Bagian Ke-I
Sebelum
memahami lebih mendalam judul diatas, penting menyimak lebih dahulu latar
belakang secara singkat, juga Peraturan atau hukum yang menormakan Komnas HAM (Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia) Di Indonesia, teristimewa Di Propinsi Papua dan
Papua Barat dengan tujuan, agar lembaga ini dapat dipahami sebagai bagian dari konteks
perjalanan hidup orang asli Papua yang diatur berdasarkan Otonomi Khusus Papua.
Di
Indonesia, ketika orde lama maupun orde baru bertahta sekitar 63 tahun, saat
itu belum pernah ada pemikiran dari elit Jakarta maupun Daerah (Papua) untuk mengatur,
melindungi (to protect), memajukan (to promotions) and menghormati (to respect) hak asasi manusia,
dampaknya setiap tindakan aktor – aktor keamanan Negara terutama Militer dan
Polisi yang melanggar atau melakukan kejahatan hak asasi manusia, praktis bukanlah
sebuah dosa atau crime (tindakan
jahat) untuk bisa dituntut ke
Pengadilan.
Martabat
umat manusia sebagai ciptaan Tuhan benar-benar tidak diakui dalam keberadaan
sebuah Negara, fakta-fakta mengungkap orang pribumi Papua indigenous peoples yang berasal dari rumpun ras Melanesia ini
paling banyak disasar untuk menjadi tumbal terhadap praktik kejahatan ini.
Kalangan korban, banyak mengungkap bahwa “penyelenggaraan act of free choice (Pepera) 1969 yang membawa Indonesia masuk ke
Papua, diduga….” proses ini penuh rekayasa, manipulasi, tidak mengikuti
New York agreement 1962 dan juga bukan aspirasi mayoritas penduduk pribumi saat
itu. Diduga..”
Negara kemudian membalas dan melakukan berbagai upaya untuk meredam
secara internal keadaan ini dan juga mempengaruhi komunitas internasional yang
tengah memantau kejaganggalan yang terjadi, imbasnya orde baru harus
menstatuskan DOM (Daerah Operasi Militer) ke bumi Papua untuk misi tersebut.
Disinilah akar kejahatan HAM itu tumbuh dan dilestarikan sebagai perintah komando
untuk memerangi separatisme dan menghukum sewenang-wenang warga sipil yang tertuduh
sebagai subversive atau makar di Tanah Papua.
Ketika
kekuasaan rezim orde baru runtuh melalui reformasi Mei 1998, status DOM Papua
memang telah resmi dicabut, ABRI bahkan dibubarkan melalui pemisahan TNI, Polri
dan BIN, meski demikian tidak bisa berharap banyak pada dinamika tersebut, sebab
tugas operasi militer non-perang (OMSP) menumpas separatis didalam
Undang-Undang TNI (Undang-Undang No. 34 tahun 2002) tetap masih saja ada dan
KUHPidana juga tetap mempopulerkan subversive dan Makar sebagai delik pidana
(tindak kejahatan).
Di
alam reformasi, Negara memang berusaha mengakui fakta-fakta kejahatan HAM dan
coba memperbaiki dengan membentuk regulasi mulai dari Ketetapan MPR RI No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 26 tahun 2000 yang mengubah Perpu
Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, Negara juga meratifikasi Kovenan
international hak-hak sipil dan politik juga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
ke dalam undang-undang RI. Sementara itu kepada Papua pemerintah menyediakan
Undang-Undang otonomi khusus (UU No. 21 tahun 2001/UU No.35 tahun 2008) agar HAM
memperoleh tempat terhormat di dalam Negara.
Berdasarkan
Undang-Undang diatas, maka setiap tindakan yang melanggar HAM akan disebut sebagai
“kejahatan”, undang-undang Pengadilan HAM memperjelasnya sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar
biasa) disamping kejahatan terorisme, narkotika dan korupsi.
Undang-Undang
Pengadilan HAM juga mempertegas dengan istilah hukum pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) yang
memisahkan kejahatan Kemanusiaan (crimes
against humanity) and kejahatan genosida entah dilakukanya dengan senagaja (by commission) ataupun tidak sengaja termasuk
pembiaran (by omission), dan
kejahatan itu dapat dituntut ke pengadilan HAM yang diatur di dalam
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000.
Komisi
Nasional HAM kemudian bermunculan melalui list
undang-undang diatas, walau sebenarnya institusi ini bukan baru, sebelum
reformasi (1998) institusi ini pernah ada melalui Keppres No. 50 Tahun 1993,
namun sayangnya “lembaga Komnas ketika itu hanya menjadi stempel Negara yang tidak
banyak berperan dalam rezim yang amat kuat saat itu dan bisa saja seperti yang telah
disebut diatas mengenai tindakan melanggar HAM bukan perbuatan melanggar hukum”.
Institusi
Komnas HAM di dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 18
lembaga Komnas diatur berwenang sebagai penyelidik Kasus Pelanggaran HAM.
selanjutnya berdasarkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 lembaga Komnas
HAM nampak pada BAB VII, ketentuan pasal 76 ayat (4) dan ayat (5) menyebut
Komnas HAM berkedudukan di Ibu Kota Negara (Jakarta) dan dapat juga membentuk
kantor perwakilan Di Daerah (Propinsi), Undang-Undang Otonomi Khusus Papua
meng-cover ketentuan yang sama di
dalam pasal 45 ayat (2) dengan menegaskan “pemerintah
dapat membentuk perwakilan Komnas HAM di Propinsi Papua”.
(Bersambung.......****)
Sumber Posting : Artikel Pribadi