WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Senin, Agustus 10

Mencermati Tuduhan Pidana (Penghasutan) Sebagai Delik Materiil terhadap “Demonstrasi KNPB Wilayah Mnukwar” [Bagian II/Akhir]

Aksi KNPB Kota Jayapura (Doc Foto Pribadi)
(Sambungan...)
Pasal tuduhan pidana “menghasut” ini menjadi fenomena baru terhadap KNPB wilayah Mnukwar setelah tahun 2012, akibat dari kegiatan damai telah dituduh bersalah melakukan “tindak-pidana makar, penghasutan, bersekutu melakukan perlawanan terhadap petugas”. 

Penghasutan, dalam tindak pidana [delict], sebagaimana diatur dalam pasal 160 KUHPidana disebutkan “barangsiapa dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuntut baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu  lima ratus rupiah”.

Sebelum menelisik lebih mendalam “korelasi antara pidana penghasutan dengan kegiatan Demonstrasi” KNPB Wilayah Mnukwar, penting dipahami definisi [pengertian] dari penghasutan. KUHP sendiri tidak ada penjelasan resmi mengenai penghasutan, namun dipahami menurut kamus besar Bahasa Indonesia [Departemen Pendidikan Nasional, 2003:392], tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan untuk “membangkitkan hati orang supaya marah [untuk melawan atau memberontak]”, atau menurut Black’s Law Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262 dengan menggunakan padanan kata menghasut dengan “provocation” diartikan sebagai, “something [such as word or action] that affects a person’s reason and self-control, esp. causing the person to commit a crime impulsively”;

Mengutip pendapat ahli, R. Soesilo dalam komentarnya terhadap Pasal 160 KUHP “menghasut artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu”. Dalam kata "menghasut" tersimpul sifat: "dengan sengaja" Cara menghasut orang itu rupa-rupa, misalnya dengan cara yang langsung, seperti: "Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah dan ambil senjatanya!" ditujukan terhadap seorang pegawai polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Dapat pula secara tidak langsung, seperti: "Lebih baik, andaikata polisi yang tidak adil itu dapat diserang, dibunuh,dan diambil senjatanya." Mungkin pula dalam bentuk pertanyaan, seperti: "Saudara-saudara apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak kamu serang, bunuh dan ambil senjatanya?"

Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi, dalam perkara No. 7/PUU-VII/2009, tindak pidana penghasutan sebagaimana pendapat R. Soesilo adalah delic formil, artinya “perbuatan penghasutan  itu bisa langsung dipidana tanpa melihat ada tidaknya dampak dari penghasutan tersebut”. MK, dalam pertimbangan pengujian pasal 160 KUHPidana sebagaimana dimaksud dalam perkara No. 7/PUU-VII/2009 kemudian mengubah pasal 160 KUHPidana menjadi delic materiil sebagaimana “dalam konklusi putusan disebut conditionally constitutional, sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil”, dampak dari putusan tersebut maka setiap orang yang melakukan penghasutan baru bisa dipidana jika berdampak pada tindak [pidana lain seperti kerusuhan dan atau telah terjadi anarkis massa chaos

Penjelasan singkat diatas memberi pertanyaan kepada Demonstrasi KNPB pada 20 Mei 2015, menurut catatan informasi berdasarkan selebaran aksi KNPB, bahwa pada hari itu KNPB Wilayah Mnukwar menggelar aksi dengan mengusung agenda sebagai berikut : “mendukung pertemuan MSG [the Melanesian Spearhead Group] di Honiara, Fiji untuk membahas aplikasi ULMWP [United Liberation Movement for West Papua] untuk diterima sebagai assosiasi member MSG dan menuntut ruang demokrasi dan kebebasan akses jurnalis asing untuk masuk meliput Papua”.

Sebelum melihat lebih detil korelasi antara pendapat ahli hukum pidana R. Soesilo mengenai “penghasutan” serta putusan Mahkamah Konstitusi dan demonstrasi KNPB maka penting untuk didahulukan fakta dari peristiwa yang terjadi saat itu (20 Mei 2015). Pertama; kegiatan yang berlangsung dilakukan oleh KNPB mnukwar dalam kelembagaan mereka yang diketahui secara langsung oleh kepolisian, kedua pada hari itu, kegiatan nyatanya telah berlangsung dengan tertib, aman dan tidak mengganggu atau membuat korban dan kerugian terhadap penduduk sipil sekitar. Ketiga, tidak ada korban dari pendemo sebagai akibat tindakan perlawanan terhadap pemerintah/polisi, ke-empat tidak ada aparat kepolisian yang menjadi korban dari tindakan pendemo [massa KNPB].

Disini uraian singkat diatas memberi petunjuk [indikasi] sebagai korelasi yang dapat disimpulkan pada bagian akhir tulisan ini sebagai berikut : pertama agenda demonstrasi KNPB punya keterkaitan dengan fakta situasi diatas “tidak ada korban”, tentunya dapat dimengerti bahwa agenda demonstrasi KNPB Wilayah Mnukwar tidak untuk menciptakan perlawanan [profokatif] terhadap pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang sah atau melawan secara langsung maupun tidak langsung petugas kepolisian yang menjalankan tugas keamanan dan ketertiban masyarakat di Negara Demokrasi Indonesia.

Kedua, menyampaikan pendapat dimuka umum untuk mendukung pertemuan MSG [the Melanesian Spearhead Group] di Honiara, Fiji untuk membahas aplikasi ULMWP [United Liberation Movement for West Papua] untuk diterima sebagai assosiasi member MSG, menuntut ruang demokrasi dan kebebasan akses jurnalis asing untuk masuk meliput Papua sama sekali belum mengandung nilai atau prinsip yang menghasut. Faktanya pertemuan MSG nyatanya ada dan membahas aplikasi ULMWP kemudian menerima ULMWP melalui status observer pada MSG yang adalah asosiasi negara-negara pasifik, Pemerintah Indonesia juga mengirim delegasi ke forum MSG tersebut yang didukung melalui pendapat dimuka umum KNPB.

Dan ketiga atau terakhir “menyampaikan pendapat dimuka umum” oleh KNPB wilayah Mnukwar mengenai “ruang demokrasi dan akses jurnalis asing untuk masuk ke Papua”, faktanya diakui selama ini kerap menjadi permasalahan serius ditingkat internasional dan bahkan menjadi rekomendasi PBB [United Nation]  kepada pemerintah RI sehingga Presiden Jokowi cukup serius menaruh perhatian untuk memberi akses bagi jurnalis asing masuk ke Papua.

Penyampaian pendapat inilah yang sesungguhnya dibenarkan di dalam konstitusi UUD 1945 amandement ke-II pasal 28 E ayat (3), Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat. Disinilah terletak negara demokrasi Indonesia itu semestinya berdiri dengan selalu aktif memberi ruang kebebasan kepada warga negara termasuk yang ada di Papua termasuk KNPB wilayah Mnukwar untuk menyampaikan pendapat secara bebas dimuka umum tanpa rusuh dan anarkis terhadap petugas kepolisian dan pemerintah.

“Tuduhan pidana penghasutan terhadap kesimpulan dari fakta mengenai peristiwa demonstrasi KNPB diatas adalah sangat prematur secara yuridis dan tentunya menggunakan pendekatan delik formil yang bersifat subjektif”. Di dalam negara demokrasi apabilah aparat penegak hukum bersikeras menerapkan pasal ini terhadap aksi demonstrasi maka system penegakan hukum telah lebih tengah dirusak yang pada akhurnya meruntuhkan bangunan  demokrasi yang tengah berkembang di dalam Negara.***end  


Sumber Posting : Artikel Pribadi