Aksi 1 Desember 2015 Di Jakarta (Foto : beritasatu.com) |
Pembubaran Aksi 1 Desember
di Jakarta dan Brutalitas Polisi
Satu Desember hari ini tidak berbeda
dengan situasi 1 Desember ditahun-tahun sebelumnya di mana ratusan warga Papua
kerap dikriminalisasikan atas nama ketertiban sipil dan kedaulatan negara. Hari
ini kita sama-sama melihat praktik brutalitas yang kembali direproduksi oleh
Polda Metro Jaya dalam penangkapan 306 masa aksi Papua yang diketahui tengah
merayakan ekspresi damai identitas ke-Papua-an yang selalu dirayakan setiap
tanggal 1 Desember. Aparat polisi Polda Metro Jaya telah melakukan penangkapan
sewenang-wenang masa aksi pada pukul 10 pagi di sekitar Bundaran Hotel
Indonesia, Jakarta Pusat.
Dari hasil pantauan KontraS, kami
mengetahui bahwa tindak penangkapan sewenang-wenang ini memiliki kaitannya
dengan peristiwa yang dialami oleh ke-22 mahasiswa Papua yang bergerak dari
arah Tangerang untuk berpartisipasi dalam aksi demonstrasi.Diketahui bahwa
pemantauan aksi telah dilakukan 1 hari (30 November) sebelum aksi dimulai oleh
intel kepolisian di sekitar Asrama Aru tempat ke-22 mahasiswa tinggal. Pada 1
Desember, ketika 22 mahasiswa ini bergerak ke Jakarta dengan menggunakan 2
mobil mereka dihadang di pom bensin. Ada pertanyaan yang bernada diskriminatif
dan keras, terjadi cekcok adu mulut dan aksi saling dorong antara mahasiswa dan
2 polisi yang menghadang mereka. Di sekitar pintu tol Serpong, 2 mobil dikawal
untuk dibawa langsung ke Polda Metro Jaya. Ke-22 mahasiswa di-BAP oleh Resmob
dan Krimum Polda Metro Jaya. Fakta
lapangan lainnya juga ditemukan bahwa seorang pria bernama Halim (58 tahun)
telah ditangkap tanpa bukti yang jelas pada peristiwa ini, padahal ia hanya
menonton berjalannya aksi.
KontraS juga mengetahui penangkapan
sewenang-wenang ini juga diikuti dengan tindakan pemukulan dan penganiayaan
terhadap sejumlah jurnalis asing yang sedang meliput ekspresi damai di dekat
Bundaran HI. Step Vaessen (Al-Jazeera), Chris B (Bloomberg), Archicco Guiliano
(ABC Australia) dan wartawan BBC menjadi korban brutalitas dan penyensoran
media oleh polisi. Mereka dipaksa menghapus video dan foto aksi pembubaran
paksa. Pemukulan menggunakan rotan juga diarahkan kepada jurnalis asing yang
datang meliput aksi hari ini. Tidak ada alasan yang jelas dan pasti atas
penangkapan ini. Kabar sumir berkembang bahwa massa aksi membawa simbol Bintang
Kejora yang telah lama diakui oleh Mantan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai
simbol kebudayaan dan ekspresi damai orang Papua.
Penangkapan sewenang-wenang ini tidak
hanya mencederai komitmen Indonesia dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
dan Politik, Undang-Undang HAM No. 39/1999, jaminan mengemukakan opini di depan
umum sesuai dengan UU No. 8/1998 dan termasuk komitmen Polri untuk tunduk pada
standar HAM melalui Perkap No. 8/2009; namun lebih jauh dari itu, penangkapan
ini menunjukkan bahwa belum ada itikad baik dari pemerintah untuk melihat
konteks Papua dalam situasi setara, non diskriminasi, dan subyek hukum yang
memiliki hak yang sama seperti laiknya warga negara Indonesia.
Publik harus mengetahui bahwa saat ini,
Pemerintah Indonesia melalui Kantor Staf Kepresidenan tengah gencar merancang
kampanye untuk memunculkan berita-berita baik seputar Papua. Pemerintah akan
mengabarkan praktik pembangunan masif yang telah diagendakan di Papua, akses
berjualan bagi mama-mama di pasar, jembatan, jalan raya rumah sakit dan lain
sebagainya. Pembebasan Filep Karma juga nampaknya menjadi bagian dari politik
bumbu dapur berita baik tersebut. Namun agenda ini tidak memiliki arti apa-apa
apabila pemerintah melulu melihat Papua dalam pendekatan keamanan, jurnalis
masih direpresi, akses informasi dibatasi, warga Papua terus dikriminalisasi.
Jelas pemerintah belum mampu dan belum mau
mengabarkan berita baik Papua dengan genuine
dan memanusiakan manusia-manusia Papua selayaknya manusia. Namun Papua tidak
sendiri. Aksi hari ini menunjukkan solidaritas dan dukungan yang besar dari
warga Jakarta untuk Papua. Meski kita belum mengetahui bagaimana kabar di Papua
yang turut merayakan 1 Desember di sana. KontraS terus menghimbau kepada publik
untuk memperkuat solidaritas, mendukung semua model ekspresi damai yang dapat
digunakan untuk menyuarakan kabar Papua, karena Papua tidak boleh sendiri.
Sumber : via-email Arif/Kontras