Majelis Hakim Ad-Hoc P.Tipikor Papua Barat [Foto: Pribadi] |
Kronologis kasus
Korupsi DPR PB diduga terjadi dalam pola pinjaman dana, proses pinjaman
tersebut telah terjadi sebanyak dua kali pada dua waktu, melalui dua tahap.
Menurut pernyataan versi pimpinan DPR
PB pinjaman dilakukan untuk menutupi kebutuan Anggota DPR PB terutama yang dari
luar Manokwari seperti tempat tinggal juga kendaraan dinas, untuk kebutuan
tersebut, ke-44 Anggota DPR PB saat itu telah menerima Rp. 400 – 500 Juta per-orang.
Sementara versi Kejati Papua (melalui
hasil penyidikan), “kasus ini berawal dari Pertama pada 17 September 2010
tersangka ketua DPR PB bersama tersangka “Marthen
Luther Rumadas” mengajukan pinjaman kepada Dirut PT PADOMA, hari itu juga
tersangka “H. Mamad
Suhadi” selaku Dirut mengajukan pinjaman kepada “Marthen Luther Rumadas”
sejumlah Rp. 17 Miliyar rupiah selanjutnya diserahkan kepada tersangka Ir.
Marthen Luther Rumadas” kepada pimpinan dan anggota DPR PB sebagai pinjaman
dewan, Kedua, melalui pola yang sama terjadi pada 09 Februari 2011,
Ketua DPR PB bersama “Marthen Luther Rumadas” kembali mengajukan pinjaman
sejumlah Rp. 5 Miliyar, pinjaman ini kemudian dikabulkan oleh Dirut Padoma “H.
Mamad Suhadi” kepada “Ir. Marthen Luther Rumadas” dan diteruskan kepada
pimpinan DPR PB. Berdasarkan peristiwa pinjam-meminjam inilah yang kemudian
setelah lima bulan berlalu, pada tahun yang sama tepat pertengahan juli 2011
Kejati Papua menetapkan segenap pimpinan dan anggota DPR – PB sebagai tersangka
dalam kasus tindak pidana korupsi. Koordinator Penyidik Kejati Papua untuk
kasus Korupsi DPR PB menyampaikan bahwa PT PADOMA bukanlah lembaga simpan
pinjam, “tindak pidana korupsi terjadi sebab PT PADOMA menyalahi aturan sebagai
perusahan yang bergerak dibidang kontraktor, perikanan dan usaha-usaha lainnya
untuk menghasilkan PAD bagi Pemerintah Propinsi Papua Barat. Akibat menyalahi aturan, biaya APBD Propinsi
Papua Barat yang dialokasikan ke PADOMA pun terjadi penyimpangan sehingga
menimbulkan kerugian negara”.
Berangkat dari uraian kronologis singkat di
atas, beberapa catatan peristiwa dibawah ini saya ketengahkan untuk mencermati kedudukan hukum (legal standing), alasannya yaitu kasus ini telah merugikan kerugian
Negara yang mencapai Miliyar rupiah dari APBD sebagai uang rakyat di Propinsi Papua Barat serta juga kasus ini terkesan
ditangani secara parsial dengan menyita waktu dan perhatian publik yang
terlampau meluas terhadap para pejabat terhormat dari rakyat di wilayah kepala
burung Propinsi Papua Barat. Uraian fakta-fakta peristiwa berikut ini adalah
pendekatan yang dipakai
secara praktis dari aspek hukum untuk melihat integritas dan komitment aparatur
Kejaksaan, terutama untuk mengungkap kasus korupsi DPR PB Periode 2009 - 2014.
Peristiwa
Pertama
yaitu Kejati menetapkan “status
tersangka terhadap ke-44 anggota DPR – PB” pada Juli 2011, status tersangka tersebut jika merujuk pada pasal 1 butir ke-14
KUHAP menentukan bahwa “tersangka adalah orang yang karena perbuatannya atau
keadaanya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana”.
Kata tersangka sesungguhnya wajib dipahami
bahwa hal tersebut adalah resiko proses hukum acara, dalam hal ini mengandung
kewajiban menjalani pemeriksaan, mengisi berita acara dan proses pembuktian,
idealnya demikian. Namun akan terlihat aneh apabilah seseorang tidak pernah
menjalani serangkaian proses acara pidana kemudian secara
mendadak distatuskan sebagai sebagai
tersangka, ke-44 pejabat DPR PB ini pernah membantah klaim Kejati Papua terkait
pemberitaan status mereka sebagai tersangka mengingat mereka tidak pernah
diperiksa sepanjang tahun 2011.
Selanjutnya kontradiksi
Status tersangka apabilah diukur perbandingannya dengan pernyataan
mengenai “perijinan pemeriksaan pejabat publik dari
Jakarta sebagaimana diklaim Kejati Papua saat itu maka menjadi soal yaitu bilah ijin tersebut tidak pernah ada, secara yuridis mengapa bisa ada out-put penyelidikan mengenai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi, sebab
keadaan tersebut terkesan menandakan bahwa ke-44 atau 42 Pejabat DPR PB
benar-benar telah menjalani proses pemeriksaan sebagai seorang saksi ataupun
terlapor dalam perkara tindak pidana korupsi APBD Propinsi Papua
Barat.
Peristiwa
kedua,
yaitu soal perijinan pemeriksaan ke-44
atau 42 pejabat DPR – PB itu sendiri, secara factual pengertian (definisi)
ijin pemeriksaan sebenarnya tidak pernah di atur secara formal
dalam
berbagai produk perundang-undangan nasional Indonesia. Mengapa
harus ada istilah ijin?, hal ini sangat menyesatkan masyarakat, Menurut surat Edaran Kejaksaan Agung Republik
Indonesia No. R-86/F/F.2.1/01/2005 telah disampaikan petunjuk pimpinan Kejaksaan Agung RI pada point 1 bahwa “
tindakan penyelidikan, penyidikan dan penahanan terhadap anggota DPRD
berdasarkan pasal 106 ayat (4) UU No. 22
tahun 2003 tentang Susduk MPR/DPD dan
DPR/DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, “tidak perlu”dimintakan
persetujuan tertulis terlebih dahulu kepada Presiden atau Kemendagri dan atau
kepada Gubernur.
Bertolak dari
rumusan surat edaran tersebut maka kepastiannya soal perijinan pemeriksaan yang
diwacanakan oleh Kejati Papua sepanjang tahun 2011 sampai dengan tahun 2012
adalah klaim sepihak yang justru merusak berbagai asas – asas hukum acara
pidana terutama asas persamaan dimuka hukum, asas peradilan cepat dan atau juga
asas kemandirian dan independensi kekuasaan judikatif.
Masalah perjinan
melalui kemendagri ini diungkap oleh pihak Kejati Papua pada tahun 2011 saat
itu dijabat oleh Leo R.T Panjaitan, SH. MH, tentunya menuai pertanyaan terhadap
rezim Leo R.T Panjaitan sebab pasca terjadi rotasi, Kejati Papua yang saat ini dijabat
oleh Eliezer Sahat Manurung, SH kasus korupsi DPR PB mendadak mendapati
perhatian dan diproses secara cepat dan tepat tanpa melalui birokrasi yang
berbelit-belit, seyogyanya penegakan hukum tindak pidana korupsi memang telah
mengutamakan proses yang singkat. Kita bias mengetahi bahwa menurut Surat
Edaran Kejagung No. R-86/F/F.2.1/01/2005 telah menegaskan bahwa tidak perlu ada
ijin dari Kemendagri terkait pemeriksaan anggota DPR – PB adalah tepat, “surat
edaran tersebut hanya mewajibkan Kejaksaan untuk melapor ke pihak Kemendagri
dalam waktu 2 X 24 jam apabilah telah melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penahanan terhadap anggota DPR PB”.
Peristiwa ke-tiga yaitu
adanya “pengembalian kerugian Negara”
atau kasus korupsi Rp. 22 Milyar telah dikembalikan ke khas Negara atau BUMD
Propinsi Papua Barat, PT PADOMA. Terkait pengembalian kerugian negara, Pasal 4
UU No. 31 tahun 1999 dan yang telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 dinyatakan
antara lain bahwa “pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud pasal 2 dan pasal 3 UU tersebut.Kemudian, di dalam penjelasan
pasal 4 UU 31/1999 dijelaskan sebagai berikut:“Dalam hal pelaku tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi
unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak
pidana tersebut.“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Berdasarkan
pernyataan Tersangka Marthen Luther Rumadas, hingga pertengahan 2012, uang
pengembalian pinjaman telah mencapai Rp 17 miliar dari total pinjaman Rp 22
miliar, uang ini dikembalikan langsung ke khas Perusahan PADOMA. Pengembalian
tersebut wajar sebagai itikad baik, namun menuai kritik. Secara pribadi saya
sependapat dengan Pak Yan Christian Warinussy yang mengatakan bahwa “Kejaksaan
jangan sekedar jual jamu belaka, sebab kasus ini [DPR-PB] sudah ditangani lama
namun tidak pernah maju-maju, hingga secara perlahan-lahan kerugian Negara
dikembalikan hingga lunas.
Dikuatirkan nanti rakyat justru memandang bahwa proses kasusnya sengaja
diperlambat oleh Kejati Papua, agar para anggota dan pimpinan DPRPB
diselamatkan lebih dahulu karena sudah mengembalikan pinjaman uang. Kemudian
diproses hukum hanya sebagai sandiwara saja”.
Berkaitan dengan pengembalian kerugian Negara, merujuk pada Surat Edaran Jaksa
Agung RI Nomor : 003/2010 tentang Pedoman Penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang
menegaskan bahwa “tersangka yang mengembalikan kerugian Negara tidak ditahan”
adalah fakta bahwa kasus DPR – PB memperoleh indikasi yang di-setting ke arah tersebut. Keadaan ini
sesungguhnya mengecewakan, penilaian kritis seperti ini “pengembalian kerugian
Negara dilakukan oleh pejabat (DPR PB) aktif tentu sangat berpotensi
menciptakan deal–deal tertentu yang
dapat mempengaruhi proses dan Penyelidik dan Penyidik miliki posisi tawar yang
kuat untuk mempengaruhi ke arah mana deal
akan disettinguntuk menguntungkan
kedua belah pihak.
Berdasarkan
uraian peristiwa di atas inilah yang kemudian menurut pendapat pribadi saya
adalah ujian the test for the corruption
case bagi Kejati Papua maupun Kejari Manokwari guna membuktikan komitment
penegakan hukum tindak pidana Korupsi. Integritas dan komitment tersebut adalah
harapan semua pihak diwilayah Papua Barat, kasus ini selalu menjadi tanda tanya
publik, mengingat kasus ini melibatkan BUMD Propinsi Papua Barat PT PADOMA,
melibatkan APBD sebagai uang rakyat, melibatkan pihak yang dipilih dan
dipercayakan rakyat sebagai wakilnya di parlement Papua Barat. Penilaian
sederhana bahwa kasus ini telah melibatkan pejabat elit milik rakyat yang akan
mencalonkan diri kembali pada pemilu mendatang, kasus ini juga melibatkan para
pejabat perusahan daerah yang baru dilantik pada 17 Juli 2013 lalu
masing-masing Direktur Utama PT PADOMA, Ir. Marthen Luther Rumadas dan Direktur Pelaksana (Operasional) PT PADOMA H.
Mamad Suhadi inilah fakta yang menarik simpati luas masyarakat di wilayah
Propinsi Papua Barat untuk selalu aktif
mengiktui perkembangan kasus ini akan dibawah ke mana ? Apakah kasus ini adalah
cara alam untuk menjelaskan mengapa Propinsi Papua Barat memperoleh rangking
ketiga indeks korupsi terbesar di Indonesia ? segenap public di wilayah kepala
burung Papua Barat juga menanti persidangan kasus ini, dengan harapan
keberpihakan proses hukum terhadap keadilan dan kebenaran.
Kasus DPR PB
adalah ujian bagi kejaksaan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pemerhati
penegakan hukum tindak pidana korupsi di wilayah Propinsi Papua Barat.
Resource : Personal Artikel
Artikel
ini telah dipublikasi dan dapat diakses pada link website :