Penulis Kwik Kian Gie
Penerbit
PT Gramedia Pustaka
Utama
Jumlah
Halaman 259
Tahun
Pertama Terbit 2017
Harga
(Pulau Jawa) Rp. 105.000
Buku ini secara
garis besar ditulis oleh penulis (Kwik Kian Gie) untuk mengungkap profile dia
sebagai aktifis pelajar dan mahasiswa yang kemudian mengantarkannya hingga
menjadi ekonom terkenal Indonesia, dia tidak hanya berkarir dalam hal-hal
berkaitan dengan bisnis sebagaimana latar belakang pendidikannya, melainkan pencapaian
karir penulis meroket hingga ke pemerintahan Negara Indonesia.
Hal paling
mengesankan yang diungkap penulis secara terbuka yakni sepak terjang penulis ketika masih berstatus
mahasiswa di Nederlandse Economische Hogeschool (NEH) Roterdam tahun 1957,
penulis kemudian dilibatkan dalam kegiatan intelligence
Pemerintah Indoneia di Belanda. Tidak lain kegiatan ini dilakukan kala hubungan
diplomatik Indonesia dan Belanda sedang putus hanya masalah Irian Barat. Kegiatan spionase dilakukan penulis bersama
teman-teman penulis (mahasiswa Indonesia) diantaranya Basuki Gunawan, Ramli
Kasim, Krisno Nimpuo, Tan Hoan Koen dan Soediono Tjondronegoro. Penulis dan tim
bekerja untuk Mohammad Samadikun dan Frans Kho Mariakasi yang mana penulis
sendiri baru mengetahui belakangan bila dua nama itu merupakan kelompok intel Indonesia
di Belanda. Apa yang dilakukan penulis dalam kegiatan intel disamping studi
adalah melobi elit politik Belanda agar melepas Irian Barat ke Indonesia. lobby-lobby
politik yang telah dilakukan penulis untuk membantu Jakarta merebut Irian Barat
diantaranya, melooby Prof De Gay Fortman
dari partai Kristen, termasuk melooby ketua fraksi partai buruh Belanda J. de
Kadt. Berdasarkan lobby – lobby ini,
penulis bahkan mengetahui secara langsung kalau “mayoritas kalangan elit Belanda sesungguhnya keberatan melepas Irian
Barat ke Indonesia”.
Kegiatan-kegiatan
melooby diatas disediakan dalam laporan-laporan tertulis yang kebetulan penulis
sendiri yang ditugaskan untuk mempersiapkan laporan itu dan mengirimkan secara
teratur dan rahasia ke Jakarta melalui atase militer RI di Bonn (Jerman Barat).
Sampai suatu ketika kegiatan rahasia ini diketahui oleh intel Belanda, penulis
memberitahukan kegiatannya yang diketahui intel Belanda kepada pihak intel
Indonesia di Belanda, penulis kemudian disarankan untuk mengirimkan
laporan-laporan tertulis ke Bonn tidak lagi dari Belanda melainkan penulis
harus bepergian ke Antwerpen (Belgia) dan mengirimkannya dari sana ke Kolonel
Waldi (atase militer kedubes RI di Bonn).
Aktif dalam
kegiatan intel tidak hanya seperti diatas, “melooby
mahasiswa Papua di Belanda untuk mendukung perjuangan Indonesia mengembalikan
Irian Barat ke Ibu pertiwi juga secara aktif dilakukan penulis”. Di dapati
enam mahasiswa Papua (sayang sekali, tidak disebutkan nama) di Belanda dan bersedia
membelot pro-Indonesia, untuk menghindari kecurigaan mereka dibawa melalui
Belgia, dari sini enam mahasiswa Papua diterbangkan ke Jakarta, mereka muncul
dan memberikan konferensi pers di Jakarta menyatakan bahwa “Irian Barat merupakan bagian dari Indonesia”, alangkah terkejutnya
Pemerintah Belanda ketika menyaksikan enam mahasiswa Papua tersebut konferensi
Pers di Jakarta.
Lantaran
keberhasilan-keberhasilan penulis diatas, misi intel terus berlanjut, penulis
dipercayakan terlibat dalam misi Soekarno dalam merebut Irian Barat dengan
pendekatan psychological warfare,
penulis ditugaskan mengumpulkan seluruh berita (kliping) melalui surat kabar
dan radio di Belanda yang berkaitan dengan Irian Barat, hasil inilah yang
kemudian menjadi bahan analisis untuk membuat keputusan-keputusan strategis Indonesia
di Jakarta terhadap Irian Barat.
Tak menutup
kemungkinan, keberhasilan penulis dalam misi intelligence diatas mendorong karir penulis berkembang dengan
pesat.
Tahun 1963 –
1964 Penulis bekerja sebagai staf pada atase kebudayaan dan pers KBRI Belanda. Tahun
1964 penulis kembali ke Jakarta, bekerja diluar pemerintah sebagai direktur PT.
Indonesisch Nederlandse Goederen Associatie (INGA), perusahan joint venture
antara Intra-Port Raya dan perusahan Belanda yang berbisnis dalam bidang hasil
bumi. Mendirikan lembaga keuangan non-Bank bernama Indonesian Financing and
Investment Company (IFI), hingga pekerjaan bisnis penulis yang terakhir sebagai
agen tunggal untuk TV bermerek Gratez, asal Jerman.
Masuk ke dunia
pendidikan di Indonesia, penulis terlibat dalam bekerja sebagai Yayasan
Universitas Trisakti Jakarta, Tahun 1982 penulis ikut mendirikan Institut
Manajemen Prasetya Mulya (IMPM), sekolah bisnis pertama di Indonesia. Dan
penulis juga mendirikan Institut Bisnis Indonesia (IBII) yang kemudian berubah
menjadi STIE IBII.
Hingga akhirnya penulis
juga terlibat dalam kegiatan di dunia politik (Partai politik) bersama Partai Demokrasi
Indonesia (sekarang PDI Perjuangan), tahun 1986 penulis terlibat di jajaran
pengurus pusat dan mengabdi sebagai Baltibang Partai dan melalui Pemilu tahun
1987, penulis terpilih dan dilantik sebagai anggota MPR RI utusan Propinsi DKI
Jakarta.
Memasuki era pemerintahan
Gusdur, penulis mencicipi posisi menteri kordinator ekonomi (Menkoekwin), suatu
ketika tahun 2001 penulis diundang secara pribadi (tidak dalam kapasitas
sebagai Menkoekwin RI) bertemu dengan Ratu Beatrix di Belanda, entahlah mungkin
kerajaan Belanda tahu penulis pernah bekerja sebagai intel Indonesia di Belanda
yang kini menjabat menteri, dalam pertemuan itu, penulis mendengar sendiri
secara langsung pernyataan ratu Beatrix soal Papua “Irian Barat tidak sepantasnya menjadi bagian dari NKRI alasanya ialah
bahwa orang papua dari etnis Melanesia dan Indonesia dari melayu”.
Usai, Megawati
terpilih sebagai Presiden RI menggantikan Gusdur, penulis malah ditempatkan
dalam cabinet dengan menjabat sebagai menteri Negara perencanaan pembangunan
nasional/kepala BAPENAS. Suatu ketika penulis diminta Megawati (Presiden) untuk
mendampinginya bertemu Ruud Lubers (Perdana Menteri Belanda) yang berkunjung ke
Jakarta. Dalam pertemuan ini, penulis
mendengar lagi pernyataan Lubers seakan mengingatkan Indonesia soal organisasi
Papua Merdeka, ia mengingatkan “Organisasi Papua Merdeka bermarkas di
Belanda. Pemerintah Belanda tidak bisa melarangnya, karena pembentukan
government in excile memang
dibolehkan oleh sistim ketatanegaraan Belanda, pemerintah Indonesia perlu
waspada, karena OPM sangat kuat organisasinya, mempunyai jaringan internasional
yang luas dan memperoleh bantuan dari Amerika serikat”.
Atas kesemuan
memoir ini, khusus mengenai Irian barat atau Papua, penulis tidak mengungkap
sikap atau pendirian dia atas Irian Barat atau Papua itu seperti apa. Padahal
ada begitu banyak pengalaman penulis ketika mengabdi di KBRI Belanda hingga
pusat kekuasaan pemerintah di kedua Presiden RI (Gusdur dan Megawati). Penulis
bahkan mengetahui respon petinggi – petinggi Negara di Belanda untuk masalah
Irian Barat, tentu sangat menarik sekali bila suatu ketika nanti penulis akan
membuat keputusan untuk menulis memoarnya tentang Irian Barat.@moneste
Oleh : Simon Banundi (Pecinta Buku)