Model : Monalisa Sembor/Karya EJI FOTO |
Tabea…Mahikai…Acem Akweeii… MRP Papua Barat…
Ada Kabar yang dibilang Pak Gubernur bukan hoax, 14 Nama dari Perempuan Papua, seterusnya
14 Nama dari adat dan 14 nama dari perwakilan Agama Agama Di Papua Barat sudah
diserahkan kepada Kemendagri ka…untuk discreening sebelum duduk
dikursi empuk MRP ?. Pasti kami kemudian tidak akan tahu 42 orang ini siapa
saja. Iya, beberapa orang kami kenal
dari 84 Nama calon anggota MRP yang telah dipublikasikan sebelumnya, mereka
miliki kredibilitas dan capability termasuk
cukup standar layak memasuki rumah MRP, namun seterusnya kami tidak akan mengetahui
42 Nama yang akan dipulangkan dari 84 nama itu pace dan mace siapa saja e?.
Sio saja….
Sebelumnya, kami menikmati aroma tak sedap
dari proses seleksi yang telah diungkap beberapa media massa termasuk juga
medsos soal dugaan kemungkinan money politics dari proses tahapan seleksi MRP
itu. Kami juga menikmati, isu ijasah palsu yang melibatkan beberapa orang saja
namun penuh tanda tanya untuk keseluruhan yang ada saat ini ? … kesemuaan aroma
ini layak dipercaya ka.. tidak ka…, entahlah yang jelas belum ada penegakan
hukum yang melakukan sterilisasi aroma
tak sedap itu supaya bersih dan sehat.
Lembaga ini, wadah kultur paling luhur untuk memperjuangan
keberlangsungan kami sebagai orang Papua diatas tanah Melanesia dalam kebijakan
Negara, yang disebut pada tahun 2001 sebagai
“Otonomi Khusus”. “Keluhuran itulah
kemuliaan jati diri orang orang Melanesia sisa yang masih hidup di tanah west Papua”,
andai keluhuran itu menjadi tiada atau ditiadakan, haruskah kita menolak
mengakui kita semua sebagai orang beradab ? dan beragama ?
Kita terbuka saja, pada masa lalu kita pernah
punya MRP diperiode sebelumnya yang ikut rame memboboti RUU Perubahan Otsus
/Otsus Plus, sekitar Oktober – November 2013, andai kegiatan itu tak masuk
akal, lantas apa berikutnya untuk menggantikan proses itu dengan yang lebih
bermartabat bagi konstituen ? Kita juga mengevaluasi lebih dari 10 tahun kebijakan
otonomi khusus untuk Propinsi Papua Barat, di aula Universitas Negeri Papua,
pada maret 2014 lalu. sungguh sayang…pasukan
MRP saat itu, gagal menggunakan kapasitasnya memperjuangakan capaian dari kegiatan
kegiatan itu.
Pada masa itu juga, tahun 2013, hal aneh yang
paling menggelikan pernah terjadi, MRP kita terpecah menjadi dua kubuh, antara
yang balik menyatu dengan MRP Jayapura (MRP Papua) dan MRP yang tetap kokoh
bertahan di markasnya taman ria rendani, ini menjadi kisruh terhebat yang
pernah terjadi, hanya soal sepele internal lembaga yang gagal diinternalisir
secara bijaksana antara sesama.
Walau lembaga ini kemudian hebat, menyukseskan
fungsi mereka dalam mendorong dan mengawal hingga ke Pemerintah Pusat beberapa
Raperdasus, misalnya saja Raperdasus wilayah Adat di Propinsi Papua Barat,
Raperdasus Pilkada dan lainnya.
Akan tetapi ada substansi pokok Otsus yang
paling bersentuhan langsung dengan hajat hidup OAP, yang tidak pernah oleh
majelis rakyat papua barat di dalam diskusi maupun statement soal “hak asasi
manusia di Papua Barat”. lantas apa memang tidak pernah ada masalah hak asasi
manusia di Propinsi Papua Barat ?..
Tunggu dulu, bro, ternyata cukup banyak fakta
peristiwa hak asasi manusia terjadi di Papua Barat saat itu. Sebut saja, kasus
Aimas berdarah April 2013, Sanggeng berdarah tidak hanya disitu ada 11 orang
dituduh sebagai pelaku kejahatan maker dan dihukum penjara oleh Pengadilan
Negeri Sorong dan Manokwari sejak 2013 sampai tahun 2015, tapi kok.. MRP biasa
biasa saja dan bisa tidak peduli ! #..
Kenapa lagi, HAM lagi yang ditanya? Maklum,
makhluk satu ini (HAM) selalu paling banyak bikin tersinggung oknum oknum yang aneh.
menjawabanya sederhana saja, hak asasi manusia
tentu menjadi penting dan wajib dalam buku agenda para anggota MRP, sebab MRP itu
sendiri adalah kandungan otsus, dan hanya persitiwa hak asasi manusia lah yang
membuat Indonesia mengakui reqognize perlunya
affirmative action policy bagi sisa
sisa orang Melanesia ini dalam wujud nyata “Otonomi Khusus” di Propinsi Papua
dan Papua Barat, lihat saja (dalam) konsideran Undang-undang Otsus itu
sendiri, kesimpulannya jika kau berbicara
implementasi (otsus) hanya dapat terjadi dengan parameter pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia “orang pribumi”.
Pertanyaanya, siapa itu orang pribumi, ?
mereka pribumi dalam Otonomi kusus adalah, mereka yang dicurigai, dicemburui
dan ditakuti sebagai orang yang berbeda pendapat dengan Negara, itu aja, gak ada lain…(maf dialek jawanya..biar
enak dibaca wong jowo).
Kayaknya Sungguh ironis, pertama, mungkin kalangan
MRP terlalu hati hati dari sentimen kecurigaan ini hingga sengaja melupakan kebijakan
strategis implementasi hak asasi manusia, kedua atau saja mereka tak pernah
memahami Otsus alias sok pintar
ngomong terlihat keren padahal abutiiiee
dan lemon saja . ketiga mereka (MRP) terlanjur sudah direkrut dengan misi
lainnya hanya diselimuti kemasan Otsus.
Pada point ini roh keluhuran itu diuji, loh… menjadi
diri sendiri di dalam hitam kulit dan rambut kariting atau tidak perlu sama
sekali, toh ..biarkan orang lain, ORASI (orang sakit hati) yang pikirkan itu, sibuk protes, berkomentar
dan tulis malulu di media massa, medsos, spanduk spanduk demo dan teriakan
terikan aneh di megaphone.
Hai, Bro dan sis..! 48 orang (MRP) yang nantinya direstui Badan Intelijen Negara, ini adalah
tahun periode terakhir 2017 – 2022, asumsinya menggunakan pasal 34 ayat (3)
Undang Undang Otsus (boleh berasumsi lainnya lagi menurut pasal itu). Tahun di mana keluhuran mu selayaknya berani
untuk mempertahankan sisa sisa saudarai Melanesia mu hidup dengan bebas dan
tanpa masalah kesehatan dan pendidikan, terutama saudara saudarai mu yang
berbeda pandangan politik dengan Negara.
“Kertas
Kertas Rindu Untuk mu”.
===========================================
Congratulation to you ..!
Di Suatu Mendung, Oktober 2017.
Sumber foto model : Monalisa Sembor,
posting foto diakses dari EJI Fotograper diambil setelah mengkonfirmasi ijin membagi ke blog ini dari yang bersangkutan