PAPUA) di deklarasikan. Di kantor LBH, menteng Jakarta Pusat, Fri-West Papua
berdiri, gabungan dari aktifis, para pegiat partai politik, mahasiswa termasuk
budayawan mereka mengambil peran untuk menyuarakan “hak menentukan nasib
sendiri Papua” yang perlu diluruskan atau dilakukan ulang setelah tahun 1969.
Orang-orang
amber ini kini kian lantang meminta
Negara (Pemerintah Indonesia) harus berbuat yang lebih banyak terhadap nasib
bangsa Melanesia di Papua, mereka adalah aktifis yang sama seperti aktifis
PIANGO di Negara-negara pasifik. Salut dan respek buat mereka di Jakarta ibu
Kota Republik Indonesia.***Black_Fox
Sumber
Posting ini Diolah dari berbagai sumber media on-line untuk kepentingan pengetahuan dan bukan
tujuan politik.