WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Senin, Agustus 10

"Bagaimana Bisa Membuat Peraturan Kampung ??"

Kampung Siep, Manokwari Selatan (Doc Pribadi)
Bagaimana kita bisa membuat peraturan kampung ? apakah peraturan kampung nanti bisa diterima oleh pemerintah Kabupaten, Propinsi ataupun Pemerintah Negara ? atau bagaimana peraturan kampung bisa tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku?. Itulah catatan singkat mengenai pertanyaan yang diajukan oleh para aparatur Kampung yang berasal dari sembilan kampung, berlokasi di wilayah Distrik Menyambouw [Pegunung Arfak] masing-masing Kampung Indabri, Kampung Handuk, Kampung Umpug, Kampung Ninsimoi dan Kampung Figoud dan Kampung yang berlokasi di Distrik Warmare [Manokwari] masing-masing Kampung Kwau, Kampung Minggre, Kampung Ndonbey dan Kampung Dueibei.

Pertanyaan diatas diajukan pada satu sesi diskusi yang digagas oleh Yayasan Paradisea Manokwari, yang bertemakan “pelatihan penyusunan program kerja Panitia Musyawara Adat wilayah Indabrikwau” di ruang pertemuan Yayasan Paradisea, Manokwari (4/8/2015).

Dari pertanyaan tersebut, perspektif kritis yang bisa diambil untuk mencermati mengapa ada pertanyaan seperti itu adalah demikian : Pertama Pertanyaan diatas mungkin secara kasat hanya merupakan representatif dari situasi dan kondisi pada disembilan kampung di atas namun belum tentu tepat, pertanyaan diatas bisa saja menjadi pertanyaan mayoritas kampung yang ada di Papua Barat atau bahkan se-Tanah Papua, mengingat pertanyaan diatas secara prinsip bersumber dari fakta situasi bahwa “aparatur pemerintah kampung pada kenyataanya memiliki kapasitas yang memadai secara institusi, sebab mereka dilantik atau diangkat sebagai Kepala Kampung berdasarkan SK Bupati dan juga mereka memiliki data dan informasi yang jauh cukup akurat dapat dikelolah (dikaji) untuk membentuk peraturan apapun terhadap Kampung, tetapi sumber daya tersebut tidak pernah dimaksimalkan, peraturan kampung tidak perna ada.

Kedua, pertanyaan diatas “memberi petunjuk” bahwa meskipun telah ada berbagai Produk hukum yang secara hirarkis dimulai dari UUD 1945 hingga Undang-Undang Otonomi Khusus maupun Perda Kabupaten/Kota yang banyak mengatur kepentingan rakyat kecil di Kampung namun pada kenyataanya Masyarakat Kampung justru bertanya “bagiamana bisa membuat Peraturan Kampung ?”.

Ketiga, “Masyarakat menyadari hak-hak mereka terutama terhadap akses Sumber Daya Alam” Di Kampung dan sekitar berpotensi untuk dikuasai oleh pihak lain dari Kampung, lalu otoritas Pemerintah Daerah tidak banyak berbuat sesuatu untuk memastikan kepentingan Masyarakat Kampung terproteksi utuh.

Ke-empat, “Masyarakat Kampung memahami bahwa situasi Pemerintah Kampung sangat rentan terhadap berbagai kepentingan ekonomi, politik, sosial yang mengatasnamakan Kampung”, sehingga adanya Peraturan adalah “terobosan strategis untuk mencegah berbagai kepentingan yang merecoki Kampung dan Masyarakat”.

Ke-lima, Sangat jelas, dari pertanyaan tersebut, masyarakat di Kampung membutuhkan assistensi untuk memperkuat kapasitas Pemerintahan Kampung, hal ini berangkat dari kesan selama ini Pemerintah Kampung hanya mengurus kepentingan SKPD Pemerintah Daerah yang belum tentu tepat sasaran 100% ke masyarakat, atau Kampung ditempatkan hanya alat pelengkap (subjektif) bagi Distrik dan Pemerintah Daerah tapi nasib masyarakat diabaikan.
Menjawab pertanyaan di atas secara sederhana, untuk Papua pasca implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus, undang-undang ini cukup memberi stimulan bagi kampung untuk membentuk peraturan.  Undang-undang ini meski secara ekspilisit tidak menyebut klausul Peraturan Kampung seperti halnya Perdasus dan Perdasi akan tetapi beberapa pasal yang dapat dipahami sebagai politik hukum untuk adanya peraturan kampung yakni :
·         Pertama : Pasal 1 huruf l “Menyebut bahwa “kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam system pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten/kota”.
·         Kedua : Pasal 5 ayat (7) : Menyebutkan bahwa “di Kampung dibentuk badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dapat disebut dengan nama lain.
·         Ketiga : Pasal 43 ayat (4) : Menyebutkan bahwa “penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.

Pokok substantif, pasal-pasal di atas memberi rujukan hukum terhadap Kampung diantaranya, “berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, membentuk badan musyawarah kampung, Pemerintah Kampung dan juga melindungi tanah atau sumber daya alam di Kampung”. Dalam praktiknya wewenang kampung ini telah ada dan dilaksanakan sepenuhnya dikampung, namun masih tersisah kewenangan untuk mengurus kepentingan Masyarakat Kampung terhadap hak-hak atas tanah dan sumber daya alam, inilah kewenangan yang sesungguhnya menjadi pertanyaan diatas melalui Peraturan Kampung.

Kampung Wagura - Teluk Bintuni (Doc. Pribadi)
Melihat pada fakta yang terjadi selama ini, tidak sedikit program dan dana yang cukup besar masuk ke Kampung seperti Program dan Dana Otsus, program dan Dana Respek, PNPM Pedesaan dan lain-lain yang dilakukan Pemerintah, ironisnya berbagai produk kebijakan untuk program-program ini tidak menyiapkan Kampung untuk secara mendiri merancang regulasi internal terhadap kepentingan masyarakat kampung atas program apapun dari pemerintahan di atas kampung. Hasilnya Kampung benar-benar di-setting menurut kebijakan dan Peraturan diatasnya yang belum tentu memandirikan Kampung, pertanyaan diatas memberi bukti bahwa kampung dibiarkan untuk tetap menjadi tergantung terhadap pihak diluar dan diatas Pemerintah Kampung.

Lahirnya Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sepatutnya menjadi evaluasi kesalahan yang selama ini kerap terjadi terhadap Kampung, Undang-Undang ini bukanlah menjadi sarana untuk menutup lubang masalah yang ditinggal program-program terdahulu terhadap Kampung. Dalam konteks Otonomi khusus Papua, Undang-undang desa melalui peraturan penjelasan memberi pengecualian untuk dalam pelaksanaan Undang-Undang Desa wajib memperhatikan kebijakan Otonomi Khusus Papua.

Salah satu makna esensial dari implementasi Undang-undang Desa melalui PP Nomor. 43 tahun 2014 adalah Peraturan Desa yang tengah dibahas dalam tulisan ini. Menurut Undang-Undang ini “Peraturan Desa atau ditekankan menurut perspektif Otonomi Khusus Papua, Peraturan Kampung, adalah Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Kampung setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawartan Desa/Badan Musyawarah Kampung atau Badan Perwakilan Kampung”. Hal inisiatif membuat Peraturan Kampung bisa datang dari Badan Permusyawartan Desa/Badan Musyawarah Kampung atau Badan Perwakilan Kampung atau juga dari masyarakat, Pasal 69 ayat (1) menyebut, Peraturan untuk Kampung terdiri dari tiga jenis yaitu ; “Peraturan Kampung, Peraturan Bersama Kepala Kampung dan Peraturan Kepala Kampung”.

Alur penyusunan Peraturan Kampung diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 tahun 2014 tentang Pedoman Tekhnis Peraturan Di Desa/Kampung. Meskipun Permendagri disebut dalam bahasa hukum berlaku secara mutatis mutandis, hal-hal pokok diatur Permendagri ini menyebut, Peraturan Kampung dirancang dan dikonsultasikan kepada Masyarakat Kampung terkait dan Pemerintah Distrik setempat guna memperoleh masukan penyempurnaan, lalu kemudian Peraturan Kampung dapat dibahas bersama Kepala Kampung dan Badan Permusyawartan Desa/Badan Musyawarah Kampung atau Badan Perwakilan Kampung untuk ditetapkan. Dalam waktu tujuh (7) hari Peraturan Kampung yang ditetapkan Kepala Kampung akan dikirim untuk diklarifikasi oleh Bupati dalam kurun waktu tiga puluh (30) hari sejak diterima, Bupati/Walikota akan menerbitkan surat hasil klarifikasi Peraturan untuk kemudian peraturan kampung dapat diperbaiki atau diberlakukan oleh Pemerintah Kampung.

Keberadaan Undang-undang Desa diatas memberi optimisme bahwa pertanyaan mengenai “bagaimana bisa membentuk Peraturan Kampung ? tidak lagi kedepan menjadi permasalahan untuk Kampung. Ini saatnya bagi aparatur Kampung untuk bisa menata Kampung dalam kemandirian.


Selamat menyongsong Musyawarah Adat (MUSDAT) Indabrikwau, bagi Kampung Indabri, Kampung Handuk, Kampung Umpug, Kampung Ninsimoi dan Kampung Figoud (Distrik Menyambouw – Pegunungan Arfak) dan Kampung Kwau, Kampung Minggre, Kampung Ndonbey dan Kampung Dueibei (Distrik Warmare – Manokwari).***end)

Sumber : Artikel Pribadi