WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Senin, Juli 22

Freeport : Bisnis Orang Kuat VS Kedaulatan Negara




Penulis                                  Fredy Hasiman
Penerbit                                PT Kompas Media Nusantara
Jumlah Halaman                350
Tahun Pertama Terbit       2019
Harga (Pulau Jawa)            Rp. 95.000

Kontroversi Freeport MacMoran (FCX) yang mengoperasikan pabrik tembaga dan emas di Timika boleh dikata berkelas, lihat saja berbagai fakta dan bukti telah menyingkap pelibatan tangan-tangan kuat di proses operasi proyek ini, mereka makin kuat ketika sangat lihai menilai kelemahan hukum, membaca peta perpolitikan Nasional, termasuk kekuatan dan kelemahan aktor Negara dan aparatur keamanan, para pebisnis pelat merah (BUMN/BUMD), pelat kuning (BUMS) dalam Negara mereka sanggup kondisikan untuk senyap sembari mendukung laju proyek tambang di Grasberg.

Tangan-tangan kuat dibalik bisnis Freeport ini jauh sebelumnya diungkap paling sempurna oleh Greg Polgrain (baca buku : Bayang bayang intervensi perang siasat John F. Kenedy dan Allen Dulles atas Soekarno/ diterjemahkan dari the incubus of intervention). Mulai dari Soeharto bertaktah sampai pada Jokowi dalam tanda petik, Freeport terlampau kuat untuk ditaklukan. Kalau Negera dengan kuasa dan kekuatan tidak cukup mampu tundukan Freeport, apalagi penduduk sipil Papua.

Freeport di Tembagapura sebelumnya berdasar Kontrak Karya I (1967), mengoperasikan tambang open-pit dilokasi yang namanya Ertsberg,  Selepas penandatanganan Kontrak karya II (1997), tahun 2004 Freeport berpindah dari Ertsberg dan membangun infrastruktur pendukung untuk memulai proyek di tambang bawah tanah underground Grasberg, seperti Block Cave/Big Gosan, Deep Mill Level Zone (DMLZ) dan Deep Ore Zone (DOZ). Kontrak karya II ditaksir berakhir 2021, sejauh ini pihak Freeport masih berniat melanjutkan kontrak. CEO Freeport, Richard D. Adkerson mengaku tambang Grasberg adalah tambang paling profitable di dunia setara dengan tambang Ok Teddy milik Rio Tinto di Papua New Guinea.   

Freeport, Bisnis Orang Kuat VS Kedaulatan Negara yang diungkap penulis melalui buku ini “menyingkap artikel artikel penulis yang pernah diterbitkan ke harian Kompas, sementara lainnya penulis (Fredy Hasiman) menyebut melakukan riset langsung ke Tembagapura dan menjumpau secara langsung beberapa tokoh dari masyarakat pemilik hak ulayat Amungme- Kamoro”.

Secara umum buku ini menyingkap Bab Bab penting diantaranya, Freeport sebagai raksasa TNCs/Transnational Coorporations (Bab I). Pada bab ini pembaca diantar untuk membandingkan kekuatan kejayaan Freeport MacMoran.Inc sebagai raksasa TNCs dibidang produksi tembaga dan emas dunia mula dari Morenci, Sieritta, Safford dan Miami (Amerika Utara), Di Meksiko Freeport beroperasi di Chino dan Tyroone, di Peru Freeport menambang tembaga dan emas di Cero Verde, lalu Di Chile menambang di El Abra. Pindah ke Afrika, di Kongo Freeport mengoperasikan Tenke Fungurume Mining, untuk menambang tembaga disana. Dari kesemuaan operasi bisnis Freeport, data paling spektakuler yaitu emas Tembagapura menyumbang 94% untuk seluruh produksi emas dunia yang dihasilkan Freeport (Hal 6). Papua di dalam Indonesia benar – benar dibuat tidak berdaya, Freeport mengambil untung sebesar itu tidak seimbang dengan penerimaan rakyat Papua, dari simpulan ini sangat menarik masuk ke bab ke-II buku ini yang mengulas Freeport Berjaya di rezim lemah.

Pada Bab kedua itu, menyingkap sejarah masuknya bisnis Freeport ke Papua yang pernah ditulis Greg Poulgrain, Allen Dules agen CIA yang juga mengabdi pada standard oil milik keluarga Rockefeler berandil besar merebut Ertsberg dan Grasberg.  Ada fakta menarik di Bab ini yaitu “Undang undang no. 11 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dirancang korporasi asing untuk melegitimasi proses KK (Kontrak Karya) I Tahun 1967” (Hal 28),  tugas Soeharto dan Negara disimpulkan hanya penjaga malam, memastikan KK itu aman dan nyaman melalui kekuatan Negara, Ini investor nekad, Irian Barat saat itu bukan wilayah kedaulatan Indonesia melainkan harus ditentukan melalui Pepera (act of free choice) dua tahun kemudian atau tahun 1969,  kalau balik ke buku bayang-bayang intervensi, tentu Pepera hanya formalitas belaka yang tidak punya keterkaitan dengan kedaulatan Indonesia atau Papua, melainkan Pepera hanya akal-akalan AS yang tidak setuju Belanda mendukung Irian Barat merdeka. 

Di Bab ketiga, Freeport dan bisnis orang kuat. Apa yang dimaksud orang kuat dalam buku ini yaitu mereka yang miliki akses langsung ke pengambil kebijakan (policy-maker) di istana, dan menjadikan istana bagian dari koorporasi, pada level demikian otomatis aparatur keamanan menjadi alat bisnis bukan alat Negara. Lihat bagaimana insiden kekerasan yang berdarah-darah terus terjadi terhadap masyarakat Amungme – Kamoro untuk mengatasi perlawanan mereka, pada tahun 1971 January Agreement dibuat Freeport agar berkelakuan baik kepada masyarakat, namun fakta tidak berakhir, kekerasan akibat abuse of power aparatur keamanan Pemerintah kepada masyarakat Amungme dan Kamoro terus terjadi tanpa ada pertanggungjawaban keadilan bagi korban. Anda juga bisa melihat, semakin kokohnya orang kuat di kubuh Feeport dan Negara Indonesia, pasca KK I akan berakhir, KK II kemudian disodorkan dengan materi kontrak yang sama tidak berubah, kecuali waktu yang mungkin diubah. KK II ditandatangani tahun 1991 meskipun KK I akan berakhir 30 tahun atau tepatnya tahun 1997.

Selepas Soeharto turun dari Presiden tahun 1998, Presiden berikutnya Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY tidak sanggup berbuat banyak memaksa Freeport tunduk pada ketentuan hukum Negara Indonesia. Mengapa perlu tunduk pada hukum Indonesia? Jawabannya, pertama; UUD 1945 mengamanatkan “bumi, air dan segala kekayaan alam di dalamnya dikuasai Negara, dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”, perhatikan kalimat dikuasai Negara, artinya materi kontrak (KK I dan KK II yang sudah ditandatangani Freport) tidak seharusnya menempatkan posisi korporasi setara dengan Negara, semestinya dibawah Negara agar tidak terjadi penguasaan kekayaan alam nasional. Kedua; UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba yang mengamantkan pemerintah dengan berpayung pada undang-undang perlu segera mengubah setiap kontrak karya menjadi Ijin usaha Pertambangan (IUP)/Ijin usaha pertambangan khusus (IUPK) untuk tambang yang bernilai strategis bagi Pemerintah. Tuntutan ini yang dikejar habis-habisan oleh rezim Jokowi diperiode pertama kepemimpinan, lihat bagaimana kasus “Papa minta saham” yang menyeret nama Setya Novanto (mantan Ketua DPR RI) itu pecah, kinerja menteri ESDM Sudirman Said yang dianggap kurang memuaskan diresufle, dan Jokowi menunjuk Ignasius Jonan yang diklaim penulis buku ini sangat jeli dan taktis melawan orang – orang kuat dipihak Freeport.

Masuk ke Bab IV membahas “konversi KK menjadi IUPK”, sekali lagi, ini jelas perintah undang-undang Minerba, KK wajib diubah menjadi IUPK. Menurut UU Minerba IUP dikeluarkan Gubernur, Bupati/Walikota akan tetapi IUPK melalui Presiden. Di halaman 130 buku ini penulis mengurai hal terkait konversi KK.

Sejak tahun 1991 KK jilid dua ditandatangani, Freeport makin kuat dan ganas menggunakan KK ini menghadapi Pemerintah termasuk rakyat Papua, misalnya Freeport menggunakan air sungai  Aghwagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimoe menjadi tempat pengendapan tailing (residu tambang), dampaknya mencemari dan menghacurkan dengan parah air sungai. Di Tahun 2017, Pemprov Papua sebagai korban mencoba menggunakan Perda No.4 tahun 2011 tentang pajak atas air permukaan menuntut Freeport mendenda 5,6 triliun kerusakan air sungai ini sampai ke Pengadilan pajak dan Mahkamah Agung RI, namun tetap saja hasilnya kalah Pemprov Papua. Permasalahan ini dikondisikan diam usai hebohnya rencana renegosiasi KK ini dan ada niat 10% saham Freeport akan dimiliki Papua (entah Propinsi atau Kabupaten Timika), inipun dapat terkabul jika seandainya keinginan Jokowi 51% Freeport terjadi proses divestasi.

Perjalanan rencana konversi ini mengalami jalan berliku, antara Ignasius Jonan (Menteri BUMN saat ini) Vs Richard C. Adkerson CEO Freeport McMoRan Inc. saya sendiri menyimpulkan dari buku ini berdasarkan klausul renegosiasi Kontrak Karya yang paling menjadi inti polemik antara lain :

·         Kewajiban mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK (Bab V)

Ini jelas perintah Undang undang Minerba, KK wajib diubah menjadi IUPK, hal demikian merupakan perintah konstitusi/UUD 45 yang mengamantkan “pertambangan strategis dikendalikan Negara untuk kesejahteraan rakyat”. Mengacu pada durasi waktu berlaku KK jilid dua sampai 2021, maka ditahun itu operasi Freeport di Grasberg sudah menggunakan dasar hukum IUPK. Keberadaan IUPK akan menempatkan Freeport yang selama ini sejajar dengan Pemerintah turun menjadi rendah derajatnya dibawah kontrol Pemerintah RI 100%. Richard Adkerson, CEO Freeport sempat keberatan dan berdalih “Freeport tetap berpegang pada KK tahun 1991 yang lebih memberi kepastian hukum untuk berinvestasi” misalnya ada klausul dalam KK yang menyebutkan bila kontrak berakhir otomatis berlaku/diperpanjang selama 2 x 10 tahun lagi, dan IUPK dianggap merugikan Freeport karena pungutan harga pajaknya tidak tetap, melainkan mengikuti aturan pajak yang berlaku (prevailing) hingga kontrak berakhir (naildown)”. Rezim Jokowi menegaskan, “setiap perusahan tambang pemegang IUP/IUPK yang berhak mengekspor hasil”, jika Freeport tidak mau mengonversikan KK menjadi IUPK maka Freeport dilarang mengekspor konsentrat ke pabrik tembaga Freeport di Spanyol, Atlantic Copper atau ke Arizona, Miami.  

·         Kewajiban (Freeport) mendivestasikan 51% saham menjadi milik nasional

Sejauh ini di Grasberg, Freport mengontrol 54,38% saham, Indonesia mengontrol 5,62% saham dan Rio Tinto mengontrol 40%. di tahun 2015 Freeport baru bersedia melepas 30% saham atau 20,64%, proses dilakukan dua tahap, namun Freeport menjual diharga yang mahal, saham 10,67% dipatok tarif US$ 1,7 Miliar, bagi pemerintah harga ini tidak rasional, hitungan Pemerintah seharusnya diharga US$ 630 juta, tetapi Freeport hitungannya sampai 2041 padahal 2021 KK berakhir seperti hitungan pemerintah. Tim ekonom Jokowi menyerukan pemerintah mengakuisisi 40% kontrol Saham Rio Tinto yang kebetulan akan dilepas, faktanya 40% itu bukan saham melainkan disebut Participating Interest/PI ini semacam hak partisipasi Rio Tinto untuk terlibat melakukan operasi proyek di Grasberg kemudian menerima keuntungan 40% hasil produksi. Di 12 Juli 2018 akhirnya BUMN Pemerintah melalui PT. Indonesia Asahan Alumina (INALUM) mau menandatangani “Head of Agrement” untuk beli bekas saham Rio Tinto. Pihak Pemerintah menegaskan tugas penting Freeport selanjutnya wajib mengkonversikan 40% itu menjadi saham sehingga tidak lagi disebut PI.

·         Keharusan Pembangunan Smelter di Indonesia (Bab VI) 

Ini lagi salah satu klusul yang menuai pro-kontra antara Freeport dan Pemerintah. Freeport dalam klausul renegosiasi didesak membangun Smelter di dalam Negri, agar memberi keuntungan tambahan untuk penerimaan Negara.  Selama ini dari hasil menguasai tambang tembaga dan emas diseluruh dunia, Freeport McMoRan Inc  memiliki tiga smelter masing-masing, smelter Miami (Arizona) melayani suplai produksi konsentrat dari benua Amerika, sementara smelter Atlantic Copper (Spanyol) melayani suplai produksi konsentrat dari Benua Afrika dan Asia, termasuk Grasberg (Papua). Di Indonesia baru PT Smelting Gresik yang melayani sisa sisa dari eksport konsentrat untuk dimurnikan di smelter Gresik. Keberadaan UU Minerba memaksa Freeport untuk tidak mengekspor konsentrat ke pabrik pemurnian di luar, Freeport diharuskan membangun smelter di Indonesia entahlah di Gresik atau Papua, ini belum clear sejauh ini.

Freeport baru bersedia membangun pabrik smelter itupun rencana di Gresik bukan Papua, alasannya ongkos lahan dan industri pendukung smelter di Gresik sangat berdekatan, ada pabrik pupuk dan semen di Gresik misalnya, tapi kalau di Papua, industri pendukung disebut tidak ada.

Saya menyimpulkan (diluar buku ini), saat ini harga semen CONCH/Semen Maruni (Manokwari) terlampau mahal, alasan investor (CONCH) terjadi kemahalan diakibatkan bahan baku pabrik yang didatangkan dari luar Papua Barat.  Jika begitu, kita sudah ada pabrik semen (CONCH), bila Pemerintah mendorong rencana pabrik pupuk di Kampung Onar (Teluk Bintuni) akhirnya smelter Freeport setidaknya dapat di bangun di Fakfak, Sorong Selatan atau Teluk Bintuni, sehingga berdekatan dengan industri pendukung smelter Freeport (kedua pabrik semen dan pupuk). Dengan demikian industri yang selama menopang pulau jawa maju dapat berpindah dalam mendukung kemajuan wilayah Propinsi Papua dan Papua Barat.       
   
Bab ketuju (VII) sebagai bagian terakhir diulas penulis yaitu “Freeport dan masa depan BUMN Tambang”. Tentunya BUMN PT. INALUM yang menjadi sorortan utama oleh penulis, INALUM selama ini bergerak dan menguasai tambang batu bara (coal), nikel, emas dan bauksit melalui anak usaha INALUM seperti, PT. Aneka Tambang, Tbk, PT. Bukit Asam Tbk, PT. Timah, Tbk. Di Papua dan Papua Barat, PT. Aneka Tambang sudah lebih dulu masuk ke Raja Ampat, memproduksi nikel di Pulau Gag, sementara ke Papua, Aneka Tambang beroperasi di temuan ladang emas Oksibil, Pegunungan Bintang. Keterlibatan INALUM di Grasberg tujuannya agar perusahan ini menjadi raksasa bisnis tambang, sehingga mampu meningkatkan sumber pendapatan dan penerimaan Negara.

Dibalik kesemuaan yang ada dalam buku ini, ada kelemahan yang mestinya ditegaskan penulis. Pertama; Penulisan buku ini terkesan politis ke pemerintah tanpa mempertegas pelibatan secara sengaja aparatur keamanan yang memicu berbagai masalah di areal Freeport dan Papua pada umumnya. Saya kira militer harus digongong agar tidak menjadi bagian langsung maupun tidak langsung dari koorporasi kaya sekelas Freeport. Kekisruhan keamanan tidak hanya terjadi di Kabupaten Mimika melainkan menyasar Kabupaten sekitar seperti Paniai dan Puncak Jaya. Freeport terlihat pandai sudah diungkap penulis, menyediakan dana gratifikasi ke petinggi aparatur keamanan dari Papua hingga Jakarta, lantaran temuan ini bukan bersumber dari APBN, institusi KPK dibatasi regulasi untuk menginvestigasi kasus gratifikasi.

Kedua; Kurang dipertegas soal smelter Freeport harus di bangun di Papua atau Papua Barat, pentingnya smelter di Papua akan menstimulasi Papua menjadi kawasan industri yang menguntungkan Papua akibat meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi.

ketiga; bagaimana jelasnya pembagian saham 51%, pemerintah Papua akan menerima berapa persen.?, apa jelasnya komitmen INALUM saat ini, jika seandainya Pemprov Papua memiliki BUMD yang sudah siap ongkos menampung misalnya jatah 10% dari 51% saham Freeport. Buku ini masih terkesan memandang orang Papua atau Pemprov Papua tidak mampu padahal itu kesalahan besar yang justru bertolak belakang dengan nawacita Jokowi yang berkomitmen membangun Papua.  

Manokwari, pertengahan juli 2019

Resensator/S. Banundi