UN Headquarters at Geneva |
Tahun
2005, Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 meratifikasi Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Itu berarti demi hukum negara RI
terikat untuk memenuhi semua kewajibannya, kecuali terhadap Pasal 1 yang
direservasi.
Untuk
mengawasi agar semua negara peratifikasi UU—disingkat KIHSP—mematuhi
kewajibannya, yakni menghormati dan melindungi semua hak yang tertuang dalam
kovenan itu, PBB mendirikan Komite HAM. Dalam konteks itu, negara pihak KIHSP
harus menyampaikan laporan kepada komite di atas terkait langkah dan kemajuan
yang dicapai untuk mewujudkan semua hak yang termuat dalam kovenan. Laporan itu
disampaikan dalam satu tahun sejak berlakunya KIHSP di negara yang bersangkutan
dan selanjutnya setiap diminta komite.
Di
bawah KIHSP ada 24 hak sipil dan politik yang wajib dilindungi dan dipenuhi
oleh negara. Hal itu antara lain hak
menentukan nasib sendiri, persamaan hak laki-laki dan perempuan, hak hidup,
kebebasan dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman kejam, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas pemeriksaan
adil dan proses hukum yang semestinya, hak atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas kebebasan
berserikat, hak politik, hak atas kedudukan yang sama di depan hukum, hak-hak
minoritas etnis, agama atau bahasa, dan hak sipil politik lainnya.
LaporanIndonesia
Delapan tahun sejak peratifikasian KIHSP Indonesia pada 2013 menyampaikan laporan awal implementasi kovenan tersebut di Indonesia. Laporan Pemerintah Indonesia lebih banyak mengedepankan kemajuan normatif berkaitan dengan penghormatan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik. Di depan sidang ke-108 Komite HAM PBB Juli 2013, delegasi RI mengemukakan, rencana aksi nasional HAM (ranham) untuk mengarusutamakan HAM di semua kebijakan nasional. Indonesia telah pula mengembangkan kerangka kerja legislasi dan kelembagaan untuk memajukan HAM.
Delapan tahun sejak peratifikasian KIHSP Indonesia pada 2013 menyampaikan laporan awal implementasi kovenan tersebut di Indonesia. Laporan Pemerintah Indonesia lebih banyak mengedepankan kemajuan normatif berkaitan dengan penghormatan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik. Di depan sidang ke-108 Komite HAM PBB Juli 2013, delegasi RI mengemukakan, rencana aksi nasional HAM (ranham) untuk mengarusutamakan HAM di semua kebijakan nasional. Indonesia telah pula mengembangkan kerangka kerja legislasi dan kelembagaan untuk memajukan HAM.
Delegasi
RI menegaskan, KIHSP berfungsi sebagai fondasi penting bagi berbagai UU yang
diundangkan kemudian di bidang hak-hak sipil dan politik. Dalam konteks itu,
sistem hukum menjamin kebebasan dasar, yaitu berkumpul secara damai,
berekspresi, dan berserikat. Selanjutnya, konstitusi menjamin kebebasan
beragama. Ranham juga memprioritaskan penguatan kesetaraan gender dan pembaruan
KUHP di mana larangan penyiksaan akan disesuaikan dengan konvensi PBB yang
menentang penyiksaan.
Atas
penyajian laporan delegasi RI itu, Komite HAM PBB menanyakan antara lain: 1.
Remedi apa yang tersedia bagi para korban pelanggaran HAM? 2. Apakah para
anggota militer yang melakukan tindak pidana biasa diadili pengadilan militer
yang tidak independen dan transparan? 3. Langkah apa untuk mengimplementasikan
akses ke keadilan yang diluncurkan pada tahun 2009? 4. Apa tindakan pemerintah
untuk memastikan UU dan peraturan daerah sesuai dengan KIHSP?
5. Apa yang dilakukan pemerintah
untuk menyidik kasus penggunaan senjata berlebihan dalam menghadapi para
pemrotes di Papua, dengan sejumlah pemrotes meninggal? Sebanyak 70 pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua, mengapa tidak
ada pelaku yang diadili?
6.
Mengapa hukuman mati secara sistematis dikenakan kepada para terpidana narkoba?
7. Mengapa pemerintah mengeluarkan peraturan khusus yang membatasi hak-hak
komunitas Ahmadiyah? 8. Apa langkah pemerintah untuk mewujudkan Badan Pemantau
Independen atas fasilitas dan kondisi tempat- tempat penahanan dan lembaga
pemasyarakatan? 9. Apakah KIHSP secara langsung diterapkan pengadilan? 10. Apa
ruang lingkup reservasi atas Pasal 1 KIHSP oleh Indonesia?
Itulah
sebagian pertanyaan yang diajukan Komite HAM PBB. Utusan RI menjelaskan bahwa
proses hukum patut dijamin bagi semua korban pelanggaran HAM oleh militer pada
masa lalu. Tiga kasus pelanggaran HAM berat oleh Jaksa Agung telah diajukan ke
pengadilan, tetapi para pelakunya dibebaskan hakim karena tindakan mereka bukan
bagian dari serangan meluas terhadap penduduk sipil.
Dijelaskan
pula, sudah ada diskusi antara pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Pengadilan
Militer. Utusan RI menegaskan, pidana mati hanya dikenakan pada kejahatan
sangat serius, dan dijalankan setelah grasi ditolak presiden. Menurut delegasi
RI, reservasi Pasal 1 KIHSP mengacu pada prinsip hukum internasional berkaitan
integritas dan kesatuan politik negara berdaulat. Walaupun bukan sesuatu yang
biasa dipraktikkan, pengadilan dapat menerapkan KIHSP.
Semangat keterbukaan
Tanggapan utusan RI atas pertanyaan Komite HAM tidak seluruhnya tepat, terang,
dan tuntas. Namun,
terasa adanya keterbukaan dan semangat dialogis dalam interaksi antara delegasi
RI dan Komite HAM. Komite HAM mengajukan sejumlah pertanyaan kritis soal
pelanggaran HAM dan kebijakan nasional HAM RI. Lalu, utusan RI menjelaskan
kemajuan yang dicapai dan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan KIHSP.
Jauh
dari kesan mencari kesalahan dan menghakimi, dalam interaksi dialogis itu kedua
belah pihak berusaha memahami masalah dan tantangan agar menjadi dasar bagi
Komite HAM PBB merumuskan kesimpulan dan rekomendasi bagi perbaikan
implementasi KIHSP di Indonesia.
Laporan
awal tentang pelaksanaan KIHSP kepada Komite HAM PBB adalah suatu capaian
karena pertama, menunjukkan komitmen Indonesia untuk menjalankan KIHSP.
Kedua,
menunjukkan Indonesia menerima paradigma baru dalam hubungan internasional,
yaitu relativitas kedaulatan negara di hadapan Hukum Internasional HAM: Bahwa
kedaulatan negara penting untuk melindungi harkat dan martabat rakyat, termasuk
hak sipil dan politiknya. Ketiga, menunjukkan kesediaan Indonesia bekerja sama
untuk memajukan dan melindungi HAM. Di atas semuanya, perlu usaha yang terukur
pada tataran domestik, antara lain, menyelesaikan secara adil kasus-kasus
pelanggaran HAM.
Tulisan ini dikutip dari Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Delegasi Komnas HAM RI Pada Pertemuan Tahunan Dewan HAM PBB Di Geneva)
Resource :
Roy Simbiak Via Email.