Penulis
Fredy Hasiman
Penerbit
PT Kompas Media Nusantara
Jumlah
Halaman 350
Tahun
Pertama Terbit 2019
Harga
(Pulau Jawa) Rp. 95.000
Kontroversi Freeport MacMoran (FCX) yang mengoperasikan
pabrik tembaga dan emas di Timika boleh dikata berkelas, lihat saja berbagai
fakta dan bukti telah menyingkap pelibatan tangan-tangan kuat di proses operasi
proyek ini, mereka makin kuat ketika sangat lihai menilai kelemahan hukum,
membaca peta perpolitikan Nasional, termasuk kekuatan dan kelemahan aktor
Negara dan aparatur keamanan, para pebisnis pelat merah (BUMN/BUMD), pelat
kuning (BUMS) dalam Negara mereka sanggup kondisikan untuk senyap sembari
mendukung laju proyek tambang di Grasberg.
Tangan-tangan kuat dibalik bisnis Freeport ini jauh
sebelumnya diungkap paling sempurna oleh Greg Polgrain (baca buku : Bayang bayang
intervensi perang siasat John F. Kenedy dan Allen Dulles atas Soekarno/
diterjemahkan dari the incubus of
intervention). Mulai dari Soeharto bertaktah sampai pada Jokowi dalam tanda
petik, Freeport terlampau kuat untuk ditaklukan. Kalau Negera dengan kuasa dan
kekuatan tidak cukup mampu tundukan Freeport, apalagi penduduk sipil Papua.
Freeport di Tembagapura sebelumnya berdasar Kontrak Karya I
(1967), mengoperasikan tambang open-pit dilokasi yang namanya Ertsberg, Selepas penandatanganan Kontrak karya II
(1997), tahun 2004 Freeport berpindah dari Ertsberg dan membangun infrastruktur
pendukung untuk memulai proyek di tambang bawah tanah underground Grasberg, seperti Block
Cave/Big Gosan, Deep Mill Level Zone (DMLZ) dan Deep Ore Zone (DOZ). Kontrak
karya II ditaksir berakhir 2021, sejauh ini pihak Freeport masih berniat
melanjutkan kontrak. CEO Freeport, Richard D. Adkerson mengaku tambang Grasberg
adalah tambang paling profitable di
dunia setara dengan tambang Ok Teddy milik Rio Tinto di Papua New Guinea.
Freeport, Bisnis Orang Kuat VS Kedaulatan Negara yang
diungkap penulis melalui buku ini “menyingkap artikel artikel penulis yang
pernah diterbitkan ke harian Kompas, sementara lainnya penulis (Fredy Hasiman)
menyebut melakukan riset langsung ke Tembagapura dan menjumpau secara langsung
beberapa tokoh dari masyarakat pemilik hak ulayat Amungme- Kamoro”.
Secara umum buku ini menyingkap Bab Bab penting diantaranya,
Freeport sebagai raksasa TNCs/Transnational Coorporations (Bab I). Pada bab ini
pembaca diantar untuk membandingkan kekuatan kejayaan Freeport MacMoran.Inc
sebagai raksasa TNCs dibidang produksi tembaga dan emas dunia mula dari Morenci,
Sieritta, Safford dan Miami (Amerika Utara), Di Meksiko Freeport beroperasi di Chino
dan Tyroone, di Peru Freeport menambang tembaga dan emas di Cero Verde, lalu Di
Chile menambang di El Abra. Pindah ke Afrika, di Kongo Freeport mengoperasikan
Tenke Fungurume Mining, untuk menambang tembaga disana. Dari kesemuaan operasi
bisnis Freeport, data paling spektakuler yaitu emas Tembagapura menyumbang 94%
untuk seluruh produksi emas dunia yang dihasilkan Freeport (Hal 6). Papua di
dalam Indonesia benar – benar dibuat tidak berdaya, Freeport mengambil untung sebesar
itu tidak seimbang dengan penerimaan rakyat Papua, dari simpulan ini sangat
menarik masuk ke bab ke-II buku ini yang mengulas Freeport Berjaya di rezim
lemah.
Pada Bab kedua itu, menyingkap sejarah masuknya bisnis
Freeport ke Papua yang pernah ditulis Greg Poulgrain, Allen Dules agen CIA yang
juga mengabdi pada standard oil milik keluarga Rockefeler berandil besar
merebut Ertsberg dan Grasberg. Ada fakta
menarik di Bab ini yaitu “Undang undang no. 11 tahun 1967 tentang penanaman
modal asing dirancang korporasi asing untuk melegitimasi proses KK (Kontrak
Karya) I Tahun 1967” (Hal 28), tugas Soeharto
dan Negara disimpulkan hanya penjaga malam, memastikan KK itu aman dan nyaman
melalui kekuatan Negara, Ini investor nekad, Irian Barat saat itu bukan wilayah
kedaulatan Indonesia melainkan harus ditentukan melalui Pepera (act of free choice) dua tahun kemudian atau
tahun 1969, kalau balik ke buku bayang-bayang
intervensi, tentu Pepera hanya formalitas belaka yang tidak punya keterkaitan
dengan kedaulatan Indonesia atau Papua, melainkan Pepera hanya akal-akalan AS yang
tidak setuju Belanda mendukung Irian Barat merdeka.
Di Bab ketiga, Freeport dan bisnis orang kuat. Apa yang
dimaksud orang kuat dalam buku ini yaitu mereka yang miliki akses langsung ke
pengambil kebijakan (policy-maker) di istana, dan menjadikan istana bagian dari
koorporasi, pada level demikian otomatis aparatur keamanan menjadi alat bisnis
bukan alat Negara. Lihat bagaimana insiden kekerasan yang berdarah-darah terus
terjadi terhadap masyarakat Amungme – Kamoro untuk mengatasi perlawanan mereka,
pada tahun 1971 January Agreement
dibuat Freeport agar berkelakuan baik kepada masyarakat, namun fakta tidak berakhir,
kekerasan akibat abuse of power
aparatur keamanan Pemerintah kepada masyarakat Amungme dan Kamoro terus terjadi
tanpa ada pertanggungjawaban keadilan bagi korban. Anda juga bisa melihat, semakin
kokohnya orang kuat di kubuh Feeport dan Negara Indonesia, pasca KK I akan berakhir,
KK II kemudian disodorkan dengan materi kontrak yang sama tidak berubah,
kecuali waktu yang mungkin diubah. KK II ditandatangani tahun 1991 meskipun KK
I akan berakhir 30 tahun atau tepatnya tahun 1997.
Selepas Soeharto turun dari Presiden tahun 1998, Presiden
berikutnya Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY tidak sanggup berbuat banyak
memaksa Freeport tunduk pada ketentuan hukum Negara Indonesia. Mengapa perlu
tunduk pada hukum Indonesia? Jawabannya, pertama;
UUD 1945 mengamanatkan “bumi, air dan segala kekayaan alam di dalamnya dikuasai Negara, dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”, perhatikan kalimat dikuasai Negara,
artinya materi kontrak (KK I dan KK II yang sudah ditandatangani Freport) tidak
seharusnya menempatkan posisi korporasi setara dengan Negara, semestinya
dibawah Negara agar tidak terjadi penguasaan kekayaan alam nasional. Kedua; UU No. 4 tahun 2009 tentang
Minerba yang mengamantkan pemerintah dengan berpayung pada undang-undang perlu
segera mengubah setiap kontrak karya menjadi Ijin usaha Pertambangan (IUP)/Ijin
usaha pertambangan khusus (IUPK) untuk tambang yang bernilai strategis bagi
Pemerintah. Tuntutan ini yang dikejar habis-habisan oleh rezim Jokowi diperiode
pertama kepemimpinan, lihat bagaimana kasus “Papa minta saham” yang menyeret
nama Setya Novanto (mantan Ketua DPR RI) itu pecah, kinerja menteri ESDM
Sudirman Said yang dianggap kurang memuaskan diresufle, dan Jokowi menunjuk Ignasius Jonan yang diklaim penulis
buku ini sangat jeli dan taktis melawan orang – orang kuat dipihak Freeport.
Masuk ke Bab IV membahas “konversi KK menjadi IUPK”, sekali lagi, ini jelas perintah
undang-undang Minerba, KK wajib diubah menjadi IUPK. Menurut UU Minerba IUP
dikeluarkan Gubernur, Bupati/Walikota akan tetapi IUPK melalui Presiden. Di
halaman 130 buku ini penulis mengurai hal terkait konversi KK.
Sejak tahun 1991 KK jilid dua ditandatangani, Freeport makin
kuat dan ganas menggunakan KK ini menghadapi Pemerintah termasuk rakyat Papua, misalnya
Freeport menggunakan air sungai
Aghwagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimoe menjadi tempat pengendapan
tailing (residu tambang), dampaknya mencemari dan menghacurkan dengan parah air
sungai. Di Tahun 2017, Pemprov Papua sebagai korban mencoba menggunakan Perda
No.4 tahun 2011 tentang pajak atas air permukaan menuntut Freeport mendenda 5,6
triliun kerusakan air sungai ini sampai ke Pengadilan pajak dan Mahkamah Agung
RI, namun tetap saja hasilnya kalah Pemprov Papua. Permasalahan ini
dikondisikan diam usai hebohnya rencana renegosiasi KK ini dan ada niat 10%
saham Freeport akan dimiliki Papua (entah Propinsi atau Kabupaten Timika),
inipun dapat terkabul jika seandainya keinginan Jokowi 51% Freeport terjadi proses
divestasi.
Perjalanan rencana konversi ini mengalami jalan berliku,
antara Ignasius Jonan (Menteri BUMN
saat ini) Vs Richard C. Adkerson CEO
Freeport McMoRan Inc. saya sendiri menyimpulkan dari buku ini berdasarkan klausul
renegosiasi Kontrak Karya yang paling menjadi inti polemik antara lain :
·
Kewajiban mengubah Kontrak Karya
menjadi IUPK (Bab V)
Ini
jelas perintah Undang undang Minerba, KK wajib diubah menjadi IUPK, hal
demikian merupakan perintah konstitusi/UUD 45 yang mengamantkan “pertambangan
strategis dikendalikan Negara untuk kesejahteraan rakyat”. Mengacu pada durasi
waktu berlaku KK jilid dua sampai 2021, maka ditahun itu operasi Freeport di
Grasberg sudah menggunakan dasar hukum IUPK. Keberadaan IUPK akan menempatkan
Freeport yang selama ini sejajar dengan Pemerintah turun menjadi rendah
derajatnya dibawah kontrol Pemerintah RI 100%. Richard Adkerson, CEO Freeport
sempat keberatan dan berdalih “Freeport tetap berpegang pada KK tahun 1991 yang
lebih memberi kepastian hukum untuk berinvestasi” misalnya ada klausul dalam KK
yang menyebutkan bila kontrak berakhir otomatis berlaku/diperpanjang selama 2 x
10 tahun lagi, dan IUPK dianggap merugikan Freeport karena pungutan harga
pajaknya tidak tetap, melainkan mengikuti aturan pajak yang berlaku (prevailing) hingga kontrak berakhir (naildown)”. Rezim Jokowi menegaskan, “setiap
perusahan tambang pemegang IUP/IUPK yang berhak mengekspor hasil”, jika
Freeport tidak mau mengonversikan KK menjadi IUPK maka Freeport dilarang
mengekspor konsentrat ke pabrik tembaga Freeport di Spanyol, Atlantic Copper
atau ke Arizona, Miami.
·
Kewajiban (Freeport) mendivestasikan
51% saham menjadi milik nasional
Sejauh
ini di Grasberg, Freport mengontrol 54,38% saham, Indonesia mengontrol 5,62% saham
dan Rio Tinto mengontrol 40%. di tahun 2015 Freeport baru bersedia melepas 30% saham
atau 20,64%, proses dilakukan dua tahap, namun Freeport menjual diharga yang
mahal, saham 10,67% dipatok tarif US$ 1,7 Miliar, bagi pemerintah harga ini
tidak rasional, hitungan Pemerintah seharusnya diharga US$ 630 juta, tetapi Freeport
hitungannya sampai 2041 padahal 2021 KK berakhir seperti hitungan pemerintah.
Tim ekonom Jokowi menyerukan pemerintah mengakuisisi 40% kontrol Saham Rio
Tinto yang kebetulan akan dilepas, faktanya 40% itu bukan saham melainkan
disebut Participating Interest/PI ini
semacam hak partisipasi Rio Tinto untuk terlibat melakukan operasi proyek di
Grasberg kemudian menerima keuntungan 40% hasil produksi. Di 12 Juli 2018 akhirnya
BUMN Pemerintah melalui PT. Indonesia Asahan Alumina (INALUM) mau menandatangani
“Head of Agrement” untuk beli bekas
saham Rio Tinto. Pihak Pemerintah menegaskan tugas penting Freeport selanjutnya
wajib mengkonversikan 40% itu menjadi saham sehingga tidak lagi disebut PI.
·
Keharusan Pembangunan Smelter di
Indonesia (Bab VI)
Ini
lagi salah satu klusul yang menuai pro-kontra antara Freeport dan Pemerintah.
Freeport dalam klausul renegosiasi didesak membangun Smelter di dalam Negri,
agar memberi keuntungan tambahan untuk penerimaan Negara. Selama ini dari hasil menguasai tambang
tembaga dan emas diseluruh dunia, Freeport McMoRan Inc memiliki tiga smelter masing-masing, smelter
Miami (Arizona) melayani suplai produksi konsentrat dari benua Amerika,
sementara smelter Atlantic Copper (Spanyol) melayani suplai produksi konsentrat
dari Benua Afrika dan Asia, termasuk Grasberg (Papua). Di Indonesia baru PT
Smelting Gresik yang melayani sisa sisa dari eksport konsentrat untuk
dimurnikan di smelter Gresik. Keberadaan UU Minerba memaksa Freeport untuk
tidak mengekspor konsentrat ke pabrik pemurnian di luar, Freeport diharuskan
membangun smelter di Indonesia entahlah di Gresik atau Papua, ini belum clear sejauh ini.
Freeport
baru bersedia membangun pabrik smelter itupun rencana di Gresik bukan Papua, alasannya
ongkos lahan dan industri pendukung smelter di Gresik sangat berdekatan, ada
pabrik pupuk dan semen di Gresik misalnya, tapi kalau di Papua, industri
pendukung disebut tidak ada.
Saya
menyimpulkan (diluar buku ini), saat ini harga semen CONCH/Semen Maruni
(Manokwari) terlampau mahal, alasan investor (CONCH) terjadi kemahalan diakibatkan
bahan baku pabrik yang didatangkan dari luar Papua Barat. Jika begitu, kita sudah ada pabrik semen
(CONCH), bila Pemerintah mendorong rencana pabrik pupuk di Kampung Onar (Teluk
Bintuni) akhirnya smelter Freeport setidaknya dapat di bangun di Fakfak, Sorong
Selatan atau Teluk Bintuni, sehingga berdekatan dengan industri pendukung
smelter Freeport (kedua pabrik semen dan pupuk). Dengan demikian industri yang
selama menopang pulau jawa maju dapat berpindah dalam mendukung kemajuan
wilayah Propinsi Papua dan Papua Barat.
Bab ketuju (VII) sebagai bagian terakhir diulas penulis
yaitu “Freeport dan masa depan BUMN Tambang”. Tentunya BUMN PT. INALUM yang
menjadi sorortan utama oleh penulis, INALUM selama ini bergerak dan menguasai
tambang batu bara (coal), nikel, emas
dan bauksit melalui anak usaha INALUM seperti, PT. Aneka Tambang, Tbk, PT.
Bukit Asam Tbk, PT. Timah, Tbk. Di Papua dan Papua Barat, PT. Aneka Tambang
sudah lebih dulu masuk ke Raja Ampat, memproduksi nikel di Pulau Gag, sementara
ke Papua, Aneka Tambang beroperasi di temuan ladang emas Oksibil, Pegunungan
Bintang. Keterlibatan INALUM di Grasberg tujuannya agar perusahan ini menjadi
raksasa bisnis tambang, sehingga mampu meningkatkan sumber pendapatan dan
penerimaan Negara.
Dibalik kesemuaan yang ada dalam buku ini, ada kelemahan
yang mestinya ditegaskan penulis. Pertama;
Penulisan buku ini terkesan politis ke pemerintah tanpa mempertegas pelibatan secara
sengaja aparatur keamanan yang memicu berbagai masalah di areal Freeport dan
Papua pada umumnya. Saya kira militer harus digongong agar tidak menjadi bagian
langsung maupun tidak langsung dari koorporasi kaya sekelas Freeport.
Kekisruhan keamanan tidak hanya terjadi di Kabupaten Mimika melainkan menyasar
Kabupaten sekitar seperti Paniai dan Puncak Jaya. Freeport terlihat pandai
sudah diungkap penulis, menyediakan dana gratifikasi ke petinggi aparatur
keamanan dari Papua hingga Jakarta, lantaran temuan ini bukan bersumber dari
APBN, institusi KPK dibatasi regulasi untuk menginvestigasi kasus gratifikasi.
Kedua; Kurang
dipertegas soal smelter Freeport harus di bangun di Papua atau Papua Barat,
pentingnya smelter di Papua akan menstimulasi Papua menjadi kawasan industri
yang menguntungkan Papua akibat meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi.
ketiga;
bagaimana jelasnya pembagian saham 51%, pemerintah Papua akan menerima berapa persen.?,
apa jelasnya komitmen INALUM saat ini, jika seandainya Pemprov Papua memiliki
BUMD yang sudah siap ongkos menampung misalnya jatah 10% dari 51% saham
Freeport. Buku ini masih terkesan memandang orang Papua atau Pemprov Papua
tidak mampu padahal itu kesalahan besar yang justru bertolak belakang dengan
nawacita Jokowi yang berkomitmen membangun Papua.
Manokwari, pertengahan
juli 2019
Resensator/S. Banundi