WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Minggu, Oktober 27

Tahanan kota bisa ke Jakarta ? Edo Kondologit Bilang Diikat Di Monas


Tugu Monas
Manokwari : Sangat miris, jika membaca berita hari ini (Senin, 28/10/13) versi "Media Papua" harian lokal Manokwari yang merilis judul berita tentang "Anggota DPR-PB Ijin hadiri rapat di BKN Jakarta", Kepala Kejaksaan Negeri Manokwari Herman H. Harsono mengatakan, keberangkatan sejumlah anggota DPR-PB ke Jakarta untuk menunaikan tugas sebagai wakil rakyat.


"Edo Kondologit : Saya setuju, (Koruptor) dihukum mati, diikat di Monas, disaksikan oleh rakyat lalu ditembak"

Tunaikan tugas wakil rakyat ini sebenarnya pelemahan fungsi hukum yang paling buruk, dapat dimengerti secara sederhana bahwa sesungguhnya tugas wakil rakyat itu sangat jamak termasuk memberikan teladan sebagai wakil rakyat. Anggota DPR PB ini adalah tersangka dalam dugaan tindak pidana Korupsi APBD Propinsi Papua Barat senilai Rp. 22 Miliyar, sehingga mereka ini telah ditahan namun berkaitan dengan pertimbangan tugas-tugas sebagai pejabat publik (DPR PB) mereka kemudian ditangguhkan jenis penahanan mereka menjadi tahanan kota dengan diawasi oleh pejabat kejaksaan.

Seandainya mereka menunaikan tugas wakil rakyat, mereka harus punya itikad baik untuk memberikan teladan dalam setiap tugas mereka untuk segala situasi yang mereka hadapi. hal ini bukan soal mereka melarikan diri, merusak barang bukti atau mengulang tindak pidana sebagaimana persyaratan hukum acara pidana terkait penahanan, akan tetapi status mereka adalah konsekuensi untuk dilaksanakan tanpa kompromi. 

hal lainnya, apabila mereka akan berangkat ke Jakarta menghadiri pertemuan BKN, sesungguhnya pertemuan ini bisa terwakili dua orang, sebab dari ke-42 pejabat DPR PB yang tersangkut masalah korupsi, ada dua pejabat DPR PB yang tidak tersangkut kasus korupsi. Perjalanan mereka, adalah perjalanan yang merendahkan martabat hukum, ini tentu menjadi ukuran untuk bisa menebak ending dari proses hukum mereka akan seperti apa di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Papua Barat. keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi di daerah secara factual tidak pernah memberikan efek jera, hal ini membuat saya juga sepakat dengan artis Nasional asal Papua Edo Kondologit yang mengatakan bahwa, Koruptor digantung di Monas lalu ditembak.http://tabloidjubi.com/2013/10/13/edo-kondologit-koruptor-digantung-di-monas-lalu-ditembak/ karena kedaulatan hukum sudah menjadi lemah bagi kalangan elit dan sangat tajam luar biasa bagi masyarakat, terutama orang Papua.   

Arsip Pribadi



Kamis, Oktober 24

A Report detailing series of abuses in 1977 – 1978 in Papua is launched

                                                                                              For Immediate Release

west papua taken from googlemap
Hong kong/Wupertal, Thrusday, 24 October 2013, The Asian Human Rights Commission (AHRC) and Human Rights and Peace for Papua (ICP) are launching a report on the human rights abuses that took place in the central highlands of Papua, Indonesia during the course of 1977 – 1978. The report discusses violation under the Conventiom on the Prevention and punishment of the Crime of Genocide and aims at truth-building. The report, wich was concluded after three three years of research by the AHRC, reveals the death of over 4,000 indigenous Papuans, including minors, as a result of operation conducted by the Indonesian military in the area.

Amongst those who were killed were onfants and children, 10 years-old and younger as well as elderly persons aged over 60. The methods of killing commonly used by the military at that time include aeriel boombings and strafing by America-supplied OV-10 Bronco planes.

In addition to reveling the details of the murdered victim, the report narrates the stories of survivors who witnessed the brutality and inhumane treatment perpetrated by the Indonesian military at that time. An interviewed survivor, Reverend Wenda (not his real name) shared his experience in witnessing the Indonesian military officers forcing the elderly Papuans to consume their waste. Another victim narrated how the arrested Papuans were forced to stand in line in a field before being shot indiscriminately by the Indonesian military. The victim himself managed to survive by pretending to be dead.

Sexual violence against Papuan women is also reported to have been common during the military operation around the Central Highlands between 1977 – 1978, as described by one of the interviewed female survivors : Breasts of some women were cut and they died. We were raped, abused and killed.. Some women were only raped but others were raped and murdered.
The AHRCE argues that the series of atrocities described in the report amounts to genocide as defined by the Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide adopted by the United Nations General Assembly in 1948. The Hong kong based organization claims that the horrendous human rights violation are attributable to high rangking officials of the Indonesian military at that time, including the former Indonesian president, General Soeharto.

Director for policy and Programme Development af AHRC, Basil Fernando, states that, “The Publication of the report is aimed at rising awarnesess amongst the general public, particularly in Indonesia, on the history of violence in Papua.

The report is available for download in English and Indonesian here :


Resoucre : this information received from AHRC groups emails


"Karena Mas Kawin, Ronald Fonataba Di Penjara"

Terdakwa Ronald Fonataba. Foto. Pribadi
Di tulis dari pengalaman Pendampingan Terdakwa Ronald Fonataba Di Pengadilan Negeri. Manokwari.

Kisah Ronald Fonataba, pemuda asal Serui 31 tahun ini berawal dari kepemilikan senjata api. Ronald telah memiliki sebuah senjata api jenis Uzzy dan dua butir amunisi jenis SS1 Kaliber, 5,56 mm dan satu butir amunisi lainnya FN, kepemilikan senjata api dan amunisi ini diperoleh Ronald melalui pembelian dari seorang penjual, oleh Ronald namanya biasa di panggil Bu Cada. Pedagang senjata api ini disebutkan Ronald dalam kesaksiannya di persidangan, Bu Cada membawa senjata api rakitan dari Ambon dan menjualnya ke masyarakat di Manokwari terutama di daerah Prafi kepada masyarakat Arfak.

Penjualan, pembelian dan peredaran senjata api di daerah prafi sudah biasa terjadi, masyarakat adat Arfak paling sering melakukan pembelian terhadap senjata api yang harganya paling murah 2 sampai 3 juta dan paling mahal mencapai 20 sampai 30 Juta rupiah. Mengapa demikian sebab masyarakat adat arfak dalam tradisi mereka, telah memakai senjatai api juga sebagai mas kawin. Pembayaran mas kawin inilah yang kemudian melibatkan Ronald Fonataba, pemuda Serui yang telah bekerja di Manokwari sebagai buruh swasta sekitar lima tahun, Ronald untuk kepentingan pembayaran mas kawin membeli senjata api rakitan jenis Uzzy dati Bu Cada seharga Rp. 2. Juta.

Menurut pengakuan Ronald, Ia telah kawin dengan wanita suku Arfak Marga Mansim tetapi karena istrinya ini dipelihara oleh Mandacan sejak kecil, maka istri Ronald kemudian diangkat dan memakai Marga Mandacan. Perkawinan Ronald ini kemudian belum menikah secara kristen di Gereja sebab mertua Ronald (Bapak Mantu) lebih dulu memesan supaya mas kawin dibayar dulu baru Ronald dan sang istri menikah.

Berdasarkan pesan mertua, Ronald akhirnya berpikir untuk menyiapkan mas kawin, termasuk salah satunya senjata api. sayangnya satu pucuk senjata api rakitan jenis Uzzy yang dibeli dari Bu Cada ternyata tidak aktif atau tidak dapat menembak dan mengeluarkan peluru. Senjata api ini kemudian hanya disimpan saja di rumah. Suatu saat ketika Ronald sedang dalam kekurangan pada rumah tangganya, Ronald kemudian berniat untuk mencari pembeli yang akan membeli senjata api rakitan miliknya. Seorang kerabat Ronald, Mamboro. K, kemudian dititip pesan oleh Ronald untuk mencari pembeli sebab Ronald akan segera menjual senjata apinya. Beberapa hari kemudian, Mamboro menghubungi Ronald dan mengatakan bahwa sudah ada pembeli yang siap membeli senjata, Ronald diminta untuk bertemu di pasar. Ronald yang tinggal di Prafi, Manokwari kemudian melucur ke pasar Wosi, Manokwari Barat, sebab di pasar itu Ronald dijanjikan akan bertemu dengan pembeli senjata, Ronald akhirnya datang dengan senjata apinya untuk dijual.

Hari itu, hari Jumat tanggal 28 Juni 2013, Ronald mengatakan, "sewaktu saya datang di pasar Wosi, saya tidak melihat Mamboro. Tiba -tiba ada orang yang datang menuju ke saya, saya kita pembeli senjata, saya kemudian diajak oleh orang itu untuk berjalan bebrapa meter ke depan tiba-tiba saya ditodong dengan pistol oleh sekitar tiga orang yang tiba-tiba mendekat. saya langsung menyerah, sa pu tas dorang rampas dan periksa lalu bawa senjata api, selanjutnya saya dipukul dan dinaikan ke mobil. dorang duduk di atas saya sampai tiba di Polres Manokwari. selanjutnya dorang tangkap sa trus pemeriksaan lalu dapat tahan di sel tahanan Polres".

Tanggal, 28 Agustus 2013, Ronald menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, Lan Woretma, S.H. Trio Majelis Hakim memimpin jalannya persidangan Ronald, Masing-masing, Hakim Ketua Julius Maniani, SH, Hakim Anggota I, Vabianus. Watimena, SH dan Hakim Anggota II Yuliandi Putra, SH. Sementara akibat ketiadaan Penasihat Hukum, maka secara cuma - cuma saya menerima penunjukan oleh Ketua Majelis sebagai Penasihat Hukum Ronald Fonataba. 

Dalam persidangan ini, Ronald Fonataba di dakwakan melanggar pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Darurat Nomor 12 tahun 1951. Dalam dakwaan, Ronald di dakwa, "tanpa hak memasukan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan, atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai, persediaan padanya, atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak. inilah dakwaan yang menimpa Ronald ketika menjalani persidangan ini. Sidang Ronald berlangsung tanpa kehadiran dan keterangan saksi selama proses pembuktian, para saksi dari anggota Polisi yang terlibat dalam penangkapan Ronald di pasar Wosi tidak pernah ada yang hadir persidangan Ronald untuk memberikan keterangan menurut hukum. keterangan saksipun akhirnya dibacakan oleh Jaksa, Setelah pembacaan keterangan saksi, Jaksa mengajukan Tuntutan pada persidangan berikut yang menuntut Ronald dipidana penjara selama 2 tahun, potong masa tahanan selama terdakwa Ronald berada dalam tahanan sementara. Terhadap Tuntutan Jaksa, saya dan rekan-rekan Penasihat Hukum mengajukan pembelaan pada sidang berikutnya termasuk dengan permohonan supaya Ronald dibebaskan dari setiap tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Pada, hari, Rabu, 23 Oktober 2013. Adalah hari dimana persidangan Ronald Fonataba, diputus/vonis oleh Majelis Hakim. Ronald diputus Pidana Penjara selama 3,6 tahun (tiga tahun enam bulan). Putusan ini jadi lebih berat dari tuntutan Jaksa penuntut umum. Ronald akhirnya menerima kenyataan dibalik pesan Bapak Mertua mengenai mas kawin. Ronald dihukum dan ditahan dalam penjara dari seorang istri dan empat orang anak yang terlalu dini.

Budaya tradisi mas kawin suku Arfak ini benar-benar ditolak untuk menjadi bahan pertimbangan majelis hakim, menurut informasi yang beredar off the record, forum musyawarah majelis hakim terhadap Terdakwa Ronald Fonataba telah terjadi debat yang mengalami disenting opinion, seorang majelis menuntut Ronald dihukum 4 tahun, penjara, seorang lainnya menuntut Ronald 3,5 tahun penjara dan seorang hakim lainnya menuntut Ronald 2 tahun penjara. Akhirnya putusan yang dijatuhkan Ronald dihukum dengan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan potong masa tahanan selama terdakwa ditahan.

Sumber : Catatan Pribadi selama proses persidangan Ronald Fonataba. 

Rabu, Oktober 23

Menakar “Suap”, Kejahatan Jabatan di Papua Barat

Ilustrasi : Penyuapan
Seorang filsuf Yunani kuno, Taverne pernah mengatakan demikian, "Berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas dan berikanlah saya seorang hakim yang cerdas dan jujur, maka dengan undang-undang yang paling burukpun saya akan menghasilkan putusan yang adil..". Menurut histori Taverne, pada masa itu permasalahan seputar hukum yang tidak-adil (unfair-law) adalah sebuah derajat yang paling mengkhawatirkan, dampak dari itu rakyat makin sengsara hingga terjadinya destabilitasi padapemerintahan.Tidak ada cara lain kecuali harus dimulai dari penegakan hukum (law enforcement) guna membatasi setiap pengaruh kekuasaan tanpa batas saat itu oleh segelintir penguasa.

Pernyataan Taverne di atas tersebut terkesan terlalu sederhana, bahwa bukan soal hukum atau undang – undang itu sendiri atau sekedar implementasi proses hukum belaka, tetapi pada “kualitas dan integritas". dalam hal ini kualitas dan integritas yang dimaksud mencakup kualitas dan integritas intelektual yaitu "kecerdasan" dan pemahaman yang utuh tentang hukum dan kebenaran serta kualitas dan integritas kepribadian  yaitu, kejujuran, tanggungjawab, loyalitas dan keberpihakan terhadap kebenaran dan keadilan di dalam masyarakat.

Dewasa ini ada banyak orang yang tahu dan setuju bahwa lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap kekuasaan yang tanpa batas di lembaga peradilan court akibatnya terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Perilaku korup, suap maupun gratifikasi termasuk sebagai kekuasaan tanpa batas. Teori hukum menyebutkan bahwa “semua tindak pidana dapat dilakukan oleh pegawai negeri tetapi tidak semua tindak pidana dapat dilakukan oleh bukan pegawai negeri atau masyarakat”. Undang – Undang Nasional Republik Indonesia kemudian dibentuk untuk mencegah dan membatasi tindakan para birokrat hukum yang berlebihan misalnya, UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri, UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman dan UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat.

Namun tidak serta merta, eksplisitas kesemuaan undang-undang tersebut kemudian berhasil berdasarkan amanatnya, fakta memperlihatkan keadaan yang sebaliknya seperti pernyataan Filsuf Taverne di atas yang masih membutuhkan “Jaksa dan hakim yang jujur dan cerdas”. Merespon fenomena tersebut, beberapa undang-undang kemudian meregulasikan secara ketat perilaku menyimpang penegak hukum misalnya, “Kejahatan Jabata” pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP] pasal 418, pasal 419 termasuk di dalamnya penyuapan yang menjadi fokus dari tulisan ini.

“Penyuapan atau suap” secara haraifiah menurut kamus besar bahasa Indonesia karangan S. Wojowasito, IKIP Malang, menyebutkan suap adalah 1. sekali telan, 2. Uang sogok, peristiwa ini terjadi terhadap sesuatu yang tidak dapat berjalan normal, suap diperlukan untuk memperlancar suatu proses. Berdasarkan definisi tersebut “suap adalah solusi akhir ketika terjadi hambatan yang dipastikan telah merintangi, suap adalah cara yang dipilih agar suatu proses berjalan normal.
  
Merujuk pada Pasal 3 Undang  Undang No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap disebutkan bahwa Barangsiapa  menerima sesuatuataujanji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap”.

Dalam buku saku memahami tindak pidana korupsi “Memahami untuk Membasmi” yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijelaskan bahwa cakupan suap adalah (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Suap juga bisa berarti setiap harta yang diberikan kepada pejabat atas suatu kepentingan, padahal semestinya urusan tersebut tanpa pembayaran. 

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP/WetboekVan Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) “suap” termasuk sejenis dengan “Kejahatan Jabatan” yang terdapat pada pasal 418 dan 419 dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun kepada seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji, selanjutnya ketentuan  yang lebih tegas terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi menyebutkan “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal 425 dan pasal 435 KUHP, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Bertolak dari rumusan pengertian  di atas, paling tidak terdapat modus suap sebagai berikut, Pertama, dalam hal ini seorang pejabat karena kapasitasnya (jabatan) menerima secara langsung “feeatau honor” dan yang kedua, seorang pejabat karena kapasitasnya (jabatnnya) menerima “melalui janji”. Secara faktual modus demikian memberikan orientasi bahwa Pertama suap diberikan kepada pihak yang miliki jabatan, kapasitas (posisi) tertentu. Dan Kedua, Jabatan atau Posisi tersebut sedang melaksanakan suatu fungsi/tugas tertentu dan ketiga jabatan atau kapasitas (posisi) tertentu tersebut dapat menjalankan, mempengaruhi, mengubah atau tidak mengubah sesuatu yang seharusnya atau tidak berdasarkan jabatan atau kapasitas (posisi) tertentu.

Salah satu keadaan atau peluang terjadinya praktik penyuapan dari pejelasan di atas yaitu suatu fakta proses, hal ini tentu melibatkan antar-otoritas supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya. Praktik penyuapan berbeda dengan praktik korupsi, kolusi atau nepotism yang melekat pada tugas yang diemban melalui delegasi, mandat maupun atributif. Penyuapan justru terjadi dari luar, “setiap orang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri/penyelenggara negara termasuk aparat penegak hukum karena berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,” dilakukan atau tidak dilakukan” dalam jabatannya.

Praktik penyuapan dilembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan maupun peradilan sangat mungkin bisa terjadi, Pertama : mengingat system pemerintahan di Negara Indonesia masih menganut system pembagian kekuasaan (distribution of powers) dalam pemerintahan presidensil baik itu dilevel pusat maupun daerah. Hal ini mengisyaratkan kekuasaan yang terpadu (integrated powers) namun terlampau luas sehingga didistribusikan ke institusi atau lembaga negara lainnya (teori trias politika montesquie), kekuasaan eksekutif (Pemerintah), legislatif (DPR) dan Yudikatif (Peradilan/Penegak hukum), pada pokoknya lintas kekuasaan ini saling ter-integrasi, miliki  koordinasi dan saling berhubungan disegalah bidang meskipun Undang-Undang menegaskan otonom. Secara private melekat “kedudukan dan hak protokoler aparatur kekuasaan” di atas, disinilah potensi penyuapan yang disebutkan dapat terjadi.

Kedua, Undang-undang memandatakan kewenangan menyelidik, menyidik dan menuntut adalah fungsi negara dibidang hukum yang dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan atau penyidik PPNS lainnya.Pada kewenangan ini melekat tanggung jawab untuk membuktikan suatu tindak pidana yang melibatkan setiap orang ataupun pejabat negara yang tersangkut masalah hukum. Salah satu peran yang cukup strategis yaitu mempersiapkan segalah sesuatu yang berkaitan dengan proses hukum, pada tataran proses mempersiapkan ini oleh filsuf Taverne memberikan pernyataan bahwa “berikanlah kepada saya seorang jaksa dan hakim yang jujur dan cerdas”, seorang filsuf ini mungkin menyadari bahwa proses mempersiapkan dan melaksanakan segalah seuatu tentang penegakan hukum adalah situasi dimana sedang terbuka lebar pengaruh pengaruh kekuasaan tanpa batas, tidak lain bahwa persiapan pembuktian adalah titik awal peradilan itu dimulai, akankah peradilan ini berpihak pada keadilan atau sebaliknya sangat ditentukan oleh proses mempersiapkan pembuktian inilah potensi yang dapat menciptakan peluang praktik penyapan itu terjadi.

Ketiga, dimenasi kecenderungan penggunaan praktik penyuapan kecil kemungkinan terjadi pada wilayah atau pemerintahan yang baik dan bersih (good and cleans government), tetapi sebaliknya suatu kondisi wilayah yang buruk pemerintahan dan miliki rekam kasus penyimpangan anggaran yang sangat masif sangat dimungkinkan praktik penyuapan terjadi pada institusi penegak hukum. Sebagai fakta propinsi Papua Barat dan beberapa daerah Kabupaten/Kota di Papua Barat adalah wilayah yang masih terdapat opini disclimer oleh lembaga auditor negara, Propinsi Papua Barat sendiri saat ini untuk sementara menempati peringkat ke-tiga pengungkapan kasus korupsi dan kerugian negara terbesar di Indonesia, keadaan ini adalah jalan bagi adanya kemungkinan praktik penyuapan.

Dari ketiga uraian indikasi di atas masyarakat dan kita sekalian telah dapat dengan jelas menakar bagaimana kemungkinan dugaan suap itu fakta dan sangat berpotensi untuk terjadi. Praktik penyuapan itu sendiri adalah kejahatan jabatan atau bisa termasuk white collar crime tetapi tidak serupa dengan tindak pidana korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tindak pidana penyuapan terjadi, “karena (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, terhadap tindak pidana penyuapan sangksi hukumdiancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Semoga tulisan ini bermanfaat,


Tabea..

Sumber : Artikel Hukum (Pribadi) Artikel ini telah diposting di harian lokal Manokwari, Media Papua Edisi Rabu, 16 Oktober 2013 dan juga Tabloid BUR BMH Teluk Bintuni.