Suasana Protes Otsus Gagal Di Manokwari [Doc Pribadi] |
Oleh : Yan Christian Warinussy
Pasti banyak orang bertanya seperti ini, mengapa
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memberikan status Otonomi
Khusus bagi Tanah Papua dan Orang Asli Papua sebagai bagian dari warga negara Indonesia
sejak tahun 2001 hingga sekarang ini ? Jawabannya menurut saya dari sisi hukum
adalah karena alasan sejarah dan politik.
Alasan
sejarah disebabkan karena sejak tanggal 10 September 1969 Pemerintah NKRI sudah
memberikan status otonom bagi Propinsi Irian Barat waktu itu dengan 9
(Sembilan) Kabupaten, yaitu : Jayapura, Biak Numfor, Manokwari, Sorong, Fakfak,
Yapen Waropen, Paniai, Jayawijaya dan Merauke. Pembentukan Propinsi Otonom
Irian Barat bersama kesembilan Kabupaten Otonomnya waktu itu didasarkan pada
Undang Undang Nomor 12 tahun 1969 yang sekaligus mengesahkan keberlangsungan
Tindakan Pilihan Bebas (Act of Free Choice) yang oleh pemerintah Indonesia
disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang hingga kini menuai
kritik, protes dan perbedaan pandangan politik antara pemerintaqh dan rakyat
Papua (Orang Asli Papua).
Terdakwa Kasus Makar |
Selanjutnya
alasan politik adalah sebagaimana nampak dari dinamika politik di Tanah Papua
sejak tahun 1961 hingga tahun 1999, dimana bagi rakyat Papua pada tanggal 1
Desember 1961 itu telah berdiri Negara Papua Merdeka. Tapi kemudian Pemerintah
NKRI dipandang telah menginvasi Papua melalui Trikora yang dikumandangkan oleh
Presiden Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Hal ini kemudian
terus bergulir dalam guratan catatan sejarah hingga tahun 1999 dalam
penyelenggaraan Musyawarah Besar (Mubes) Papua dan Kongres Papua II bulan 29
Mei-4 Juni 2000 di Jayapura. Dimana di dalam Kongres Papua II secara tegas
Rakyat Papua mengkukuhkan keinginan politiknya untuk berjuang secara damai
menuju Papua Merdeka.
Itulah
sesungguhnya latar belakang politik yang menyebabkan Pemerintah Indonesia
akhirnya menawarkan Kebijakan Otonomi Khusus (Otsu) kepada Rakyat Papua dan
Tanahnya sebagai respon dan solusi atas tuntutan aspirasi politik yang demikian
kuat saat itu. Tawaran kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) tersebut juga rupanya
mendapat dukungan signifikan dari negara-negara sahabat Indonesia seperti Amerika
Serikat, Australia, Jepang, Uni Eropah dan Negara-negara Anggota ASEAN waktu itu.
Jadi
sesungguhnya pemberian status otsus bagi Tanah Papua adalah tidak merupakan
sebuah akibat dari adanya permintaan dan keinginan rakyat Papua, tapi merupakan
tawaran dan solusi politik yang bisa dikatakan bersifat sepihak dan tidak
berdasarkan adanya suatu kesepakatan diantara Pemerintah Indonesia dan Rakyat
Papua (Orang Asli Papua).
Oleh
sebab itulah, dalam perjalanannya selama berlaku dalam hampir 13 tahun ini,
Otsus itu senantiasa dikatakan oleh rakyat Papua sebagai gagal dan tidak bisa
menjawab keinginan rakyat Papua secara total, sehingga berkali-kali mereka
menyerukan agar otsus sebaiknya dikembalikan ke Jakarta dan segera dibuka
Dialog Damai antara Pemerintah Indonesia dengan rakyat Papua dan difasilitasi
oleh pihak ketiga yang netral.
Pertanyaan
saat ini ialah apakah tuntutan rakyat Papua untuk menggelar dialog damai itu
benar dan dapat diterima secara hukum ? Jawabannya menurut saya dari sisi hukum
adalah sangat benar dan berdasar hukum, karena keinginan rakyat dengan
pandangan bahwa otsus gagal, otsus gagal, itu menyiratkan bahwa rakyat
menginginkan perubahan atas kebijakan otsus di dalam Undang Undang Nomor 21
Tahun 2001 yang nampak kurang memiliki ruang untuk memanifestasikan keinginan
politik rakyat Papua selama ini.
Berkenaan
dengan itu, di dalam pasal 77 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 telah
digariskan tentang bentuk dan mekanisme perubahan Undang Undang Otsus Papua
yang harus diawali dengan adanya pelaksanaan evaluasi sebagai dimaksud dalam
pasal 78 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tersebut.
Berdasarkan
evaluasi itulah akan dapat dijumpai jawaban riil atas keinginan rakyat Papua
untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap Undang Undang Nomor 21 tahun 2001
tersebut yang tersirat dalam 24 Bab dan 79 pasalnya tersebut.
Pertanyaan
tentang apakah yang menjadi mandat atau perintah dari Undang Undang Otsus Papua
dalam setiap bab? Apa yang menjadi latar belakang ditetapkannya mandat atau
perintah tersebut? Bagaimana pelaksanaannya selama ini? Serta Apa yang harus
dilakukan ke depan ?
Inilah
pertanyaan-pertanyaan penuntun yang penting bagi rakyat Papua dan Pemerintah
Indonesia dalam melakukan evaluasi lebih dahulu atas pelaksanaan Undang Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.
Evaluasi
tersebut harus dilakukan lebih awal sebelum menjawab keinginan dari rakyat
untuk melakukan perubahan secara hukum dan politik sebagaimana diatur dalam
aturan perundangan yang berlaku dengan metode dan cara yang dapat diterima
secara ilmiah dan sah menurut hukum.
Dengan
demikian dapat diperoleh jawaban penting atas pertanyaan saya mengenai Mengapa
Pemerintah NKRI memberikan Status Otonomi Khusus Bagi Tanah Papua dan Rakyat
Papua ? Apakah hal itu sudah merupakan keinginan dan harapan rakyat Papua ?
Ataukah hanya merupakan keinginan elit politik pusat dan daerah saja !?
Sumber : Tulisan ini diterima via email Pada 23 Februari 2014.