Aksi KNPB Kota Jayapura (Doc Foto Pribadi) |
(Sambungan...)
Pasal tuduhan pidana “menghasut” ini menjadi
fenomena baru terhadap KNPB wilayah Mnukwar setelah tahun 2012, akibat dari
kegiatan damai telah dituduh bersalah melakukan “tindak-pidana makar, penghasutan, bersekutu melakukan perlawanan
terhadap petugas”.
Penghasutan, dalam tindak pidana [delict],
sebagaimana diatur dalam pasal 160 KUHPidana disebutkan “barangsiapa dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan
perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak
menuntut baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan
berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama
enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Sebelum menelisik lebih mendalam “korelasi antara
pidana penghasutan dengan kegiatan Demonstrasi” KNPB Wilayah Mnukwar, penting
dipahami definisi [pengertian] dari penghasutan. KUHP sendiri tidak ada penjelasan
resmi mengenai penghasutan, namun dipahami menurut kamus besar Bahasa Indonesia [Departemen
Pendidikan Nasional, 2003:392], tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan
untuk “membangkitkan hati orang supaya
marah [untuk melawan atau memberontak]”, atau menurut Black’s Law
Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262 dengan menggunakan padanan kata menghasut
dengan “provocation” diartikan sebagai, “something [such as word or
action] that affects a person’s reason and self-control, esp. causing the
person to commit a crime impulsively”;
Mengutip
pendapat ahli, R. Soesilo dalam komentarnya terhadap Pasal 160 KUHP “menghasut
artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya
berbuat sesuatu”. Dalam kata "menghasut" tersimpul sifat:
"dengan sengaja" Cara menghasut orang itu rupa-rupa, misalnya dengan
cara yang langsung, seperti: "Seranglah polisi yang tidak adil itu,
bunuhlah dan ambil senjatanya!" ditujukan terhadap seorang pegawai polisi
yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Dapat pula secara tidak
langsung, seperti: "Lebih baik, andaikata polisi yang tidak adil itu dapat
diserang, dibunuh,dan diambil senjatanya." Mungkin pula dalam bentuk
pertanyaan, seperti: "Saudara-saudara apakah polisi yang tidak adil itu
kamu biarkan saja, apakah tidak kamu serang, bunuh dan ambil senjatanya?"
Sebelum
adanya putusan Mahkamah Konstitusi, dalam perkara No. 7/PUU-VII/2009, tindak
pidana penghasutan sebagaimana pendapat R. Soesilo adalah delic formil, artinya
“perbuatan penghasutan itu bisa langsung
dipidana tanpa melihat ada tidaknya dampak dari penghasutan tersebut”. MK,
dalam pertimbangan pengujian pasal 160 KUHPidana sebagaimana dimaksud dalam
perkara No. 7/PUU-VII/2009 kemudian mengubah pasal 160 KUHPidana menjadi delic
materiil sebagaimana “dalam konklusi putusan disebut conditionally constitutional, sepanjang ditafsirkan sebagai delik
materiil”, dampak dari putusan tersebut maka setiap orang yang melakukan penghasutan
baru bisa dipidana jika berdampak pada tindak [pidana lain seperti kerusuhan
dan atau telah terjadi anarkis massa chaos
Penjelasan
singkat diatas memberi pertanyaan kepada Demonstrasi KNPB pada 20 Mei 2015,
menurut catatan informasi berdasarkan selebaran aksi KNPB, bahwa pada hari itu
KNPB Wilayah Mnukwar menggelar aksi dengan mengusung agenda sebagai berikut :
“mendukung pertemuan MSG [the Melanesian Spearhead Group] di Honiara, Fiji
untuk membahas aplikasi ULMWP [United Liberation Movement for West Papua] untuk
diterima sebagai assosiasi member MSG dan menuntut ruang demokrasi dan
kebebasan akses jurnalis asing untuk masuk meliput Papua”.
Sebelum melihat lebih detil korelasi antara pendapat
ahli hukum pidana R. Soesilo mengenai “penghasutan” serta putusan Mahkamah
Konstitusi dan demonstrasi KNPB maka penting untuk didahulukan fakta dari
peristiwa yang terjadi saat itu (20 Mei 2015). Pertama; kegiatan yang berlangsung dilakukan oleh KNPB mnukwar
dalam kelembagaan mereka yang diketahui secara langsung oleh kepolisian, kedua pada hari itu, kegiatan nyatanya
telah berlangsung dengan tertib, aman dan tidak mengganggu atau membuat korban
dan kerugian terhadap penduduk sipil sekitar. Ketiga, tidak ada korban dari pendemo sebagai akibat tindakan
perlawanan terhadap pemerintah/polisi, ke-empat
tidak ada aparat kepolisian yang menjadi korban dari tindakan pendemo [massa
KNPB].
Disini uraian singkat diatas memberi petunjuk
[indikasi] sebagai korelasi yang dapat disimpulkan pada bagian akhir tulisan
ini sebagai berikut : pertama agenda demonstrasi KNPB punya keterkaitan dengan
fakta situasi diatas “tidak ada korban”, tentunya dapat dimengerti bahwa agenda
demonstrasi KNPB Wilayah Mnukwar tidak untuk menciptakan perlawanan
[profokatif] terhadap pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang sah atau
melawan secara langsung maupun tidak langsung petugas kepolisian yang
menjalankan tugas keamanan dan ketertiban masyarakat di Negara Demokrasi
Indonesia.
Kedua, menyampaikan pendapat dimuka umum untuk
mendukung pertemuan MSG [the Melanesian Spearhead Group] di Honiara, Fiji untuk
membahas aplikasi ULMWP [United Liberation Movement for West Papua] untuk
diterima sebagai assosiasi member MSG, menuntut ruang demokrasi dan kebebasan
akses jurnalis asing untuk masuk meliput Papua sama sekali belum mengandung
nilai atau prinsip yang menghasut. Faktanya pertemuan MSG nyatanya ada dan
membahas aplikasi ULMWP kemudian menerima ULMWP melalui status observer pada MSG yang adalah asosiasi
negara-negara pasifik, Pemerintah Indonesia juga mengirim delegasi ke forum MSG
tersebut yang
didukung melalui pendapat dimuka umum KNPB.
Dan ketiga atau terakhir “menyampaikan pendapat dimuka
umum” oleh KNPB wilayah Mnukwar mengenai “ruang demokrasi dan akses jurnalis
asing untuk masuk ke Papua”, faktanya diakui selama ini kerap menjadi
permasalahan serius ditingkat internasional dan bahkan menjadi rekomendasi PBB
[United Nation] kepada pemerintah RI
sehingga Presiden Jokowi cukup serius menaruh perhatian untuk memberi akses
bagi jurnalis asing masuk ke Papua.
Penyampaian pendapat inilah yang sesungguhnya
dibenarkan di dalam konstitusi UUD
1945
amandement ke-II pasal 28 E ayat (3), Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan
menyampaikan pendapat. Disinilah terletak negara demokrasi Indonesia itu
semestinya berdiri dengan selalu aktif memberi ruang kebebasan kepada warga
negara termasuk yang ada di Papua termasuk KNPB wilayah Mnukwar untuk
menyampaikan pendapat secara bebas dimuka umum tanpa rusuh dan anarkis terhadap
petugas kepolisian dan pemerintah.
“Tuduhan pidana penghasutan terhadap kesimpulan dari
fakta mengenai peristiwa demonstrasi KNPB diatas adalah sangat prematur secara
yuridis dan tentunya menggunakan pendekatan delik formil yang bersifat
subjektif”. Di dalam negara demokrasi apabilah aparat penegak hukum bersikeras
menerapkan pasal ini terhadap aksi demonstrasi maka system penegakan hukum
telah lebih tengah dirusak
yang pada akhurnya meruntuhkan bangunan demokrasi yang tengah berkembang di dalam
Negara.***end
Sumber Posting : Artikel Pribadi