Sejumlah Anggota DPR PB (Doc: Pribadi) |
Sekitar 42 Anggota DPR PB Saat ini telah
dipastikan secara resmi oleh Kejaksaan Tinggi Papua sebagai status tersangka.
Anggota DPR PB ini adalah pejabat wakil rakyat Propinsi Papua Barat hasil
pemilu legislatif untuk masa Periode 2009 – 2014. Secara keseluruhan terdapat
44 anggota DPR PB, namun sementara itu kedua orang lainnya telah meninggal
dunia.
Dengan demikian maka ke-42 anggota DPR PB sisanya adalah tersangka dalam kasus korupsi APBD Propinsi Papua Barat tahun
2010.
Penetapan status
sebagai tersangka ini telah berlangsung semenjak tahun 2011 lalu, Kejati Papua
pada waktu itu memastikan dan mempublikasikan di media massa bahwa “telah
terjadi tindak pidana korupsi” melalui anggaran yang mengalir dari khas BUMD
Propinsi Papua Barat, PT PADOMA[3]
kepada segenap pimpinan dan anggota DPR PB”. “Kurang lebih Rp. 17 Miliyar dan
sekitar Rp. 5 Miliyar lainnya yang merupakan biaya APBD Papua Barat tahun 2010
sampai 2011 lalu”, anggaran tersebut kemudian mengalami penyimpangan yang
diduga dilakukan oleh Dirut PT Padoma saat itu,
H. Mamad Suhadi serta Mantan Sekda Papua Barat Ir. Marten
Luther Rumadas, M.Si” dan segenap Pimpinan dan anggota DPR – PB.
Akibatnya, Negara mengalami kerugian yang ditaksir secara keseluruhan
sekitar Rp. 22. Miliyar rupiah.
Walaupun versi penyelidik Kejati Papua “terjadi tindak pidana korupsi sekitar pertengahan Juli 2011 silam oleh DPR – PB”, kasus ini kemudian dibiarkan dan meredup sekian waktu dari tahun 2011 sampai dengan 2013. Hal ini (kasus, red) bagaikan sebuah rumor yang berkembang ditengah-tengah masyarakat tanpa pengungkapan yang berpihak pada keadilan dan kebenaran penegakan hukum alias kasus ini mungkin hanya alibi belaka dari Kejati Papua maupun Kejari Manokwari.
Kala itu terekam
bahwa terdapat dua wacana yang berkembang terhadap perkembangan penyelidikan
kasus DPR PB, Pertama Kejaksaan sebagai penyelidik mengklaim bahwa telah
mengirimkan surat terkait ijin pemeriksaan pejabat publik ke pihak Kemendagri,
“penundaan (kelambatan) pemberian ijin” adalah hal yang mana saat itu
menghambat proses pemeriksaan ke-44 anggota DPR PB. Dan yang Kedua,
sebagai justifikasi tambahan, Kejaksaan kemudian memberi statetment bahwa
“perijinan dari Pemerintah pusat (Kemendagri, red) terhadap pemeriksaan pejabat DPR PB akan segera keluar pasca
Pemilukada Propinsi Papua Barat tahun 2011”. Alhasil pasca Pemilukada, Gubernur
dan Wakil Gubernur Propinsi Papua Barat dilantik tidak pernah terjadi pemeriksaan terhadap pejabat DPR-PB. Dari kedua wacana
tersebut mungkin saja benar dalam tanda koma, mengingat Kemendagri sebagai
otoritas yang melantik pejabat Kepala Daerah terpilih (Gubernur dan Wakil
Gubernur Papua Barat, red) tentu
tidak mungkin dengan gegabah mengabulkan permohonan pemeriksaan pejabat DPR –
PB yang nantinya menggelar rapat paripurna pelantikan Gubernur dan Wakil
Gubernur Papua Barat. Dan faktor lainnya, masa bakti Kepala Daeraah Propinsi
Papua Barat Periode 2011 – 2016 telah terlewati setahun, tentunya kasus DPR PB
harus diminimalisir sesegera mungkin agar tidak sampai mempengaruhi proses
persiapan pelantikan.
Josef. Y. Auri Ketua DPR PB (Foto: Pribadi) |
Secara politis,
riwayat kasus ini memang sebuah ironi mengingat “dimenasi politik mungkin turut
berandil”. Kasus DPR – PB selalu
bergolak bertepatan dengan political-moment
di Papua Barat. Berdasarkan catatan pribadi saya, kasus DPR – PB pertama
kali mencuat pada pertengahan Juli 2011, kala itu DPR – PB sedang sibuk dengan
agenda pembahasan kriteria calon kepala daerah orang asli Papua dan pengusulan
kandidat kepala Daerah Propinsi Papua Barat Periode 2011 – 2016. Keadaan ini
kemudian turut mempengaruhi bahkan terpolitisir hingga menyeret ke jalur hukum
para anggota DPR-PB yang nota-bene sebagai anggota partai pengusung kandidat.
Hal serupa pun akhirnya diduga berulang, bahwa Tahun 2014 adalah moment dimana para pejabat dewan akan
segera bersiap untuk mencalonkan diri kembali sebagai Caleg Periode 2014 – 2019
pada Pemilu 2014 mendatang.
Entahlah,
terlepas dari persoalan politik apabilah semua fenomena politik fakta maka
barangkali idealnya urusan politik tidak harus bercampur baur dengan urusan
hukum, untuk itu maka sangat penting dicermati locus dan tompus delicti terutama
waktu (tompus delicti) terjadinya
peristiwa kasus DPR – PB. Bilamana tujuannya untuk mendeskripsikan fenomena
hukum dan keadilan yang berpihak pada kebenaran. [Bersambung]
Resource : Artikel Personal