Ontran-Ontran tak berkesudahan di Bumi Papua ini dipotret Kaka Ngurah (sa suka menyebut Pak Dosen Antroplogi Unipa yang satu ini kaka saja) dari disiplin keilmuwaanya
dan sebagai wujud pengabdian seorang akademisi tulen yang serius mengabdi bagi rakyat
Papua. “Suara - Suara Yang Dicampakkan” ini ditulis secara menakjubkan pada
bukunya yang baru diterbitkan oleh penerbit BASABASI, Yogyakarta tahun 2018 ini.
Semula sa lihat cover buku ini
dikirim via WA (Whats-App) ke saya,
ketika (saat itu) mengetahui seorang
aktifis Victor Yeimo memberi kata pengantar pada buku ini saya berprasangka
biasa saja, namun ketika membaca dan mendalami konten buku ini sa baru menyadari mengapa sang aktifis Viktor Yeimo sebagai ketua
KNPB (Komite Nasional Papua Barat) adalah sosok yang sa bilang jitu (tepat) untuk
memberi kata pengantar kepada “Suara Suara Yang Dicampakan”, message-nya Kaka Ngurah dan Victor Yeimo seperti bermain alat musik yang
berbeda tetapi hanya untuk sebuah intro nada yang satu (sama).
Kaka Ngurah, dosen yang sangat hebat skali dimiliki Unipa Manokwari, dia mampu
meramu capacity akademisinya, menulis
untuk mayoritas rakyat kecil Papua dari berbagai kalangan dan faksi-faksi yang
suara mereka tra diakui, trada ijin, dari ormas terlarang,
pengganggu kamtibmas, separatis makar dan embel-embel stigma lainnya yang tra tau mo tambah apa lagi...!
And so, well, itu makna lainnya dari buku ini.
Pada suatu direct-flight Garuda
(GA-656), Jakarta – Jayapura, karena penerbangan malam itu 5 ½ jam, saya kemudian gunakan waktu tra tidur untuk habiskan membaca buku
yang satu ini, sa bukan latar belakang antropolog akan tetapi sa melihat buku ini memuat discourses riset yang menawan dituangkan
kaka Ngurah
Dimulai dari, Ia, (baca: saya)
merasakan ada kesalahan dalam perspektif memahami kontribusi ilmu pengetahuan
dalam perubahan sosial di tengah masyarakat papua, dari meyakini kesalahan itu,
saya kemudian meyakini bahwa ilmu pengetahuan ilmu sosial humaniora mengalami kekalahan
ditengah arus perubahan di tanah Papua. Ilmu pengetahuan menjadi alat untuk
kekuasaan dan universitas hanya perpanjangan tangan dari birokrasi pemerintah.
Dalam konteks itu, studi ilmu humaniora harus mereposisi diri tidak hanya jadi
pelayan kekuasaan tapi menjadi medium
bagi rakyat yang dikalahkan oleh kekuasaan [Hal : 24 -25].
Negara dengan aparatusnya mempraktikan kekerasan dan kekuasaan, akhirnya
merenggut kemerdekaan rakyat papua untuk menyuarakan aspirasinya. Menurut C Wright
Mills, semua politik adalah perjuangan kekuasaan , dan bentuk kekuaaan paling
puncak adalah kekerasan. Operasi kekerasan berlangsung untuk menjaga kekuasaan
tetap langgeng atas Tanah Papua .[Hal : 67]
Di Tanah Papua, peristiwa kekerasan tidaklah berdiri sendiri. Moment
moment tragedy kekerasan melibatkan para aktor, struktur yang mengakibatkan
atau mendorong kekerasan berlangsung serta argumentasi (alasan) yang dikonstruksi agar kekerasan tersebut berlangsung wajar dan terkesan memang bisa
diterima terjadi ditengah masyarakat.
Salah satu hal saja yang menjadi penafsiran terus menerus adalah Nama dari Papua itu sendiri yaitu dari Nethderland Niew Guinea, West Niew
Guinea, Irian Barat, Irian Jaya hingga kini menjadi Papua (atau dan Prop Papua
Barat), keseluruhan nama tersebut mengalami ketidakstabilan makna yang mengacu kepada kepentingan kekuasaan didalamnya “Setiap masa tanah Papua
mengalami perubahan nama dengan berbagai makna di dalamnya” [Hal: 147]
Memelihara hantu separatis, “stigma separatis menjadi senjata dari Negara
untuk membungkam ekspresi kebebasan rakyat Papua untuk mengkritisi kebijakan
dan penanganan Negara di Tanah Papua ”, pemahaman aktor keamanan Negara
terhadap ekspresi budaya Papua hanya terbatas pada stabilitas keamanan nasional
di Papua dilakukan dengan berbagai cara
sehingga pemahaman terhadap situasi sosial budaya masyarakat sangatlah kurang, bahkan bias dan
diskriminatif. [Hal : 167-168]
Masyarakat adat di Negri ini [Papua] dalam sejarahnya seolah terjepit oleh
dua kepentingan besar yang terus mengikutinya ; Pertama, kepentingan untuk terus menjaga dan melestarikan tradisi,
adat dan kebudayaan yang telah ada selama ini, Kedua, kepentingan transformasi sosial budaya yang secara massif
menantang dengan memunculkan berbagai dilemma-dilema, selain berkelindan dengan
politik, fokus perhatian dan kapasitas untuk memperjuangkan kapasitas
masyarakat adat saat ini justru mendapati tantangan stigma subversive atau separatis.
[Hal : 186]
Buku ini teramat menyentil isu sipol (hak-hak sipil dan politik) yang bagi
saya telah diratifikasi pemerintah RI ke dalam hukum Indonesia [lihat : UU
No.12 tahun 2005 dan UU No. 9 Tahun 1998] akan tetapi isu tersebut menjadi
“terbudaya-bisu” yang dilukiskan oleh penulis berlatar belakang antropolog
ini. tidak hanya disitu saja, kritik tegas juga
dilayangkan penulis tanpa basa - basi ke actor birokrasi dan actor keamanan
serta jagoan lokal yang selama ini memporak-porandakan rakyat yang telah
mengalami kebisuan.
The last comment-nya, buku ini muncul di moment-moment menjelang tahun Politik,
Pemilukada, Pileg dan Pilpres (2018 – 2019), disinilah nilai bargainingnya
“Suara-Suara yang dicampakan”. Saya meyakini, separuh kalangan elit politik
buta soal memaknai konteks ini karena mereka diprogramkan system, sebagian lagi
tengah menyangkal hati nurani demi menjaga poros politik. Dari situ, buku ini sangat
tepat dibaca oleh para aktifis, pengacara HAM, akademisi, mahasiswa, Pers, sehingga
dapat memperluas persepsi pribadi kita yang kritis, netral dan terutama berpihak
pada justice and human rights to “Ontran-Ontran tak berkesudahan Di bumi Papua”.
Salam hormat kaka penulis Ngurah
..!
“Sentani” akhir Maret 2018
Judul Buku : Suara
Suara yang Dicampakkan
Penulis : I Ngurah Suryawan
Kata Pengantar : Victor Yeimo
Jumlah Halaman : 248
Penerbit : basabasi
- Yogyakarta