IST. Demokrasi |
Bintuni, PSU (Pemungutan Suara Ulang) melalui TPS Moyeba
dalam rangka Pemilukada Bupati dan Wakil Bupati Teluk Bintuni Periode 2015 –
2020 telah dilaksanakan dengan sukses, PSU ini berangkat dari amar putusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor 101/PHP.BUP-XIV/2016 pada amar pertama yang
menyatakan “Memerintahkan kepada Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten Teluk Bintuni, Propinsi Papua Barat untuk melakukan
pemungutan suara ulangPemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Teluk Bintuni
Tahun 2015 di TPS 01 Moyeba, Distrik Moskona Utara dalam jangka waktu 30 hari,
sejak putusan ini diucapkan”, Putusan Mahkamah untuk perselisihan
pemilukada Teluk Bintuni diputus pada 25 Februari 2016”.
Dari putusan Mahkamah diatas PSU Moyeba
berlangsung pada, 19 Maret 2016, atau pada hari ke-22 dari amanat putusan
Mahkamah yang memerintahkan PSU Moyeba dalam jangka waktu 30 hari.
Membuka kembali materi putusan Mahkamah terhadap
gugatan yang dilayangkan oleh pasangan Pietrus Kasihiuw dan Matret Kokop melawan
Komisi Pemilihan Umum Teluk Bintuni, salah satu konklusi mahkamah yakni berdasarkan
fakta persidangan Mahkamah “terjadi pelanggaran
berupa pencoblosan ganda yang dilakukan oleh ketua KPPS di TPS 1 Moyeba,
Distrik Moskona Utara”. [Konklusi 4.5 :amar putusan]
Pada 19 Maret 2016, di TPS 01 Moyeba, PSU
berlangsung dengan suatu system yang
diklaim menggunakan nama masyarakat adat yakni kesepakatan atau “noken”, dalam
system ini sekitar 534 surat suara yang dicetak diduga dicoblos oleh kepala
suku Moyeba berinisial “SO dan Kepala Suku Moyeba Utara MO, saat itu ada
sekitar puluhan pemilih yang mendatangi TPS untuk menyalurkan hak suara
berdasarkan putusan mahkamah tetapi ditolak oleh KPPS.
Potret politik system pencoblosan noken ini tentu
bukan pelanggaran hukum seperti pada konklusi putusan mahkamah diatas, tetapi
ada fokus penting yang mestinya dijawab mahkamah pasca 19 Maret 2016 diatas.
Pertama siapa
pemilik nama dari DPT 534 untuk TPS 1 Moyeba ?,
Pemilik nama pada TPS 01 ini dalam konklusi amar
putusan Mahkamah, pada 25 Februari 2016 disebut telah terjadi pelanggaran
pencoblosan ganda dalam pengertian inferensi untuk konklusi yang benar adalah
pencoblosan sekali yang dilakukan secara langsung oleh pemilik nama pada DPT TPS
01 Moyeba, “ketika pencoblosan telah dilakukan oleh pemilik nama pada DPT
tetapi terjadi pencoblosan ulang/ganda maka disitulah pelanggaran”,
sesungguhnya ada dua (2) pelanggaran yang dapat dianalisa secara awam,
pelanggaran pertama, pencoblosan dilakukan oleh pihak yang tidak legal
sebagaimana amanat undang-undang No. 1 tahun 2015 tentang Pemilukada terutama
pasal 89 ayat (2) pemberian suara dilakukan oleh pemilih dan pengertian pemilih
dari undang-undang yang sama menurut pasal 1 angka 6 disebut pemilih adalah penduduk
yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah pernah kawin yang terdaftar
sebagai pemilih di dalam DPT.
Dan pelanggaran kedua, pencoblosan
dilakukan ganda terhadap pemilik nama DPT, tidak ada didalam undang-undang
Pemilukada yang mengatur pencoblosan dilakukan lebih dari satu kali selain
surat suara dianggap tidak sah apabila mencoblos lebih dari sekali, pencoblosan
ganda pada TPS 01 Moyeba pada 9 Desember 2015 adalah pencoblosan yang membuat
surat suara tidak sah melalui tindakan pencoretan form C-1 KWK.
Kedua,
apa dasar penggunaan kesepakatan alias noken pada pemilukada TPS 01 Moyeba ?
melihat ke belakang, pada 9 Desember 2015
sebelumnya, Pemilukada berlangsung serentak di seluruh Teluk Bintuni dan tidak
pernah ada satu TPS pun yang memakai system kesepakatan atau noken. Pada 9
Desember 2015, Peserta pemilih justru mendatangai TPS 01 moyeba dan menyalurkan
hak suara, hasil perolehan suara menunjukan pasangan nomor urut 2 memperoleh
126 suara dan pasangan nomor urut 3 memperoleh 405 suara dan pasangan nomor
urut 1 tidak memperoleh suara.
Fakta kemudian berbanding terbalik pada 19 Maret
2016, pencoblosan atau PSU berdasarkan amar putusan Mahkamah dilakukan melalui
kesepakatan adat (noken) yang kemudian diwakilkan oleh kepala suku moyeba dan
moyeba utara untuk mencoblos sekitar 534 surat suara pemilih yang kemudian
memenangkan pasangan nomor urut 3 seratus persen.
Menguji dasar penggunaan kesepakatan noken tentu
menjadi tanda tanya besar pada penerapan hukum konstitusi di mahkamah, system kesepakatan
adat, noken bukan pencoblosan ganda seperti yang tertuang dalam konklusi
putusan mahkamah 25 Februari 2016 lalu. Lantas Mahkamah sebaliknya memutus agar
dilakukan PSU dalam kurun waktu 30 hari supaya dilakukan PSU di TPS 01 Moyeba, definsi PSU disini akan merujuk pada undang-undang
No. 1 tahun 2015 tentang Pemilukada terutama pasal 89 ayat (2) pemberian suara
dilakukan oleh pemilih dan pengertian pemilih dari undang-undang yang sama menurut
pasal 1 angka 6 disebut pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17
tahun atau sudah pernah kawin yang terdaftar sebagai pemilih di dalam DPT,
dengan demikian untuk melaksanakan amar putusan MK sejatinya baru hanya ada
dua (2) surat suara yang tercoblos pada
19 Maret 2016 di Moyeba, 1 surat suara dari Kepala Suku berinisial SO dan satu
surat suara lainnya dari MO tercoblos, lalu diapakan 532 surat suara TPS 01
Moyeba pada 19 Maret 2016 ?
Mengapa tidak ada kesepakatan adat Noken untuk 9
Desember 2015 lalu ?
Kalau seandainya TPS 01 Moyeba telah ada
kesepakatan adat atau noken untuk menentukan pilihan, mengapa KPU Teluk Bintuni
harus menganggarkan dana pemutakhiran data pemilih untuk Moyeba, mencetak surat
suara untuk Moyeba, menyelenggarakan pemilihan langsung di moyeba dengan
anggaran yang termahal di Indonesia, bukankah ini tindak pidana korupsi ??
pertanyaan selanjutnya, mengapa yang terjadi pada 9 Desember 2015 justru
pencoblosan ganda bukan kesepakatan adat noken ? jika kesepakatan adat memang
ada, entah sebelum 9 Desember 2015 atau sebelum 19 Maret 2016 mengapa KPU tidak
diberitahukan agar menjadi pengusulan ke KPU RI Jakarta agar diakomodir dalam
undang-undang, atau negara justru gagal dalam mengakomodir kearifan lokal untuk
membentuk regulasi yang demokratis mengakomodir kepentingan rakyat.????..
dan terakhir yang penting untuk eksistensi masyarakat adat, mengapa hanya ada kesepakatan Noken untuk TPS 01 Moyeba sementara TPS di Kampung Mosum, Inofina dan Merestim tidak ada system Noken, padahal Kepala suku SO dan MO toh punya masyarakat juga di wilayah itu yang terdaftar dalam DPT. menanti jawaban MK, untuk PSU Moyeba.***Black_Fox
Posting ini diolah dari hasil analisa berbagai sumber, hanya untuk kepentingan pengetahuan dan bukan kepentingan politik.