WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Rabu, Desember 2

Kontras : Belum Ada Kabar Baik Untuk Papua

Aksi 1 Desember 2015 Di Jakarta (Foto : beritasatu.com)
Pembubaran Aksi 1 Desember di Jakarta dan Brutalitas Polisi

Satu Desember hari ini tidak berbeda dengan situasi 1 Desember ditahun-tahun sebelumnya di mana ratusan warga Papua kerap dikriminalisasikan atas nama ketertiban sipil dan kedaulatan negara. Hari ini kita sama-sama melihat praktik brutalitas yang kembali direproduksi oleh Polda Metro Jaya dalam penangkapan 306 masa aksi Papua yang diketahui tengah merayakan ekspresi damai identitas ke-Papua-an yang selalu dirayakan setiap tanggal 1 Desember. Aparat polisi Polda Metro Jaya telah melakukan penangkapan sewenang-wenang masa aksi pada pukul 10 pagi di sekitar Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.

Dari hasil pantauan KontraS, kami mengetahui bahwa tindak penangkapan sewenang-wenang ini memiliki kaitannya dengan peristiwa yang dialami oleh ke-22 mahasiswa Papua yang bergerak dari arah Tangerang untuk berpartisipasi dalam aksi demonstrasi.Diketahui bahwa pemantauan aksi telah dilakukan 1 hari (30 November) sebelum aksi dimulai oleh intel kepolisian di sekitar Asrama Aru tempat ke-22 mahasiswa tinggal. Pada 1 Desember, ketika 22 mahasiswa ini bergerak ke Jakarta dengan menggunakan 2 mobil mereka dihadang di pom bensin. Ada pertanyaan yang bernada diskriminatif dan keras, terjadi cekcok adu mulut dan aksi saling dorong antara mahasiswa dan 2 polisi yang menghadang mereka. Di sekitar pintu tol Serpong, 2 mobil dikawal untuk dibawa langsung ke Polda Metro Jaya. Ke-22 mahasiswa di-BAP oleh Resmob dan Krimum Polda Metro Jaya.  Fakta lapangan lainnya juga ditemukan bahwa seorang pria bernama Halim (58 tahun) telah ditangkap tanpa bukti yang jelas pada peristiwa ini, padahal ia hanya menonton berjalannya aksi.

KontraS juga mengetahui penangkapan sewenang-wenang ini juga diikuti dengan tindakan pemukulan dan penganiayaan terhadap sejumlah jurnalis asing yang sedang meliput ekspresi damai di dekat Bundaran HI. Step Vaessen (Al-Jazeera), Chris B (Bloomberg), Archicco Guiliano (ABC Australia) dan wartawan BBC menjadi korban brutalitas dan penyensoran media oleh polisi. Mereka dipaksa menghapus video dan foto aksi pembubaran paksa. Pemukulan menggunakan rotan juga diarahkan kepada jurnalis asing yang datang meliput aksi hari ini. Tidak ada alasan yang jelas dan pasti atas penangkapan ini. Kabar sumir berkembang bahwa massa aksi membawa simbol Bintang Kejora yang telah lama diakui oleh Mantan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai simbol kebudayaan dan ekspresi damai orang Papua.

Penangkapan sewenang-wenang ini tidak hanya mencederai komitmen Indonesia dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Undang-Undang HAM No. 39/1999, jaminan mengemukakan opini di depan umum sesuai dengan UU No. 8/1998 dan termasuk komitmen Polri untuk tunduk pada standar HAM melalui Perkap No. 8/2009; namun lebih jauh dari itu, penangkapan ini menunjukkan bahwa belum ada itikad baik dari pemerintah untuk melihat konteks Papua dalam situasi setara, non diskriminasi, dan subyek hukum yang memiliki hak yang sama seperti laiknya warga negara Indonesia.

Publik harus mengetahui bahwa saat ini, Pemerintah Indonesia melalui Kantor Staf Kepresidenan tengah gencar merancang kampanye untuk memunculkan berita-berita baik seputar Papua. Pemerintah akan mengabarkan praktik pembangunan masif yang telah diagendakan di Papua, akses berjualan bagi mama-mama di pasar, jembatan, jalan raya rumah sakit dan lain sebagainya. Pembebasan Filep Karma juga nampaknya menjadi bagian dari politik bumbu dapur berita baik tersebut. Namun agenda ini tidak memiliki arti apa-apa apabila pemerintah melulu melihat Papua dalam pendekatan keamanan, jurnalis masih direpresi, akses informasi dibatasi, warga Papua terus dikriminalisasi.


Jelas pemerintah belum mampu dan belum mau mengabarkan berita baik Papua dengan genuine dan memanusiakan manusia-manusia Papua selayaknya manusia. Namun Papua tidak sendiri. Aksi hari ini menunjukkan solidaritas dan dukungan yang besar dari warga Jakarta untuk Papua. Meski kita belum mengetahui bagaimana kabar di Papua yang turut merayakan 1 Desember di sana. KontraS terus menghimbau kepada publik untuk memperkuat solidaritas, mendukung semua model ekspresi damai yang dapat digunakan untuk menyuarakan kabar Papua, karena Papua tidak boleh sendiri. 


Sumber : via-email Arif/Kontras

Sabtu, Agustus 15

“Menilai Kembali Sejarah Kelam New York Agreement 15 Agustus 1962 Di West Papua”

Wilayah Gouvernement Nieuw Guinea
New York Agreement (NYA) 1962 adalah suatu sejarah yang tidak mungkin dilupakan, Agreement ini ditandangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda, di New York, United State of America.,  memuat sekitar 18 article yang mengatur mengenai proses transfer administrasi West Irian/ West Papua dari Kerajaan Belanda kepada United Nations (UN) melalui UNTEA (United Temporary Executive Authority) dan mengatur mengenai proses pelaksanaan act of free chooice bagi penduduk West Papua untuk memilih merdeka sendiri dan keluar dari Indonesia atau memilih tetap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Wilayah Nederlands -Indie.Doc Wikipedia
Menurut sumber referensi, agreement 1962 difasilitasi oleh US kemudian ditandatangani oleh kedua belah pihak, masing Dr. Subandrio, Menteri Luar Negeri Indonesia bertindak mewakili Pemerintah Republik Indonesia dan Mr. J.H. Van Roijen mewakili pemerintah Kerajaan Belanda. Agreement yang dijembatani US ini berangkat dari Bunker Porposals, Elsworth Bunker seorang diplomat Amerika yang bertugas di India, Agreement ini dicatat melalui UN General Assembly (Resolution Nomor : 1752).

Sayang sekali tidak ada wakil dari West Papua yang ikut menandatangani Agreement ini, padahal justru agreement ini sangat menentukan nasib dan masa depan penduduk Papua saat itu hingga hari ini. Wilayah Papua seakan tak berpenghuni sehingga ada agreement yang diajukan tanpa sepengetahuan dan keterlibatan penghuni setempat.

Agreement ini menjadi salah satu sejarah yang salah (the wrong history) terhadap west Papua hingga saat ini, rezim Indonesia saat itu mengubah act of free chooice menjadi PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat), padahal jangankan Pepera, act of free chooice saja penduduk west Papua saat itu tidak pernah terlibat untuk menyetujui, jika demikian apalagi Pepera, jelas tidak mungkin dikirakan telah diterima oleh Papua untuk dilaksanakan.

Berikut NYA ini mengatur proses transfer administrasi pemerintahan dari Pemerintahan Kerajaan Belanda di west Papua kepada UNTEA, pertanyaanya adalah west Papua ini teritorial dan kedaulatan Negara mana apakah west Papua adalah wilayah  Kerajaan Belanda Neitherlands Niu Guniea/Dutch New Guinea. Ataukah  Neitherlands Indie (Indonesia) ? dimana west Papua dimasukan ke dalam residen mollucas under tidore.

Pada, November 1949 Belanda sempat bersama Indonesia terlibat dalam KMB (Konferensi Meja Bunda), konferensi yang mengharuskan penyerahan seluruh daerah jajahan belanda kepada Negara Merdeka Indonesia, pasal 2 dari KMB tersebut rupanya mengecualikan West irian sebagai wilayah yang akan dilepas dari jajahan kepada Indonesia. Pengecualian ini termasuk melepas sebagian wilayah keresidenan ternate lainnya yaitu west Papua untuk tidak termasuk dalam klausul KMB.

Pada, 27 Desember 1949 Sri ratu Juliana menunjuk komisaris Polisi JPK van eechoud menjadi Gubernur atas wilayah west Papua yang diberinama Nederlands Niew Guinea yang tak lagi memiliki hubungan dengan Nederlands Indie (Keresidenan Ternate). JPK van eechoud kemudian memproklamirkan di Hollandia/ Jayapura wilayah Papua untuk langsung menjadi wilayah Gouvernement Nieuw Guinea, pemerintahan diselenggarakan atas nama ratu Juliana.

Pemerintah Indonesia sangat keberatan dan menyebut Kerajaan Belanda melanggar KMB, pada 19 Desember 1961, Ir. Soekarno mengumandangkan Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) dilanjutkan ke 15 Januari 1962 peristiwa laut aru yang menewaskan komodor Yos Sudarso diklaim Indonesia sebagai serangan provokatif Belanda yang menyerang Indonesia dan melanggar KMB, akhirnya Belanda diseret ke NYA pada 15 Agustus 1962 agar Indonesia bisa mengambil alih west – Papua.***black_fox

Tulisan diolah dari berbagai sumber media on-line

Senin, Agustus 10

"Bagaimana Bisa Membuat Peraturan Kampung ??"

Kampung Siep, Manokwari Selatan (Doc Pribadi)
Bagaimana kita bisa membuat peraturan kampung ? apakah peraturan kampung nanti bisa diterima oleh pemerintah Kabupaten, Propinsi ataupun Pemerintah Negara ? atau bagaimana peraturan kampung bisa tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku?. Itulah catatan singkat mengenai pertanyaan yang diajukan oleh para aparatur Kampung yang berasal dari sembilan kampung, berlokasi di wilayah Distrik Menyambouw [Pegunung Arfak] masing-masing Kampung Indabri, Kampung Handuk, Kampung Umpug, Kampung Ninsimoi dan Kampung Figoud dan Kampung yang berlokasi di Distrik Warmare [Manokwari] masing-masing Kampung Kwau, Kampung Minggre, Kampung Ndonbey dan Kampung Dueibei.

Pertanyaan diatas diajukan pada satu sesi diskusi yang digagas oleh Yayasan Paradisea Manokwari, yang bertemakan “pelatihan penyusunan program kerja Panitia Musyawara Adat wilayah Indabrikwau” di ruang pertemuan Yayasan Paradisea, Manokwari (4/8/2015).

Dari pertanyaan tersebut, perspektif kritis yang bisa diambil untuk mencermati mengapa ada pertanyaan seperti itu adalah demikian : Pertama Pertanyaan diatas mungkin secara kasat hanya merupakan representatif dari situasi dan kondisi pada disembilan kampung di atas namun belum tentu tepat, pertanyaan diatas bisa saja menjadi pertanyaan mayoritas kampung yang ada di Papua Barat atau bahkan se-Tanah Papua, mengingat pertanyaan diatas secara prinsip bersumber dari fakta situasi bahwa “aparatur pemerintah kampung pada kenyataanya memiliki kapasitas yang memadai secara institusi, sebab mereka dilantik atau diangkat sebagai Kepala Kampung berdasarkan SK Bupati dan juga mereka memiliki data dan informasi yang jauh cukup akurat dapat dikelolah (dikaji) untuk membentuk peraturan apapun terhadap Kampung, tetapi sumber daya tersebut tidak pernah dimaksimalkan, peraturan kampung tidak perna ada.

Kedua, pertanyaan diatas “memberi petunjuk” bahwa meskipun telah ada berbagai Produk hukum yang secara hirarkis dimulai dari UUD 1945 hingga Undang-Undang Otonomi Khusus maupun Perda Kabupaten/Kota yang banyak mengatur kepentingan rakyat kecil di Kampung namun pada kenyataanya Masyarakat Kampung justru bertanya “bagiamana bisa membuat Peraturan Kampung ?”.

Ketiga, “Masyarakat menyadari hak-hak mereka terutama terhadap akses Sumber Daya Alam” Di Kampung dan sekitar berpotensi untuk dikuasai oleh pihak lain dari Kampung, lalu otoritas Pemerintah Daerah tidak banyak berbuat sesuatu untuk memastikan kepentingan Masyarakat Kampung terproteksi utuh.

Ke-empat, “Masyarakat Kampung memahami bahwa situasi Pemerintah Kampung sangat rentan terhadap berbagai kepentingan ekonomi, politik, sosial yang mengatasnamakan Kampung”, sehingga adanya Peraturan adalah “terobosan strategis untuk mencegah berbagai kepentingan yang merecoki Kampung dan Masyarakat”.

Ke-lima, Sangat jelas, dari pertanyaan tersebut, masyarakat di Kampung membutuhkan assistensi untuk memperkuat kapasitas Pemerintahan Kampung, hal ini berangkat dari kesan selama ini Pemerintah Kampung hanya mengurus kepentingan SKPD Pemerintah Daerah yang belum tentu tepat sasaran 100% ke masyarakat, atau Kampung ditempatkan hanya alat pelengkap (subjektif) bagi Distrik dan Pemerintah Daerah tapi nasib masyarakat diabaikan.
Menjawab pertanyaan di atas secara sederhana, untuk Papua pasca implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus, undang-undang ini cukup memberi stimulan bagi kampung untuk membentuk peraturan.  Undang-undang ini meski secara ekspilisit tidak menyebut klausul Peraturan Kampung seperti halnya Perdasus dan Perdasi akan tetapi beberapa pasal yang dapat dipahami sebagai politik hukum untuk adanya peraturan kampung yakni :
·         Pertama : Pasal 1 huruf l “Menyebut bahwa “kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam system pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten/kota”.
·         Kedua : Pasal 5 ayat (7) : Menyebutkan bahwa “di Kampung dibentuk badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dapat disebut dengan nama lain.
·         Ketiga : Pasal 43 ayat (4) : Menyebutkan bahwa “penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.

Pokok substantif, pasal-pasal di atas memberi rujukan hukum terhadap Kampung diantaranya, “berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, membentuk badan musyawarah kampung, Pemerintah Kampung dan juga melindungi tanah atau sumber daya alam di Kampung”. Dalam praktiknya wewenang kampung ini telah ada dan dilaksanakan sepenuhnya dikampung, namun masih tersisah kewenangan untuk mengurus kepentingan Masyarakat Kampung terhadap hak-hak atas tanah dan sumber daya alam, inilah kewenangan yang sesungguhnya menjadi pertanyaan diatas melalui Peraturan Kampung.

Kampung Wagura - Teluk Bintuni (Doc. Pribadi)
Melihat pada fakta yang terjadi selama ini, tidak sedikit program dan dana yang cukup besar masuk ke Kampung seperti Program dan Dana Otsus, program dan Dana Respek, PNPM Pedesaan dan lain-lain yang dilakukan Pemerintah, ironisnya berbagai produk kebijakan untuk program-program ini tidak menyiapkan Kampung untuk secara mendiri merancang regulasi internal terhadap kepentingan masyarakat kampung atas program apapun dari pemerintahan di atas kampung. Hasilnya Kampung benar-benar di-setting menurut kebijakan dan Peraturan diatasnya yang belum tentu memandirikan Kampung, pertanyaan diatas memberi bukti bahwa kampung dibiarkan untuk tetap menjadi tergantung terhadap pihak diluar dan diatas Pemerintah Kampung.

Lahirnya Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sepatutnya menjadi evaluasi kesalahan yang selama ini kerap terjadi terhadap Kampung, Undang-Undang ini bukanlah menjadi sarana untuk menutup lubang masalah yang ditinggal program-program terdahulu terhadap Kampung. Dalam konteks Otonomi khusus Papua, Undang-undang desa melalui peraturan penjelasan memberi pengecualian untuk dalam pelaksanaan Undang-Undang Desa wajib memperhatikan kebijakan Otonomi Khusus Papua.

Salah satu makna esensial dari implementasi Undang-undang Desa melalui PP Nomor. 43 tahun 2014 adalah Peraturan Desa yang tengah dibahas dalam tulisan ini. Menurut Undang-Undang ini “Peraturan Desa atau ditekankan menurut perspektif Otonomi Khusus Papua, Peraturan Kampung, adalah Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Kampung setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawartan Desa/Badan Musyawarah Kampung atau Badan Perwakilan Kampung”. Hal inisiatif membuat Peraturan Kampung bisa datang dari Badan Permusyawartan Desa/Badan Musyawarah Kampung atau Badan Perwakilan Kampung atau juga dari masyarakat, Pasal 69 ayat (1) menyebut, Peraturan untuk Kampung terdiri dari tiga jenis yaitu ; “Peraturan Kampung, Peraturan Bersama Kepala Kampung dan Peraturan Kepala Kampung”.

Alur penyusunan Peraturan Kampung diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 tahun 2014 tentang Pedoman Tekhnis Peraturan Di Desa/Kampung. Meskipun Permendagri disebut dalam bahasa hukum berlaku secara mutatis mutandis, hal-hal pokok diatur Permendagri ini menyebut, Peraturan Kampung dirancang dan dikonsultasikan kepada Masyarakat Kampung terkait dan Pemerintah Distrik setempat guna memperoleh masukan penyempurnaan, lalu kemudian Peraturan Kampung dapat dibahas bersama Kepala Kampung dan Badan Permusyawartan Desa/Badan Musyawarah Kampung atau Badan Perwakilan Kampung untuk ditetapkan. Dalam waktu tujuh (7) hari Peraturan Kampung yang ditetapkan Kepala Kampung akan dikirim untuk diklarifikasi oleh Bupati dalam kurun waktu tiga puluh (30) hari sejak diterima, Bupati/Walikota akan menerbitkan surat hasil klarifikasi Peraturan untuk kemudian peraturan kampung dapat diperbaiki atau diberlakukan oleh Pemerintah Kampung.

Keberadaan Undang-undang Desa diatas memberi optimisme bahwa pertanyaan mengenai “bagaimana bisa membentuk Peraturan Kampung ? tidak lagi kedepan menjadi permasalahan untuk Kampung. Ini saatnya bagi aparatur Kampung untuk bisa menata Kampung dalam kemandirian.


Selamat menyongsong Musyawarah Adat (MUSDAT) Indabrikwau, bagi Kampung Indabri, Kampung Handuk, Kampung Umpug, Kampung Ninsimoi dan Kampung Figoud (Distrik Menyambouw – Pegunungan Arfak) dan Kampung Kwau, Kampung Minggre, Kampung Ndonbey dan Kampung Dueibei (Distrik Warmare – Manokwari).***end)

Sumber : Artikel Pribadi

Mencermati Tuduhan Pidana (Penghasutan) Sebagai Delik Materiil terhadap “Demonstrasi KNPB Wilayah Mnukwar” [Bagian II/Akhir]

Aksi KNPB Kota Jayapura (Doc Foto Pribadi)
(Sambungan...)
Pasal tuduhan pidana “menghasut” ini menjadi fenomena baru terhadap KNPB wilayah Mnukwar setelah tahun 2012, akibat dari kegiatan damai telah dituduh bersalah melakukan “tindak-pidana makar, penghasutan, bersekutu melakukan perlawanan terhadap petugas”. 

Penghasutan, dalam tindak pidana [delict], sebagaimana diatur dalam pasal 160 KUHPidana disebutkan “barangsiapa dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuntut baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu  lima ratus rupiah”.

Sebelum menelisik lebih mendalam “korelasi antara pidana penghasutan dengan kegiatan Demonstrasi” KNPB Wilayah Mnukwar, penting dipahami definisi [pengertian] dari penghasutan. KUHP sendiri tidak ada penjelasan resmi mengenai penghasutan, namun dipahami menurut kamus besar Bahasa Indonesia [Departemen Pendidikan Nasional, 2003:392], tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan untuk “membangkitkan hati orang supaya marah [untuk melawan atau memberontak]”, atau menurut Black’s Law Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262 dengan menggunakan padanan kata menghasut dengan “provocation” diartikan sebagai, “something [such as word or action] that affects a person’s reason and self-control, esp. causing the person to commit a crime impulsively”;

Mengutip pendapat ahli, R. Soesilo dalam komentarnya terhadap Pasal 160 KUHP “menghasut artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu”. Dalam kata "menghasut" tersimpul sifat: "dengan sengaja" Cara menghasut orang itu rupa-rupa, misalnya dengan cara yang langsung, seperti: "Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah dan ambil senjatanya!" ditujukan terhadap seorang pegawai polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Dapat pula secara tidak langsung, seperti: "Lebih baik, andaikata polisi yang tidak adil itu dapat diserang, dibunuh,dan diambil senjatanya." Mungkin pula dalam bentuk pertanyaan, seperti: "Saudara-saudara apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak kamu serang, bunuh dan ambil senjatanya?"

Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi, dalam perkara No. 7/PUU-VII/2009, tindak pidana penghasutan sebagaimana pendapat R. Soesilo adalah delic formil, artinya “perbuatan penghasutan  itu bisa langsung dipidana tanpa melihat ada tidaknya dampak dari penghasutan tersebut”. MK, dalam pertimbangan pengujian pasal 160 KUHPidana sebagaimana dimaksud dalam perkara No. 7/PUU-VII/2009 kemudian mengubah pasal 160 KUHPidana menjadi delic materiil sebagaimana “dalam konklusi putusan disebut conditionally constitutional, sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil”, dampak dari putusan tersebut maka setiap orang yang melakukan penghasutan baru bisa dipidana jika berdampak pada tindak [pidana lain seperti kerusuhan dan atau telah terjadi anarkis massa chaos

Penjelasan singkat diatas memberi pertanyaan kepada Demonstrasi KNPB pada 20 Mei 2015, menurut catatan informasi berdasarkan selebaran aksi KNPB, bahwa pada hari itu KNPB Wilayah Mnukwar menggelar aksi dengan mengusung agenda sebagai berikut : “mendukung pertemuan MSG [the Melanesian Spearhead Group] di Honiara, Fiji untuk membahas aplikasi ULMWP [United Liberation Movement for West Papua] untuk diterima sebagai assosiasi member MSG dan menuntut ruang demokrasi dan kebebasan akses jurnalis asing untuk masuk meliput Papua”.

Sebelum melihat lebih detil korelasi antara pendapat ahli hukum pidana R. Soesilo mengenai “penghasutan” serta putusan Mahkamah Konstitusi dan demonstrasi KNPB maka penting untuk didahulukan fakta dari peristiwa yang terjadi saat itu (20 Mei 2015). Pertama; kegiatan yang berlangsung dilakukan oleh KNPB mnukwar dalam kelembagaan mereka yang diketahui secara langsung oleh kepolisian, kedua pada hari itu, kegiatan nyatanya telah berlangsung dengan tertib, aman dan tidak mengganggu atau membuat korban dan kerugian terhadap penduduk sipil sekitar. Ketiga, tidak ada korban dari pendemo sebagai akibat tindakan perlawanan terhadap pemerintah/polisi, ke-empat tidak ada aparat kepolisian yang menjadi korban dari tindakan pendemo [massa KNPB].

Disini uraian singkat diatas memberi petunjuk [indikasi] sebagai korelasi yang dapat disimpulkan pada bagian akhir tulisan ini sebagai berikut : pertama agenda demonstrasi KNPB punya keterkaitan dengan fakta situasi diatas “tidak ada korban”, tentunya dapat dimengerti bahwa agenda demonstrasi KNPB Wilayah Mnukwar tidak untuk menciptakan perlawanan [profokatif] terhadap pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang sah atau melawan secara langsung maupun tidak langsung petugas kepolisian yang menjalankan tugas keamanan dan ketertiban masyarakat di Negara Demokrasi Indonesia.

Kedua, menyampaikan pendapat dimuka umum untuk mendukung pertemuan MSG [the Melanesian Spearhead Group] di Honiara, Fiji untuk membahas aplikasi ULMWP [United Liberation Movement for West Papua] untuk diterima sebagai assosiasi member MSG, menuntut ruang demokrasi dan kebebasan akses jurnalis asing untuk masuk meliput Papua sama sekali belum mengandung nilai atau prinsip yang menghasut. Faktanya pertemuan MSG nyatanya ada dan membahas aplikasi ULMWP kemudian menerima ULMWP melalui status observer pada MSG yang adalah asosiasi negara-negara pasifik, Pemerintah Indonesia juga mengirim delegasi ke forum MSG tersebut yang didukung melalui pendapat dimuka umum KNPB.

Dan ketiga atau terakhir “menyampaikan pendapat dimuka umum” oleh KNPB wilayah Mnukwar mengenai “ruang demokrasi dan akses jurnalis asing untuk masuk ke Papua”, faktanya diakui selama ini kerap menjadi permasalahan serius ditingkat internasional dan bahkan menjadi rekomendasi PBB [United Nation]  kepada pemerintah RI sehingga Presiden Jokowi cukup serius menaruh perhatian untuk memberi akses bagi jurnalis asing masuk ke Papua.

Penyampaian pendapat inilah yang sesungguhnya dibenarkan di dalam konstitusi UUD 1945 amandement ke-II pasal 28 E ayat (3), Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat. Disinilah terletak negara demokrasi Indonesia itu semestinya berdiri dengan selalu aktif memberi ruang kebebasan kepada warga negara termasuk yang ada di Papua termasuk KNPB wilayah Mnukwar untuk menyampaikan pendapat secara bebas dimuka umum tanpa rusuh dan anarkis terhadap petugas kepolisian dan pemerintah.

“Tuduhan pidana penghasutan terhadap kesimpulan dari fakta mengenai peristiwa demonstrasi KNPB diatas adalah sangat prematur secara yuridis dan tentunya menggunakan pendekatan delik formil yang bersifat subjektif”. Di dalam negara demokrasi apabilah aparat penegak hukum bersikeras menerapkan pasal ini terhadap aksi demonstrasi maka system penegakan hukum telah lebih tengah dirusak yang pada akhurnya meruntuhkan bangunan  demokrasi yang tengah berkembang di dalam Negara.***end  


Sumber Posting : Artikel Pribadi

Rabu, Agustus 5

Mencermati Tuduhan Pidana (Penghasutan) Sebagai Delik Materiil terhadap “Demonstrasi KNPB Wilayah Mnukwar”




Komite Nasional Papua Barat [KNPB] didirikan pada tahun 2008 di Jayapura, secara khusus di Manokwari atau biasa disebut kalangan aktifis-nya sebagai “KNPB wilayah Mnukwar”[mengutip nama asli Manokwari, wos byak : “Mnu-kwar”]. Sejak Juni tahun 2012 sampai saat ini KNPB Wilayah Mnukwar di ketuai oleh seorang anak muda Papua, Alex Nekenem yang dipilih atau diangkat melalui mekanisme internal organisasi.


Alex. N, Paling Depan Memakai Topi - KNPB Mnukwar
Di Manokwari, ibu kota Propinsi Papua Barat, eksistensi KNPB sama halnya dengan aktifis pada berbagai daerah lain di Tanah Papua dan juga belahan wilayah lain di Indonesia yang kerapkali melakukan aksi turun jalan long march menuntut ketidakadilan sosial, politik, ekonomi termasuk hak asasi manusia dan lainnya yang bersentuhan dengan kebutuan, kepentingan dan aspirasi rakyat kecil grass-roots.

Secara prinsip, berbagai bentuk apapun aksi-aksi ini dibenarkan, artinya legal sebagai bagian dari kehidupan bernegara citizen yang menganut system demokrasi, demikian halnya Indonesia yang disebut meraih predikat negara demokrasi terbesar ke-tiga di dunia. “kegiatan [aksi] menyampaikan pendapat dimuka umum [the freedom of speech and expression] di Indonesia, pemerintah melegitimasinya melalui konstitusi UUD 1945 amandemen ke -II pasal 28 E ayat (3), kemudian juga ratifikasi kovenant hak-hak sipil dan politik [the International Covenant on Civil and Political Rigts] melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Hak – hak sipil dan politik, Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang “kemerdekaan menyampaikan pendapat”, secara khusus undang-undang kemerdekaan menyampaikan pendapat pasal 1, disebutkan bahwa “setiap warga negara Indonesia bebas menyampaikan pendapat dimuka umum baik secara lisan maupun tulisan dengan tentu memperhatikan kewajiban dan hak-hak orang lain, dan juga pemberitahuan kegiatan secara tertulis terhadap otoritas Kepolisian setempat”.

Keberadaan undang-undang diatas dalam tataran implementasinya secara khusus Propinsi Papua dan Papua Barat faktanya sangat bermanfaat positif bagi masyarakat, menjadi stimulan yang menggerakan masyarakat untuk dengan bebas tanpa rasa takut mengeluarkan pikiran dan pendapat secara terbuka. Riwayat aksi [kegiatan] menyampaikan atau menyatakan pendapat di muka umum oleh mayoritas orang Papua kepada Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI] telah dimulai semenjak tahun 1998, dari sebelumnya pemerintah Jakarta sangat anti-penyampaian pendapat orang Papua dalam bentuk apapun.

Pada 26 Februari 1999 misalnya, “Presiden RI, Prof Dr. B.J Habibie di istana Negara pernah menerima langsung tim 100, wakil – wakil rakyat Papua yang menyampaikan aspirasi politik rakyat Papua” yang menuntut kemerdekaan secara politik dari pemerintah atau memisahkan diri dari NKRI”.

Pemerintah RI pasca dipimpin Presiden Ke-IV “K.H Abdurahman Wahid atau Gusdur bahkan justru secara resmi membolehkan rakyat Papua mengekspresikan berbagai pendapat mereka melalui simbol – simbol berupa bendera dan lagu” melalui legitimasi Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Secara kontekstual dapat dipahami berbagai kegiatan menyampaikan pendapat yang sangat progresif di Papua seperti berikut ; bahwa pertama Pemerintah RI sebagai negara demokrasi nyatanya telah melegitimasi [mengesahkan secara hukum] berbagai bentuk kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum dari berbagai gerakan aktifis di tanah Papua, entah KNPB maupun organisasi apapun yang pada prinsipnya memperjuangan kepentingan dan aspirasi masyarakat kecil di tanah Papua.

Kedua, Pemerintah RI mengakui bahwa “adalah benar berbagai pendapat atau aspirasi  masyarakat pribumi Papua”, undang-undang otonomi khusus Papua sesungguhnya merupakan wujud nyata pengakuan recognize pemerintah terhadap berbagai aspirasi rakyat Papua, sehingga pemerintah sejak 2001 telah merancang berbagai bentuk affirmative action untuk Papua melalui kebijakan Otonomi khusus Papua. Ketiga, Pemerintah RI bahkan berencana tengah bersiap memberi grasi terhadap tahanan politik Papua yang faktanya mayoritas mereka menjalani masa penahanan sebagai tahanan/narapidana di penjara pemerintah “karena di dalam hak asasinya telah berpendapat dan memiliki pandangan politik yang berbeda dengan Pemerintah dan Negara”. 

Kembali ke pembahasan mengenai KNPB wilayah Mnukwar, mereka KNPB dalam agenda aksinya tidak jauh beda dengan aspirasi yang pernah diterima oleh mantan Presiden B.J Habbibie 1999, atau Gusdur 2000 – 2001. Namun, sejak tahun 2012 KNPB wilayah Mnukwar sudah menerima label dan streotipe sebagai pelaku kriminal dalam hak dan kebebasan mereka di Negara demokrasi Indonesia. tuduhan pidana terhadap aktifis KNPB Mnukwar dalam catatan LP3BH Manokwari, sebelumnya telah dilakukan kepolisian Resort Manokwari pada, tahun 2012 lalu. Pada saat itu kegiatan damai KNPB dan masyarakat sekitar yakni “mendukung dimukan umum kegiatan IPWP [the International Parliment for West Papua] yang tengah mendiskusikan permasalahan Papua di London - UK”, sayangnya kegiatan damai ini dibubarkan secara paksa oleh petugas kepolisian, Alex Nekenem, sebagai ketua KNPB saat itu diberondong dituduh oleh penyidik melakukan “kejahatan makar, penghasutan dan bersekutu melakukan perlawanan terhadap petugas” sebagaimana keseluruhan tindak pidana diatur di dalam pasal 106, 110 ayat (2), Pasal 160, pasal 214, pasal 213, pasal 212, jo. Pasal 55 dan pasal 56 KUHPidana. Tuduhan pidana Alex.Cs berangkat. Pada, 6 November 2012, polisi sempat menyidik Alex Nekenem sebagai tersangka, namun kemudian membebaskan yang bersangkutan dari tuntutan pidana ke pengadilan.

Tidak lama ini, 20 Mei 2015, Alex Nekenem mengkoordinir kegiatan yang dalam selebaran, agenda aksi disebut “mendukung pertemuan MSG [the Melanesian Spearhead Group] di Honiara, Fiji dalam rangka membahas aplikasi ULMWP [United Liberation Movement for West Papua] untuk diterima sebagai assosiasi member MSG, dan menuntut ruang demokrasi serta kebebasan akses jurnalis asing untuk masuk meliput Papua”.

Pelaksanaan kegiatan ini telah dibuka dan berlangsung dengan aman dan tertib. Beberapa hari sebelum pelaksanaan kegiatan, KNPB Mnukwar telah mendahului amanat Undang-undang kemerdekaan menyampaikan pendapat dengan mengirimkan surat pemberitahuan dan agenda aksi pada 20 mei 2015 terhadap kepolisian. Kegiatan tersebut nyatanya berlangsung namun menjelang akhir, kegiatan ini dibubarkan dengan paksa oleh Polisi dibantu satuan Brimob. Alex Nekenem pada kesempatan itu ditangkap dan ditahan, dalam penyidikan dituduh bersalah melakukan tindak pidana “penghasutan” sebagaimana diatur dalam pasal 160 KUHPidana, tuduhan pidana penghasutan saat itu juga diterima oleh Narko Murib, Maikel Asso dan Yoram Magai aktifist KNPB yang bersama-sama dalam kegiatan di hari  20 Mei 2015 tersebut..[BERSAMBUNG]...

Artikel Bisa diakses di majalahselangkah.com dan Media Cetak Manokwari Express Edisi, Jumat, 24 Juli 2015
 


Selasa, Juli 14

“Dialog Papua – Indonesia”, Maju atau Mati ? (sambungan)

Advokat. Yan Ch Warinussy (Doc. Pribadi)


Langkah Langkah Orang Papua Menuju Dialog

Dalam bidang politik, orang Papua mengharapkan agar mereka merasa aman, tenteram dan hidup sejahtera di tanah Papua serta mempunyai hubungan baik dengan sesamanya, alamnya dan TUHAN-nya. Mereka (orang Papua) akan merasa aman dan tenteram jika tidak lagi mengalami stigma separatis ataupun makar. Harapan lain adalah mereka perlu dilibatkan dalam kesepakatan yang berkaitan dengan kepentingan dan masa depan mereka. Orang Papua ingin melihat bahwa perbedaan pandangan politik tentang status politik Papua “ternyata dapat diselesaikan secara damai”.

Dibidang ekonomi dan lingkungan hidup, orang Papua berharap agar seluruh tanah ulayat [tanah adat] milik mereka dapat dipetakan dengan baik, dan kemudian pengelolahan sumber daya alam natural serource’s perlu dilakukan dengan cara – cara yang memperhitungkan kelestarian sumber daya alam yang berkelanjutan, menghargai kearifan lokal dan juga dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi penduduk lokal.

Perusahan Investor yang memberi efek pada laju kerusakan lingkungan dan merugikan pemilik tanah ulayat [tanah Adat] perlu ditindak tegas melalui sanksi hukum dan administratif dan Orang Papua merasa perlu diberdayakan diberbagai sektor perekonomian melalui produk regulasi yang berpihak kepada mereka..

Kemudian dibidang sosial budaya [sosbud], harapan orang Papua meliputi antara lain, adanya peningkatan kualitas pendidikan dengan menerapkan kurikulum yang kontekstual serta pengelolahan anggaran pendidikan yang sesuai sasaran dan tujuan serta penghapusan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS [Odha] di tanah Papua.

Selain itu orang Papua mengharap adanya pengakuan recognition dan penghargaan atas adat istiadat dan norma-normanya serta penghentian kebijakan yang mengarah kepada “depopulasi orang asli Papua” terutama proyek KB yang membatasi kelahiran. 

Disektor pertahanan dan keamanan, orang Papua berharap agar aparat keamanan [TNI, Polri dan BIN] menjalankan tugasnya di tanah papua secara profesional dan menghormati hak asasi manusia, demi menjamin rasa aman pada penduduk lokal yang merupakan warga negara. Pos militer tentunya hanya didirikan pada area perbatasan border between indonesian and PNG dan bukan diarea pemukiman penduduk sipil. TNI/Polri tidak boleh berbisnis dan berpolitik. Anggota melanggarnya perlu ditindak tegas dengan sanksi. Aparat keamanan juga tidak perlu dipekerjakan sebagai ajudan dan atau tenaga keamanan bagi pejabat sipil di Papua.

Dibidang hukum dan hak asasi manusia, “orang Papua merasa perlu mendapati kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul”. Kekerasan negara terhadap orang Papua, termasuk perempuan dan anak, perlu diakhiri. Selain pelaku kekerasan negara mesti diadili dan dihukum sesuai rasa keadilan orang asli Papua dan korban, pemerintah juga diharapkan mendirikan pengadilan hak asasi manusia di Papua.

Koordinator Jaringan Damai Papua [JDP] Pater Neles Tebay, OFM yang selama ini aktif mendorong terjadinya dialog damai Papua – Indonesia menegaskan bahwa “harapan-harapan orang Papua tersebut di atas belum lengkap dan karena itu dapat diperkaya dan dilengkapi oleh warga Papua yang lain, disinilah tanggungjawab seluruh rakyat Papua dan komponen perjuangan yang ada untuk  melakukan kajian dan merumuskannya secara lebih mendalam dan meluas serta dapat mencakup seluruh masalah yang dipandang urgen dan penting,

Berdasarkan fakta diatas, maka saya berpandangan bahwa sesungguhnya orang-orang Papua [orang asli Papua] sudah sangat jauh maju dalam cara berpikir untuk menyelesaikan masalah dan konflik berkepanjangan yang dialaminya dan akibatnya mereka rasakan dalam bentuk penderitaan dari waktu ke waktu (memoria passionis) bersama dan sepanjang berada dibawah otoritas pemerintah Republik Indonesia. Orang Papua justru lebih dulu memeiliki gagasan yang konstruktif guna mencari pola penyelesaian atas konflik tersebut secara damai dan bermartabat serta memenuhi standar dan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia serta demokrasi yang berlaku secara univesal.

Mengapa Dialog Papua – Indonesia Belum Bisa Terlaksana ??

Inilah pertanyaan yang senantiasa membuat orang papua sendiri menjadi tidak percaya untrust terhadap keunggulan dari cara damai tersebut dalam menyelesaikan persoalan di tanah Papua bersama Pemerintah Republik Indonesia.

Saya ingin menyampaikan pengatahuan dan pemahaman saya mengenai proses dialog yang sementara berjalan hingga saat ini, diamana kemajuan-kemajuan dalam mendorong terlaksana dialog damai tersebut sedang terus mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Pemerintah RI tentunya tidak dapat menghindari dari fakta desakan berbagai pihak baik dalam dan luar negeri mengenai perlunya dialog untuk menyelesaikan permasalahan Papua.

Perlu diketahui. Saat ini sangat penting untuk dibicarakan secara arif dan bijaksana oleh semua komponen rakyat Papua tentang bagaimana format dan mekanisme dialog damai itu sendiri serta materi-materi yang akan menjadi agenda pembicaraan dialog ketika itu akan berlangsung.

Mengapa penting ? karena sesungguhnya saat ini pemerintah Indonesia sudah memulai langkah tersebut dan orang Papua yang justru lebih jauh memikirkan hal ini lebih dahulu “jangan sampai tidak siap ketika Presiden mengatakan, ya bulan depan, atau minggu depan atau besok Pemerintah sudah siap untuk berdialog dengan orang Papua.

“Dialog Papua akan semakin maju atau berjalan ditempat, bahkan mati sekalipun, bukan saja terletak pada kemauan politik pemerintah Indonesia, tetapi juga terletak pada seberapa besar usaha-usaha yang kami semua orang Papua sudah lakukan dan jalankan disemua tingkatan kehidupan masyarakat...Peace..(Ending)***black_fox

Sumber
Posting ini diakses dari makalah pribadi, 
Advokat Hak Asasi Manusia, Yan Christian Warinussy, S.H.,