Potret Kegagalan Otsus Membangun Papua. [Foto : Karya Majalah Honai] |
Oleh Roy Y. Simbiak
Istilah Otonomi Khusus
Plus tidak dikenal dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yang mengatur
tentang sistim ketatanegaraan kita, sehingga pejabat ditanah Papua tidak perlu
lagi menyebut Otonomi Khusus Plus karena dalam terminologi hukum dapat membingungkan
publik. Pemerintahan dengan sifat Otonomi Khusus diatur dalam UUD 1945
Amandemen Ke II pasal 18B ayat (1) :
“Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Dari pasal
tersebut diatas memberikan pemahaman bahwa tidak ada istilah Otonomi Khusus
Plus yang benar adalah pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa
berdasarkan latar belakang pembentukan pemerintahan daerah tersebut (baca
Provinsi). Pemerintah daerah yang bersifat khusus dan bersifat
istimewa inilah yang dapat melaksanakan
desentralisasi
asimetris. Desentralisasi Asimetris adalah desentralisasi yang berbeda dengan
desentralisasi daerah pada umumnya sebagaimana diatur dalam UU No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Oleh karena itu istilah Otonomi Khusus Plus Papua yang selama ini
didengung-dengungkan dapat dianggap semacam “bunga-bunga atau gula-gula
politik” saja karena penambahan frasa “Plus” di depan kata Otonomi Khusus adalah
untuk menarik simpati dari rakyat Papua agar mendukung perubahan atas Undang-undang Otonomi
Khusus Papua menjadi Undang-undang
Pemerintahan Papua (UUPP). Pertanyaannya adalah mengapa UU Otsus Papua dirubah menjadi
Undang-undang Pemerintahan Papua? Perubahan ini murni dari Pemerintahan Papua
atau tawaran dari Pemerintah Pusat? Rakyat Papua memahami dengan benar bahwa
usulan perubahan atas UU Otsus Papua menjadi UU Pemerintahan Papua datang dari
Pemerintah Pusat yang ditindaklanjuti oleh Velix Wanggai, selaku staf khusus
Presiden SBY yang kemudian mendapat dukungan dari Gubernur Papua, Gubernur
Papua Barat, MRP, MRPB, DPRP, DPRPB dan beberapa Akademisi Unversitas
Cenderawasih. Pengkondisian terhadap
perubahan atas Undang-undang Otsus Papua dilakukan secara elegan sehingga seakan-akan perubahan atas
Undang-undang ini merupakan kemauan dari rakyat Papua. Biasanya proses pembentukan suatu
undang-undang ini diawali dengan terbentuknya suatu ide atau gagasan tentang
perlunya penganturan terhadap suatu permasalahan, yang kemudian dilanjutkan
dengan kegiatan mempersiapkan rancangan undang-undang baik oleh Pemerintah,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah, kemudian pembahasan
rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan
bersama, dilanjutkan dengan pengesahan dan diakhiri dengan pengundangan. Alasan dari pihak yang memaksakan perubahan atas Otsus Papua menjadi UU Pemerintahan Papua atau Otsus Plus Papua ini dikarenakan implementasi Otsus Papua
dianggap tak dirasakan manfaatnya hingga saat ini. Perubahan signifikan dalam
kehidupan bagi orang asli Papua juga dianggap tak terlihat. Pemerintah Provinsi
Papua mengklaim UU Pemerintahan Papua tak akan menghilangkan semangat Otsus,
tapi lebih pada perluasan kewenangan dan kebijakan serta tumpang tindihnya peraturan
perundang-undangan sehingga tidak ada kepastian hukum dalam implementasi Undang-undang
Otonomi Khusus Papua.
OTSUS
GAGAL
Wakil
Ketua DPR RI, Priyo Budi Budi Santoso yang juga Ketua Pengawasan Otsus Papua
dan Aceh mempertanyakan langkah pemerintah menetapkan perluasan otonomi khusus
Papua atau yang disebut sebagai Otonomi Khusus Plus Papua. DPR meminta
pemerintah menghormati dan mengimplementasikan UU Otsus Papua yang sudah ada
saat ini. DPR sendiri juga mempertanyakan apa yang dimaksud oleh Presiden
tentang otsus plus ini. Kita semua seharusnya mengacu pada UU Otsus Papua yang
dengan susah payah kita telah undangkan dan UU Otsus Papua harus dilaksanakan
secara murni dan konsekuen.Pertanyaan dari DPR dalam rangka melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang yaitu penilaian terhadap kinerja
pemerintah tentang implementasi Undang-undang Otonomi Khusus Papua.
Kinerja
pemerintah pusat dan pemerintah daerah baik di Provinsi Papua maupun Provinsi
Papua Barat memprihatinkan kita semua karena sekian triliunan rupiah yang sudah
diberikan kepada pemerintah daerah tetapi rakyat di tanah papua masih miskin, termajinalisasi,
pelayanan kesehatan yang buruk, pelayan pendidikan yang buruk dan angka buta
huruf yang masih tinggi. Permasalahan tersebut juga diakibatkan karena tata kelola
pemerintahan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat masuk dalam kategori tata
kelola pemerintahan yang buruk dan tidak berwibawa, korupsi yang menggurita
di birokrasi serta penegakkan hukum yang buruk di tanah Papua. Selain itu juga beberapa
ketentuan atau perintah dari Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang belum
dibentuk yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pengadilan HAM dan Komisi
Hukum Ad Hoc, ini membuktikan bahwa pemerintah pusat dan daerah tidak serius dalam
melaksanakan Undang-undang Otsus Papua, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pelaksanaan UU Otonomi Khusus di Papua gagal.
Perubahan
atas UU Otsus Papua yang dilakukan oleh
Tim Asistensi Provinsi bersama beberapa Akademisi Universitas Cenderawasih (penyusun
Naskah Akademik) ini menimbulkan polemik karena ada beberapa pasal yang di masukkan
dalam draf RUU Pemerinatah Papua dikutip dari UU No.16 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yaitu yang mengatur perihal tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit
Tentara Nasional Indonesia di Aceh, Pemberhentian
Kepala Kepolisian Aceh dan komunikasi dan informasi. Pertanyaannya apakah
tidak ada nama lain selain UUPP?
Beberapa pakar
hukum tata negara menyatakan bahwa penggunaan istilah “Pemerintahan Aceh”
sebagai nama dari UU No. 11 Tahun 2006 tersebut merupakan suatu yang tidak
lazim dalam sistem perundang-undangan nasional. Berbeda dengan daerah lainnya
yang menggunakan istilah “Pemerintahan Daerah Provinsi”. Penggunaan istilah
tersebut sangat tidak sesuai dengan UUD 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Tidak terdapatnya istilah “daerah provinsi” di
depan istilah “pemerintah” dalam “Pemerintah Aceh” sangat mirip dengan istilah
“Pemerintah Republik Indonesia” yang menunjuk pada makna pemerintahan sebuah
negara, bukan sebuah daerah. Maka istilah “Pemerintahan Papua” juga akan mengandung
pengertian yang sama dengan uraian diatas. Tim Asistensi harus menjelaskan kepada
rakyat Papua mengapa menggunakan istilah “Pemerintahan Papua”.
Di dalam Pasal 1
ayat 11, Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
menyatakan bahwa Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian
hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjwabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam
suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsin atau
Rancangan Peraturan Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan
kebutuhan hukum masyarakat.
Kaitan dengan
ketentuan tersebut diatas, Prof. Dr Hikmahanto Juwana, Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, mengatakan bahwa didalam menyusun Naskah Akademik
harus dilakukan riset mendalam sebagai dasar penyusunan Naskah Akademik. Riset
dalam penyusunan undang-undang dilakukan untuk mengetahui dan menjawab
pertanyaan yang berkaitan dengan: Apa yang menjadi masalah di masyarakat? Apa
yang seharusnya diatur? Apakah ketentuan yang hendak diatur cukup realistis?
Bagaimana infrastruktur pendukung untuk menegakkan aturan? Adakah peraturan
perundang-undangan yang berpotensi untuk berbenturan? Melalui Naskah Akademik,
dapat dilihat bahwa setiap rancangan undang-undang tidak disusun karena
kepentingan sesaat, kebutuhan yang mendadak, atau karena pemikiran yang tidak
mendalam. Apabila kita merujuk pada pasal dan pendapat tersebut diatas, maka
pertanyaannya adalah apakah Tim Asistensi Provinsi Papua, Tim Asistensi Provinsi Papua Barat, MRP,
MRPB, DPRP, DPRPB dan beberapa Akademisi Universitas Cenderawasih sudah
melakukan apa yang disampaikan oleh Hikmanto Juwana? Jawabannya adalah belum, akibatnya
terjadi penolakan yang datang dari berbagai elemen masyarakat di tanah Papua, yaitu Tokoh Agama, Tokoh
Masyarakat, Tokok Perempuan, Akademisi, Pengacara, Mahasiswa, OKP, LSM, dan
berbagai kelompok yang peduli terhadap pembangunan di Papua.
Dalam pembuatan
undang-undang perlu juga memprediksikan kebaikan dan keburukan yang akan
terjadi nanti apabila undang-undang yang baru apabila diimplementasikan, juga
menjelaskan secara jelas bagaimana ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang merupakan hasil
revisi menimbulkan perubahan-perubahan signifikan bagi rakyat papua. Rakyat
Papua juga berharap adanya jaminan (garantie) dari pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Suatu aturan harus didukung oleh kondisi
sosial yang cukup, sarana yang memadai
bagi organ atau dinas yang melaksanakan suatu peraturan, dukungan keuangan yang
cukup, dan sanksi yang sesuai. Pengalaman yang sering terjadi dalam pelaksanaan
suatu undang-undang di Indonesia menunjukkan bahwa banyak undang-undang yang
telah dinyatakan berlaku dan diundangkan, tetapi kemudian tidak dapat
dilaksanakan. Keberatan yang diajukan oleh masyarakat, menuntut agar
undang-undang ini dibatalkan atau direvisi.
Partisipasi
Masyarakat
Di dalam Pasal
96 ayat 1 s/d 4 UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang menyatakan bahwa masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan melalui ; a). Rapat dengar
pendapat umum, b). Kunjungan Kerja c). Sosialisasi dan/atau d). Seminar,
Lokakarya, dan /atau diskusi. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan
masukan secara lisan dan/atau tertulis, maka setiap Rancangan harus dapat
diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Dari ketentuan
tersebut diatas sudah jelas bahwa dalam pembentukan sebuah undang-undang
masyarakat dilibatkan karena undang-undang pada saat dilaksanakan setiap warga
negara dianggap sudah tahu apalagi undang-undang ini bersifat mengikat,
mengatur dan adanya sanksi hukum, sehingga partisipasi masyarakat dalam
pembentukan undang-undang wajib untuk dilibatkan. Tapi dalam kenyataannya rakyat papua tidak
dilibatkan mulai dari perencanaan, penyusunan dan pembahasan perubahan atas UU
Otsus Papua yang kemudian disusunlah draf
RUU Pemerintah Papua. Langkah yang ditempuh oleh Pemerintahan Papua, Pemerintahan
Papua Barat, MRP, MPRP, DPRP, DPRPB dan beberapa Akademisi Universitas
Cenderawasih, ini menunjukkan sikap yang tidak demokratis dan juga tidak
sepenuhnya mewakili rakyat papua tetapi hanya mewakili kepentingan elit-elit
politik tertentu saja serta terkesan terburu-buru karena ada pesan sponsor.
Pembahasan perubahan
atas Undang-undang Otsus Papua yang diusulkan ke Pemerintah untuk dibahas oleh DPR
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
sehingga Presiden mengesahkan rancangan Undang-undang Pemerintah Papua menjadi
Undang-undang sebaiknya untuk sementara ditunda dulu karena ada beberapa alasan
sebagai berikut; Pertama; Pemerintah Papua
dan Papua Barat sebaiknya lebih menfokuskan perhatian pada penyelenggaran
pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014, apalagi Daftar Pemilih Tetap (DPT) di kedua provinsi
ini masih bermasalah; Kedua ; RUU PP
tidak masuk dalam skala proritas program legislasi nasional (Prolegnas), Ketiga; Kinerja DPR RI sekarang ini dalam
pembahasan sebuah RUU menjadi UU tidak maksimal karena banyak anggota DPR RI
yang maju kembali pada pemilu legislatif 2014 sehingga
lebih banyak melakukan sosialisasi ke daerah pemilihannya, Keempat; Perubahan atas UU
Otsus Papua yang diusulkan oleh pemerintah Papua dan Papua Barat kemudian
dibahas bersama-sama dengan Pemerintah Pusat ini mendapat penolakan dari
sebagian besar rakyat Papua karena
melanggar ketentuan-kententuan yang diatur dalam pasal 77 dan pasal 78 Undang-undang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, sehinga harus dilakukan dialog
dengan rakyat Papua untuk membahas perubahan atas Undang-undang Otsus Papua. Apabila tidak ada dialog dengan rakyat
papua maka dapat dilakukan upaya politik dan hukum, yaitu melakukan hearing
dengan DPR RI tentang alasan penolakan serta melakukan Judicial Review ke
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Hukum Acara Pengujian Undang-Undang dengan
catatan apabila RUU Pemerintah Papua (RUUPP) disahkan menjadi Undang-undang.
Sumber : tulisan ini diterima dari Penulis (Roy Y. Simbiak Pengamat Otsus Papua) via email.