WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Selasa, Januari 23

"Hidangan Sehat Di Dalam Piring Kotor"

 
Oleh : Yosef Rumasef

Hidangan Sehat Di Dalam Piring Kotor---
"Piramida terbalik kebijakan khusus Presiden bagi Papua.

Ringkasan bagian pertama dari dua tulisan.

Untuk kesekian kalinya Pemerintah Pusat meluncurkan paket kebijakan khusus (selanjutnya saya singkatkan Jaksus) untuk mempercepat pembangunan kesejahteraan Di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2017 tanggal 11 Desember 2017. "Jaksus" baru itu memperpanjang dafatar "Jaksus" sebelumnya yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati, Presiden SBY selama dua periode dan kini Presiden Jokowi.

Makin lama, jumlah "Jaksus" makin banyak lalu membentuk pola seperti piramida terbalik. Piramida terbalik "Jaksus" bagi Papua itu menjadi indikasi bahwa belum ada satupu "Jaksus" yang diyakini pemerintah Pusat menjadi solusi efektif bagi pembangunan kesejahteraan baik di Propinsi Papua maupun di Propinsi Papua Barat, dugaan ini logis karena jika "Jaksus" sebelumnya telah menjadi solusi efektif maka tentu tidak perlu diterbitkan serangkaian "Jaksus" berikutnya.

Ketika ulasan ini saya buat, Indonesia digemaprkan oleh berita kematian massal di Kabupaten Asmat, Yahukimo, dan-lain lain akibat Gizi Buruk, Campak mallnutrisi dan lainnya. Lalu muncul pertanyaan sebenarnya langkah mendesak seperti apa yang  lebih mendasar untuk dilakukan Presiden selain menerbitkan Inpres

Piramida Terbalik "JAKSUS" Untuk Papua
Paskalis Kossay dalam tulisan di WA Group The Spirit of Papua berjudul "INPRES LAGI, JOKOWI MENGGEBU BANGUN PAPUA" menyebutkan empat kebijakan Jakarta yang bersifat khusus, ke-empat "Jaksus" itu adalah :

Pertama, pada zaman Presiden Megawati , mulai diberlakukan Otonomi Khusus dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (Selanjutnya disingkat UU Otsus) yang masih berlaku  sampai sekarang.

Kedua, pada zaman Presiden SBY, muncul Inpres No. 5 Tahun 2007 tentang New Deal for Papua 

Ketiga, masih di Zaman Presiden SBY, diberlakukan Perpres Nomor 65 dan 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat (UP4B).

Ke-empat, pada zaman Presiden Joko Widodo, di keluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Pembangunan Kesejahteraan Di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat.

Dalam catatan saya, Empat "Jaksus" diatas secara paralel sudah dan masih ditambah dengan pemekaran DOB (Daerah Otonom Baru)  baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang berimplikasi pada penambahan Kodam (Komando Daerah Militer) dan Polda (Kepolisian Daerah) baru juga ada pula kunjungan Presiden Jokowi minimal tiga kali dalam setahun ke Papua dan Papua Barat.

Alhasilnya perkembangan ini menambah panjang daftar "Jaksus" bagi Papua dan Papua Barat dengan beberapa item berikut : (tulisan hilang)

Kelima : dengan argumen manifest yakni kebijakan memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintah kita hanya bisa menduga adanya argumen lain yang bersifat laten---,secara Paralel baik di zaman Presiden Megawati, Presiden SBY maupun Presiden Jokowi, "Jaksus" ini ditambah dengan kebijakan pemekaran DOB baik Propinsi, maupun Pemekaran Kabupaten/Kota dari sebelumnya satu Propinsi yang terdiri dari 9 Kabupaten menjadi dua Propinsi yaitu Propinsi Papua menjadi 28 Kabupaten plus 1 Kotamadya dan Propinsi Papua Barat dengan 12 Kabupaten plus 1 Kota Madya.

Keenam : secara Nasional, Pemerintahan Presiden Jokowi sudah memberlakukan kebijakan moratorium penambahan DOB dengan alasan efisiensi anggaran Pemerintah. Namun khusus untuk Papua dan Papua Barat , Pemerintah merencanakan penerapan "Moratorium Terbatas". Dalam diskusi dengan Senator Marvin Komber, Bintuni 29 Oktober 2017, Ketua Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI itu menyampaikan bahwa "Moratorium Terbatas" hendak diberlakukan Presiden Jokowi dan efektif sebelum Pemilu 2019 itu akan mengakibatkan dibentuknya tambahan 25 DOB lagi di Tanah Papua. 

Propinsi Papua akan dimekarkan lagi menjadi tiga (3) Propinsi yaitu, Propinsi Papua, Propinsi Papua Selatan dan Propinsi Papua Tengah disertai tambahan 13 Kabupaten Baru. dan Propinsi Papua Barat dimekarkan menjadi dua (2) Propinsi yaitu Propinsi Papua Barat dan Propinsi Papua Barat Daya  dengan 10 Kabupaten Pemekaran.

Sebenarnya, total proposal penambahan DOB    yang diterima Pemerintah Pusat sebanyak 33 DOB namun menurut Senator Komber, Pemerintah Pusat hanya setujui tambahan 25 DOB.

Ketuju : Konsekuensi tambahan DOB tersebut maka Kodam, Polda dan turunya ikut dikembangkan dari 1 Kodam dan 1 Polda menjadi 2 Kodam dan 2 Polda plus turunanya di  29 Kabupaten/Kota Propinsi Papua dan 13 Kabupaten/Kota di Propinsi Papua Barat.

Dan kelak, jika "Jaksus Moratorium Terbatas" Presiden Jokowi direalisasikan, maka akan muncul lagi tambahan 3 (tiga) Kodam dan 3 (tiga) Polda dan turunanya sehingga secara keseluruhan akan ada 5 (lima) Kodam dan 5 (lima) Polda dan turunanya, (Kodim/Polres/Koramil/Polsek) Di lima Propinsi dan 65 Kabupaten/Kota se-Tanah Papua.

Kedelapan : Presiden Jokowi membuat "Jaksus" bagi Papua dengan berkunjung tiga kali dalam setahun ke Papua dan Papua Barat. Suatu kunjungan yang diharapkan mampu mendongkrak implementasi kebijakan pembangunan yang sudah digariskannya.

Tradisi Kegagalan Implementasi "Jaksus"
Sesungguhnya UU Otsus sudah merupakan landasan kuat bagi Pemerintah untuk membangun Papua, Undang-Undang ini merupakan komitmen Negara dimana diatur secara paripurna sasaran keberpihakan dan distribusi kewenangan Pusat - Daerah serta kapasitas pembiayaannya maupun program prioritasnya.

Namun kemudian diluncurkan lagi berbagai "Jaksus" yang tumpang tindih (over-laping) dengan amanat Undang-Undang Otsus. Muncul beberapa intisari masalah kegagalans secara susul menyusul ibarat tradisi yang diwariskan dari generasi kepemimpinan nasional satu ke generasi kepemimpinan nasional yang berikutnya.

Masalah pertama, UU Otsus belum diimplementasikan secara konsisten. Implementasi Otsus sejauh ini lebih dititikberatkan pada distribusi Jabatan untuk menjawab tuntutan "Hak kesulungan Orang Asli Papua" terutama untuk menduduki jabatan politis strategis, misalnya sebagai kepala Daerah dan Jabatan Politis lainnya serta dropping finansial ke Papua dan belum secara paripurna diimplementasikan pasal demi pasal

Masalah Kedua, muncul Inpres No. 5 Tahun 2007 untuk mempercepat pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan pembangunan SDM. suatu komitmen Negara yang tidak jauh beda dengan komitmen dalam UU Otsus. Namun gagal diwujudkan. mengapa gagal ? tidak ada evaluasi yang secara transparan bisa menjelaskan penyebab kegagalan implementasi Inpres ini.

Tapi, berdasarkan pengalaman kegagalan yang tidak jelas itu kemudian Presiden SBY meluncurkan lagi kebijakan baru untuk percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat, yaitu meluncurkan Perpres Nomor 65 dan 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat (UP4B). UP4B pola kerjanya bukan bersifat koordinatif melainkan dikendalikan oleh Badan tersendiri yang dibentuk dengan Perpres Nomor : 66 tahun 2011. Badan ini bertanggung jawab mengawal kebijakan presiden, merumuskan program aksi strategis , melakukan koordinasi dengan Kementerian / Lembaga dan dengan pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/ kota dipapua dan papua barat. Namun dalam pelaksanaannya tetap dihadang kendala. Menurut Paskalis Kossay, masalah utamanya adalah sulitnya koordinasi dan juga sikap resistensi dari pejabat pusat dan daerah. 

Masalah ketiga, kini Presiden Jokowi meluncurkan Inpres baru Inpres Nomor : 9 tahun 2017 tanggal 11 Desember 2017 tentang percepatan pembangunan kesejahteraan masyarakat papua di Provinsi papua dan Provinsi Papua Barat. Inpres ini menunjuk langsung peran para Menteri dengan uraian tugas sesuai bidang masing-masing. Menteri PPN dan Kepala BAPPENAS ditunjuk sebagai koordinator untuk mengkoordinir Kementerian / Lembaga Pusat dalam rangka mensinergikan penyusunan rencana aksi dan pembiayaan program percepatan pembangunan kesejahteraan masyarakat Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat sampai dengan tahun 2019. 

Inpres Nomor : 9 tahun 2017 ini dari konteks semangat dan arah kebijakannya persis sama dengan Inpres Nomor : 5 tahun 2007. Bedanya hanya pada rejim pemerintahan. Keberhasilan implementasi Inpres ini masih harus dibuktikan dalam kurun waktu tahun 2018-2019. Sesungguhnya tidak mudah menjalankan koordinasi tingkat menteri untuk mengimplementasikan program Presiden ini.
Jika tidak konsisten dan sungguh-sungguh membangun koordinasi antar Kementerian / Lembaga , kemungkinan besar semua rencana terbengkalai. Pada akhirnya kebijakan tersebut akan gagal. Masih harus dibuktikan.

Masalah keempat, kebijakan pemekaran wilayah pemerintahan dengan pembentukan DOB untuk memperkecil rentang kendali pelayanan pembangunan tidak berbanding lurus dengan kemampuan akses masyarakat terhadap hasil pembangunan, khususnya di bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi kerakyatan. Pemerintah membanggakan berbagai data pembangunan infrastruktur fisik (jalan, bandara, pelabuhan, dll) tapi angka IPM (Indeks Pembangunan Manusia) baik dari Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat tetap saja terendah se-Indonesia.

Penambahan DOB ini disertai pula secara paralel dengan pembentukan tambahan Komando Daerah Militer (Kodam) baru disertai turunannya serta Kepolisian Polda (Polda). Saat sekarang sudah ada 2 (dua) Kodam dan 2 (Polda) baru tetapi angka aksi kekerasan bersenjata tidak surut terutama di sekitar wilayah operasi investasi multinasional Freeport dan daerah pegunungan tengah. ***Black_Shark

Bersambung

Kampung Korido, 21 Jan 2018

Sumber : Posting Blog diakses dari akun Facebook yang bersangkutan setelah mengkonfirmasi ijin yang bersangkutan.
 
 

Rabu, Januari 17

“Dua Perempuan” Novel Hak Asasi Manusia Papua Barat

Cover Novel Dua Perempuan


Dua Perempuan”, Novel kedua yang ditulis Aprila R.A Wayar ini, bagi ku istimewah, sentuhan kalimat-demi kalimatnya amazing sangat larut, sangat mengantar, membuat suasana bathin rileks dan nyaman.

Membaca novel ini sangat mengisi ruang kepenatan dipikiran sebagai dampak padatanya aktifitas rutin kantoran, atau entahlah. maklum penggemar Novel.


“Dua Perempuan” Althariagna dari masa lalu dan Athena masa depan menjadi karya unik anak Negeri untuk bumi Papua Barat yang hampa atas Novel-Novel sastraovel.


Kisah –kisah ini penuh konten edukasi yang sangat memberi konstruksi pemikiran positif bagi kita dalam menjalani hari-hari yang penuh misteri bahkan kepalsuan perubahan sebagai dampak kebijakan yang pro kapitalis di rezim Otonomi Khusus Papua.


Aktifis pemula wajib miliki novel yang satu ini, tra laen..! untuk perkaya wawasan berpikir. ada banyak goresan Aprila mengenai peristiwa kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat mulai dari Arnold Ap, B-16 (Peristiwa bentrok Uncen berdarah 16 Maret 2006), Yuven Tekege saksi peristiwa itu turut membagi informasinya melalui goresan ini, Theys eluay, soal Pasar mama-mama Papua semua dikemas rapih dalam kisah perjalanan cinta “Dua Perempuan” yang dibumbui sang Yarid (Ikon jurnalis Tabloid Jubi yang meninggal dunia dalam kecelakaan tragis 2011 lalu) .


Ko tra kosong kawan, seperti kehabisan kata untuk mengomentari Novel ini. So pefect itulah kalimat singkat dan simple yang melintas dalam pikiran untuk karya ini. “awesome, good job, friend”.


Menunggu novel berikutnya yang sa dapat bocoran suda mo terbit.


Thank u sis 
Hope u success always, novelist woman.


Manokwari, suatu senja, awal Januari 2018
***Black_Shark


Selasa, Januari 9

"Protes Pribadi Perlakuan Rasialis Filep Karma"

Foto Doc. Pribadi
Mengawali tulisan ini saya teringat  buku "SEAKAN KITORANG SETENGAH BINATANG"https://banundisimon.blogspot.co.id/2015/06/resensi-buku-seakan-kitorang-setengah.html yang ditulis sendiri oleh Filep Karma sewaktu masih menghuni Lapas Abepura, kala itu (tahun 2015) saya mengutip buku ini ulang yang menurut saya pribadi (menyebut) secara resensi untuk buku tersebut. 

Bagi saya, dia seorang ikon pejuang untuk generasi tahun 1980an seperti saya, dia menulis dengan berani dan polos rasialisme rezim Indonesia terhadap Papua, dia seabagi korban ketika menulis ungkapan itu melalui buku. 

Pada November 2015, Filep Karma keluar dari penghukuman yang telah dijalani lebih dari 10 tahun atas tuduhan kejahatan Makar terhadap Negara, saya ingat betul pemberitaan saat itu mengulas pernyataan Filep Karma, DIPAKSA BEBAS, DARI PENJARA KECIL KE PENJARA BESAR. dan diapun benar-benar berada dalam apa yang patut untuk kita layaknya menyebutnya penjara. 

Filep Karma, ini sang ikon pejuang atau human rights defenders di Papua Barat, karena prinsip dia yang non-kekerasan dalam setiap tindakan, latar belakang ini Pemerintah Indonesia pun dalam UPR (Universal Periodic Review) dewan HAM PBB memperoleh recomended agar Filep Karma mendapati kebebasan dari ruang tahanan Pemerintah. 

Apa yang diungkap Filep Karma itu menjadi Fakta yang tidak terbantahkan bahwa ia harus free unconditionally, this is serously problem yang pengabaian oleh pemerintah. 

awal tahun baru 2018 ini, dia mendapati perlakuan yang seperti sudah dia sendiri menubuatkan sebelumnya "SEAKAN KITORANG SETENGAN BINATANG".

Goblok...!!
Bodoh ...!!
Monyet ..!!

Perkataan ini dilontar tanpa merasa bersalah oleh beberapa orang personil TNI AU di bandara Soekrano Hatta antara pukul 11.00 - 01.00 Wib (2 - 3 Januari 2018).  ini menjadi kado pahit tahun baru, padahal Jokowi baru saja beberapa minggu sebelumnya mengunjungi Papua barat, Jokowi berkomitmen tiga kali dalam setahun masuk ke Papua, apa yang dia, Presiden perbuat ? jika Filep Karma yang dia bebaskan melalui kebijakan remisinya bisa ditahan kembali sewenang-wenang oleh militer AU Indonesia. 

Militer sendiri tidak punya wewenang memeriksa sipil dalam hukum acara pidana, tetapi mengapa mereka tidak sedikitpun merasa itu (pemeriksaan Pin Bintang Kejora) bukan wewenang militer, melainkan Polri.

Sejauh ini KASAU TNI belum membuat pernyataan Maaf, apalagi memeriksa prajurit yang bertugas di Bandara malam itu, padahal kalau ada pernyataan maaf, ini bisa menjadi headline news media dalam dan luar Negeri.  

Fakta rasialisme ini belum juga tamat, dia rupanya tidak menulis masa lalu dalam buku SEAKAN KITORANG SETENGAH BINATANG, tapi rupanya dia menulis masa depan Papua Barat.  

Tulisan ini adalah protes pribadi, Negara harus berani untuk mengakhiri rasialisme ini kalau Izrael bisa ditentang mati-matian mengapa Papua Barat yang didepan mata diabaikan.***end/Black_Shark