Kampung Siep, Manokwari Selatan (Doc Pribadi) |
Bagaimana
kita bisa membuat peraturan kampung ? apakah peraturan kampung nanti bisa
diterima oleh pemerintah Kabupaten, Propinsi ataupun Pemerintah Negara ? atau
bagaimana peraturan kampung bisa tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku?.
Itulah catatan singkat mengenai pertanyaan yang diajukan oleh para aparatur Kampung
yang berasal dari sembilan kampung, berlokasi di wilayah Distrik Menyambouw [Pegunung
Arfak] masing-masing Kampung Indabri, Kampung Handuk, Kampung Umpug, Kampung Ninsimoi
dan Kampung Figoud dan Kampung yang berlokasi di Distrik Warmare [Manokwari]
masing-masing Kampung Kwau, Kampung Minggre, Kampung Ndonbey dan Kampung Dueibei.
Pertanyaan
diatas diajukan pada satu sesi diskusi yang digagas oleh Yayasan Paradisea
Manokwari, yang bertemakan “pelatihan penyusunan program kerja Panitia Musyawara
Adat wilayah Indabrikwau” di ruang
pertemuan Yayasan Paradisea, Manokwari (4/8/2015).
Dari
pertanyaan tersebut, perspektif kritis yang bisa diambil untuk mencermati
mengapa ada pertanyaan seperti itu adalah demikian : Pertama Pertanyaan diatas
mungkin secara kasat hanya merupakan representatif dari situasi dan kondisi
pada disembilan kampung di atas namun belum tentu tepat, pertanyaan diatas bisa
saja menjadi pertanyaan mayoritas kampung yang ada di Papua Barat atau bahkan
se-Tanah Papua, mengingat pertanyaan diatas secara prinsip bersumber dari fakta
situasi bahwa “aparatur pemerintah kampung pada kenyataanya memiliki kapasitas
yang memadai secara institusi, sebab mereka dilantik atau diangkat sebagai
Kepala Kampung berdasarkan SK Bupati dan juga mereka memiliki data dan
informasi yang jauh cukup akurat dapat dikelolah (dikaji) untuk membentuk
peraturan apapun terhadap Kampung, tetapi sumber daya tersebut tidak pernah
dimaksimalkan, peraturan kampung tidak perna ada.
Kedua, pertanyaan
diatas “memberi petunjuk” bahwa meskipun telah ada berbagai Produk hukum yang
secara hirarkis dimulai dari UUD 1945 hingga Undang-Undang Otonomi Khusus
maupun Perda Kabupaten/Kota yang banyak mengatur kepentingan rakyat kecil di Kampung
namun pada kenyataanya Masyarakat Kampung justru bertanya “bagiamana bisa
membuat Peraturan Kampung ?”.
Ketiga, “Masyarakat menyadari
hak-hak mereka terutama terhadap akses Sumber Daya Alam” Di Kampung dan sekitar
berpotensi untuk dikuasai oleh pihak lain dari Kampung, lalu otoritas Pemerintah
Daerah tidak banyak berbuat sesuatu untuk memastikan kepentingan Masyarakat Kampung
terproteksi utuh.
Ke-empat,
“Masyarakat
Kampung memahami bahwa situasi Pemerintah Kampung sangat rentan terhadap
berbagai kepentingan ekonomi, politik, sosial yang mengatasnamakan Kampung”,
sehingga adanya Peraturan adalah “terobosan strategis untuk mencegah berbagai
kepentingan yang merecoki Kampung dan Masyarakat”.
Ke-lima, Sangat jelas,
dari pertanyaan tersebut, masyarakat di Kampung membutuhkan assistensi untuk memperkuat kapasitas
Pemerintahan Kampung, hal ini berangkat dari kesan selama ini Pemerintah Kampung
hanya mengurus kepentingan SKPD Pemerintah Daerah yang belum tentu tepat
sasaran 100% ke masyarakat, atau Kampung ditempatkan hanya alat pelengkap (subjektif)
bagi Distrik dan Pemerintah Daerah tapi nasib masyarakat diabaikan.
Menjawab
pertanyaan di atas secara sederhana, untuk Papua pasca implementasi
Undang-Undang Otonomi Khusus, undang-undang ini cukup memberi stimulan bagi
kampung untuk membentuk peraturan. Undang-undang ini meski secara ekspilisit tidak menyebut klausul Peraturan Kampung seperti halnya
Perdasus dan Perdasi akan tetapi beberapa pasal yang dapat dipahami sebagai
politik hukum untuk adanya peraturan kampung yakni :
·
Pertama : Pasal 1
huruf l “Menyebut bahwa “kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dalam system pemerintahan nasional dan berada di daerah
kabupaten/kota”.
·
Kedua : Pasal 5
ayat (7) : Menyebutkan bahwa “di Kampung dibentuk badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah
Kampung atau dapat disebut dengan nama lain.
·
Ketiga : Pasal 43
ayat (4) : Menyebutkan bahwa “penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan
warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui
musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun
imbalannya.
Pokok
substantif, pasal-pasal di atas memberi rujukan hukum terhadap Kampung
diantaranya, “berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, membentuk
badan musyawarah kampung, Pemerintah Kampung dan juga melindungi tanah atau
sumber daya alam di Kampung”. Dalam praktiknya wewenang kampung ini telah ada
dan dilaksanakan sepenuhnya dikampung, namun masih tersisah kewenangan untuk
mengurus kepentingan Masyarakat Kampung terhadap hak-hak atas tanah dan sumber
daya alam, inilah kewenangan yang sesungguhnya menjadi pertanyaan diatas
melalui Peraturan Kampung.
Kampung Wagura - Teluk Bintuni (Doc. Pribadi) |
Melihat
pada fakta yang terjadi selama ini, tidak sedikit program dan dana yang cukup besar
masuk ke Kampung seperti Program dan Dana Otsus, program dan Dana Respek, PNPM
Pedesaan dan lain-lain yang dilakukan Pemerintah, ironisnya berbagai produk
kebijakan untuk program-program ini tidak menyiapkan Kampung untuk secara
mendiri merancang regulasi internal terhadap kepentingan masyarakat kampung
atas program apapun dari pemerintahan di atas kampung. Hasilnya Kampung
benar-benar di-setting menurut
kebijakan dan Peraturan diatasnya yang belum tentu memandirikan Kampung,
pertanyaan diatas memberi bukti bahwa kampung dibiarkan untuk tetap menjadi
tergantung terhadap pihak diluar dan diatas Pemerintah Kampung.
Lahirnya
Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sepatutnya menjadi evaluasi kesalahan
yang selama ini kerap terjadi terhadap Kampung, Undang-Undang ini bukanlah
menjadi sarana untuk menutup lubang masalah yang ditinggal program-program
terdahulu terhadap Kampung. Dalam konteks Otonomi khusus Papua, Undang-undang
desa melalui peraturan penjelasan memberi pengecualian untuk dalam pelaksanaan
Undang-Undang Desa wajib memperhatikan kebijakan Otonomi Khusus Papua.
Salah
satu makna esensial dari implementasi Undang-undang Desa melalui PP Nomor. 43
tahun 2014 adalah Peraturan Desa yang tengah dibahas dalam tulisan ini. Menurut
Undang-Undang ini “Peraturan Desa atau
ditekankan menurut perspektif Otonomi Khusus Papua, Peraturan Kampung, adalah Peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Kampung setelah dibahas dan
disepakati bersama Badan Permusyawartan Desa/Badan Musyawarah Kampung atau
Badan Perwakilan Kampung”. Hal inisiatif membuat Peraturan Kampung bisa
datang dari Badan Permusyawartan Desa/Badan Musyawarah Kampung atau Badan
Perwakilan Kampung atau juga dari masyarakat, Pasal 69 ayat (1) menyebut,
Peraturan untuk Kampung terdiri dari tiga jenis yaitu ; “Peraturan Kampung, Peraturan Bersama Kepala Kampung dan Peraturan
Kepala Kampung”.
Alur
penyusunan Peraturan Kampung diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 111 tahun 2014 tentang Pedoman Tekhnis Peraturan Di Desa/Kampung. Meskipun
Permendagri disebut dalam bahasa hukum berlaku secara mutatis mutandis, hal-hal pokok diatur Permendagri ini menyebut,
Peraturan Kampung dirancang dan dikonsultasikan kepada Masyarakat Kampung
terkait dan Pemerintah Distrik setempat guna memperoleh masukan penyempurnaan,
lalu kemudian Peraturan Kampung dapat dibahas bersama Kepala Kampung dan Badan
Permusyawartan Desa/Badan Musyawarah Kampung atau Badan Perwakilan Kampung
untuk ditetapkan. Dalam waktu tujuh (7) hari Peraturan Kampung yang ditetapkan
Kepala Kampung akan dikirim untuk diklarifikasi oleh Bupati dalam kurun waktu tiga
puluh (30) hari sejak diterima, Bupati/Walikota akan menerbitkan surat hasil
klarifikasi Peraturan untuk kemudian peraturan kampung dapat diperbaiki atau
diberlakukan oleh Pemerintah Kampung.
Keberadaan
Undang-undang Desa diatas memberi optimisme bahwa pertanyaan mengenai
“bagaimana bisa membentuk Peraturan Kampung ? tidak lagi kedepan menjadi
permasalahan untuk Kampung. Ini saatnya bagi aparatur Kampung untuk bisa menata
Kampung dalam kemandirian.
Selamat
menyongsong Musyawarah Adat (MUSDAT) Indabrikwau, bagi Kampung Indabri, Kampung
Handuk, Kampung Umpug, Kampung Ninsimoi dan Kampung Figoud (Distrik Menyambouw
– Pegunungan Arfak) dan Kampung Kwau, Kampung Minggre, Kampung Ndonbey dan
Kampung Dueibei (Distrik Warmare – Manokwari).***end)
Sumber : Artikel Pribadi