WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Minggu, Desember 12

Teluk Doreri Cerita Yang Hampir Punah

Salah satu sudut Teluk Doreri menghadap pegunungan Arfak, Sewaktu senja

Kota Manokwari di hiasi sebuah sebuah teluk yang indah mengarah ke laut pasifik, disebut sebagai Teluk Doreri. Di Tengah laut dari Teluk ini berdiri pulau Mansinam dan Pulau Lemon. Pulau mansinam menyimpan sejarah kedatangan misionaris berkebangsaan Jerman C.W. Ottow dan J.G. Geisler 1855, ketika melakukan perjalanan misionaris ke Tanah Papua dan menginjakan kaki pertama kali di Pulau Mansinam. 

Membahas sejarah Teluk Doreri, sejumlah referensi merujuk pada antropolog Belanda (F.C Kamma,1971), sebagai orang yang pertama kali menulis Teluk ini, sejarah Doreri tidak lepas dari klan purba orang Numfor yaitu, Rumberpon, Anggradifu, Rumansara dan Rumberpur. Dari ke-empat klan itu, Klan Rumberpur adalah yang paling sering masuk melaut ke Manokwari di zaman kuno, karena mungkin merasa cocok, klan ini menetap dan menamai tempat di mana mereka menetap sebagai πŸ‘‰ "Doreh" (aksen bahasa Lokal). Sewaktu Belanda berpemerintahan di Papua, Doreh disebut sebagai Doreri di wilayah Pemerintahan Afdeling Noord Nieuw Guinea (sekarang Kabupaten Manokwari). Penduduk asli Doreri pada saat itu bermarga Rumsayor, Rumadas, Rumbruren, Rumbekwan, Rumfabe, Rumbobyar, Rumakew, Rumander, dan Sorbu, kesembilan marga ini berasal dari Rumberpur klan purba di Pulau Numfor.

Postingan diambil dari berbagai referensi, kalau ada yang salah silahkan mengirim email di blog ini, agar kita terus melestarikan sejarah yang hampir punah ditelang jaman. 

    

Rabu, Februari 24

Pria Bertoga Merah Hitam

Foto hanya pemanis

Saya sebut saja Yaklep, dia pemuda yang baru dua tahun lalu tamat SMA, di Kota Manokwari, dia berstatus nganggur entahlah, barangkali Yaklep sedang berpikir antara melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi, langsung cari kerja atau mungkin ada hal lain yang dipertimbangkan membuatnya ngganggur gitu. Malam itu, Rabu, 19 Agustus 2020 sekitar pukul 11.20 Wit adalah sial bagi Yaklep, Motor Mio miliknya digeladah  petugas Subdit Narkoba Polda Papua Barat dan ditemukan 5 bungkus plastik bening berisikan daun ganja kering siap pakai.

Empat bulan Yaklep ditahan dan baru dihadirkan ke persidangan pada bulan ke-lima. Singkat cerita Yaklep mengalami tuduhan bersalah karena membeli, juga bersalah karena menyimpan dan bersalah karena memakai Narkotika Jenis Ganja.

Sang Yaklepun dihadirkan dan bercerita dimuka sidang yang katanya mulia, "sa diminta membeli ganja oleh Mr. X untuk pergi membeli ganja pada malam 19 Agustus itu, Mr. X menjelaskan, nanti Mr. Z mau bawa ganja itu untuk dipakai teman-temannya, Mr. X kemudian menyerahkan uang sejumlah 500 ribu, dengan Motor Mio sa melucur pergi dan kembali dengan membawa 5 bungkus ganja kering, saat itu Mr. Z menyuguhkan kami hidangan cap tikus 1 botol aqua, kamipun lupa terhadap ganja, sewaktu asyeek menjamah cap tikus, Mr. Z menyodorkan sedikit dari 1 linting ganja kamipun saling join, menikmati asapnya. kemudian Mr. Z mundur dan menghilang dari kami, saat itulah petugas polisipun merapat dan menggeledah kami dan didapati 5 bungkus plastik bening pada dashbord motor metic saya, berbagai tuduhan saya terima hingga ke persidangan ini".

Dari cerita dan kisah Yaklep, Jaksa dan Pengacara saling beradu argumentasi di tuntutan dan pembelaan, rupanya sia-sia dan buang energi, salah satu dari tiga pria bertoga merah hitam, nampak tidak peduli dengan perang argumen antara Lawyer dan Penuntut atas cerita Yaklep dan saksi-saksi yang disodorkan ke Persidangan.

Siang itu, usai menikmati replik yang dibaca hingga keringat oleh Penuntut, pria bertoga merah hitam didepan itupun langsung tanpa membuang-buang waktu langsung menyatakan, "baik kami akan membaca putusan..." nah, lawyer dan Jaksapun membisu termangu sambil kaget heran,..."πŸ˜€" harusnya trio bertoga merah hitam itu saling bermusyawarah, semestinya sidang ditunda sepekan, atau minimal skor 15 menit, nyatanya tidak, bro..sis!πŸ˜‡

Putusanpun dibaca dan diakhiri dengan "menyatakan Yaklep bersalah karena memakai ganja dan diputus pidana penjara selama 1 tahun dan 3 bulan" putusan yang lebih rendah 3 bulan dari tuntutan jaksa yang 1 tahun 6 bulan". tok..tok..tok, palu berbunyi. Pria bertoga merah hitam itu dengan palunya menuduh Yaklep bersalah karena "memakai" ganja.

Saya menyimpulkan, mungkin kalau dia rupanya sudah memikirkan hukuman sejak berkas persoalan Yaklep ada mejanya, bahkan sebelum bertemu Yaklep, dia tentu sudah memastikan Yaklep harus dihukum, yang paling sial bagi Yaklep, dia mungkin tidak perlu mendengar cerita Yaklep yang panjang lebar dan berbusa-busa, dia berniat memutus menurut apa yang dipikirkannya, bukan dari pertimbangan, atau musayawarah.

Bagi saya tulisan ini, tidak menyasar pria bertoga merah hitam, tidak penting bagi saya, namun setidaknya intisari ini bertujuan agar tidak lagi ada Yaklep Yaklep berikutnya. Yaklep seharusnya korban, asumsi saya cukup sederhana yaitu seandainya Yaklep dipersalahkan karena memakai seharusnya dia pengguna dari perbuatan memakai sehingga yang pantas bagi diri Yaklep adalah sebagai korban yang harus direhabilitasi entah medis atau rehabilitasi sosial, πŸ‘‰itu kata undang-undangnya, namun berbeda bagi pria bertoga merah hitam itu.

Di suatu senja februari yang mendung.

Rabu, Februari 3

“Freeport, Versi Chappy Hakim”

 


Oleh Simon Banundi

Tulisan sederhana ini, yang terutama hanya sekedar pandangan salah seorang (Papua) terhadap buku Freeport catatan pribadi Chappy Hakim, dan berikutnya saya sendiripun hanya civil community yang coba membaca Freeport menurut beberapa pandangan orang yang terlibat langsung maupun tak langsung di Freeport. Saya merasa perlu mengkonstruksikan dalam setiap narasi demi narasi yang pada akhirnya tercipta solusi, bukan polusi masalah dan konflik yang terus berkepanjangan di bumi amungsa dan sekitar Kawasan di Papua.

Di blog saya (banundisimon.blogspot.com) sebelumnya ada beberapa tulisan saya terkait Freeport, saya perlu jujur bahwa saya bukan pengamat atau ahli tertentu terkait operasional perusahan ini dan berbagai aspeknya, tetapi saya cuma melepaskan saja apa yang ada dipikiran saya ke tulisan, agar tidak lenyap dan berlalu akibat berbagai kesibukan saya. termasuk salah satunya tulisan kali ini “Freeport, versi Chappy Hakim” yang diambil dari judul asli buku “Freeport Catatan pribadi Chappy Hakim”, coretan-coretan yang hanya untuk meringkas secara singkat apa sesungguhnya materi dari buku sang mantan Presiden Direktur PT Freeport ini. Dan tentunya hanya dua hal saja, kelebihan dan kelemahan buku ini, saya kira para literatur lainnya jika memiliki buku ini, mungkin bisa menyediakan resensi dan penilaian yang lebih akurat dari saya.

Saya mulai dari kelebihan buku ini sebelum membahas kelemahannya, buku terbitan PT. Kompas Media Nusantara ini yang paling unggul yaitu penulisnya sendiri Chappy Hakim, seorang purnawiran TNI AU yang pernah menjabat posisi nomor satu di PTFI, lalu dua tahun kemudian pasca resign dari cuma tiga bulan jabatannya (November 2016 – Februari 2017), ia menulis Kembali apa yang dialaminya di PTFI. Bagi saya, entahlah, sebab dari sekian banyak Mantan Presiden Direktur Freeport jarang ada yang mau luangkan waktu menulis pengalamannya memimpin perusahan yang paling banyak kontroversinya di Papua. Chappy Hakim menulis apa yang dia sebutnya “menceritakan pengalaman, dengan fokus pada realitas, fakta serta data yang dialaminya sendiri di Freeport”, dia juga mengaku untuk tidak membantah kesan negative Freeport yang berkembang selama ini, disinilah kelebihan paling utama dari Buku ini.

Salah satu tugas yang diemban Chappy Hakim dari pengalamannya yang berkesan yaitu gelombang perpanjangan kontrak antara Freeport Mc-Morran (FCX) dan RI, Chappy Hakim rupanya seperti sosok paling labil yang diutus untuk menetralisir suasana Jakarta dan Freeport, padahal setahun sebelumnya baru terjadi heboh kasus “Papa Minta Saham”. Chappy Hakim menuliskan, penugasan dirinya sesungguhnya cuma mengatarkan PTFI dalam perpanjangan kontrak bersama Indonesia dengan hasilnya win-win [hal 27].

Gelombang perpanjangan kontrak ditandai dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 tentang pelaksanaan usaha pertambangan mineral dan batu bara, turunan dari UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba. Dititik ini, Chappy Hakim memilih menempatkan dirinya sebagai negarawan sejati yang bukan job seeker (lamar kerja) atau pemburu rente, dia berkomitment tidak akan berkhianat lawan negara jika kebuntuan negosiasi Freeport dan Jakarta mengalami dispute (sengketa) yang kemudian berakhir di meja Arbitrase Internasional. Indonesia bakal kalah, Chappy Hakim mengakui hal itu terang-terangan [Hal 49 - 51].

Kelebihan lainnya lagi, Chappy Hakim justru menyebutkan salah persepsi jika menyebutkan “Tembagapura sebagai tambang emas terbesar di dunia” pengertian ini salah, sebab Tembagapura adalah tambang tembaga yang di dalam tembaga memang mengandung emas dan perak, komposisi sederhana untuk melihat keadaan ini adalah misalnya, 1 ton bongkahan tanah (ore) yang digali di Tembagapura terdiri dari 97% tailing atau sampah, 3% ore tersebut, itulah yang mengandung tembaga, di dalam tembaga 3% itu diperoleh nol koma sekian persen emas dan nol koma sekian persen perak, sehingga kalau beredar penjelasan bahwa Tembagapura merupakan tambang emas terbesar di dunia maksudnya adalah tambang tembaga yang memiliki kandungan emas terbesar di dunia, tambang tembaga yang memiliki kandungan emas dan perak. [Hal 42]

Seperti itu, kelebihan dari buku ini, saya lanjut pada kelemahan dari buku ini, pertama, saya justru bertanya bagaimana mungkin seorang Chappy Hakim bisa  tidak mengetahui latar belakang dikeluarkan PP Nomor 1 tahun 2017 menjelang perpanjangan kontrak yang sudah didepan mata ? kalaupun ini menjadi syarat tambahan karena indonesia merugi selama ini, mengapa mereka tidak sadar jika PTFI bisa membawa Indonesia ke arbitrasi seandainya ada dispute, sebab klausul itu ada pada Kontrak sebelumnya.

Berikutnya Chappy Hakim, mungkin tahu sedikit detil mengenai Kasus Papa Minta Saham, tapi itu bukan urusannya sehingga memilih no comment di buku ini, padahal dia bisa tulis sebagai sumbangan positif kepada masyarakat sipil. Mengapa bagi saya dia mungkin tahu, karena dia mengganti koleganya sesama mantan orang TNI AU Maroef Syamsudin yang terlibat “Kasus Papa Minta Saham” bersama Setya Novanto, Ketua DPR RI saat itu. Atau setidaknya dia memahami mengapa tidak ada orang lain, sehingga ia yang dipilih menggantikan Maroef di PTFI.

Kelemahan ketiga, Chappy Hakim terlihat cukup jelas digeser arus kepentingan, sehingga dia sendiri tidak mampu bagaimana cara memulai menulisnya, dia kemudian membatasi diri dalam tulisannya catatan pribadi seorang mantan Presdir PTFI. Misalnya, kalau saya di posisi Chappy Hakim, saya justru akan menulis bagaimana saya dihubungi oleh siapa untuk diangkat menjabat Presdir PTFI dan Ketika saya merasa oleh karena apa maka pilihan pengunduran diri saya adalah jalan terbaik, sejarah mencatat kalau Ali Budiharjo merupakan orang Indonesia yang paling terlama (13 tahun) menduduki kursi Presiden Direktur Freeport, sebaliknya Chappy Hakim adalah orang paling singkat yang menduduki kursi Presiden Direktur PTFI yaitu hanya selang tiga bulan. Semoga saja ada yang bisa menulis sedikit kekurangan dari Chappy Hakim.

Terakhir, patut dan layak berterima kasih juga kepada Chappy Hakim yang  berani menyediakan catatan pribadinya ke dalam buku yang akan menjadi konsumsi public seluruh Indonesia dan masyarakat Papua. @Mnst

Menjelang senja, awal Februari 2021

Selasa, Januari 26

Masa Bodoh Ambrocius, Bukan Natalis Saja

 


Sewaktu viral pernyataan rasialis Ambrocius Nababan, yang kabarnya ia seorang politisi partai Hanura, saya bahkan tidak begitu tertarik untuk ikut berpolemik soal apa yang dialami Natalis Pigay. Saya sendiri cukup tahu siapa Pak Natalis Pigay, dia orang paling terkemuka dalam perjuangan hak asasi manusia di Papua dan Indonesia, mantan Komisioner HAM ini bahkan pernah beberapa kali saya bertemu langsung dengannya, tapi ketika perlakuan rasialis dialaminya, saya sendiri menyadari itu serangan juga kepada saya yang Papua seperti Natalis Pigay, yah kalau tidak terima boleh dilapor ke penegak hukum, jika tidak juga bukan soal, "masa bodoh ambrocius, bukan natalis saja", bukan baru kali ini saja tapi berulang-ulang peristiwa itu terjadi kawan..!, mungkin seperti maksud judul saya.

Mungkin bro atau sis akan tanya, kok, saya acuh tak acuh? silahkan anda berbeda persepsi, bagi saya "masa bodoh ambrocius, bukan natalis saja", saya ingat sebelumnya Filep Karma dia jauh sebelumnya sudah menulis apa yang akan terjadi hari ini, dan itu terus menerus terjadi, dia Filep bahkan menyebutnya "seakan kitorang manusia setengah binatang" dalam judul buku merahnya. Saya kira Filep berdiri dimuka untuk mendeklarasikan bahwa perenungan ini seperti nubuatan moderen untuk Papua, kalau anda seperti yang mereka pikirkan gorilla, monyet, simpanse dan sejenisnya.   

Filep menulis bukunya jauh sebelum ia sendiri mengalami serangan rasialis dari oknum TNI AU di Soekarno Hatta Airport, Tangerang (2015), artis Cita-citata (2015) dan Tri Susanti (2019) menghebohkan Indonesia, Filep tidak sedikitpun membenci apalagi mengajak kita untuk berdemonstrasi, laporan polisi dan segala tetek-bengeknya, Filep justru memprovokasi kesadaran kita seperti ini 

"Perbedaan tidak bisa dipaksakan jadi satu, tapi dalam perbedaan kitorang jadi satu" - Filep Karma 2014

Filep tidak sedikitpun menyerang mereka, dia sebaliknya mendobrak karakter, nasionalisme dan identitas melanesia kita yang rupanya begitu rapuh, kitorang menyadari itu, tapi semakin sukar mengatasinya, padahal baru saja yang lebih gila dari Ambrocius, AM Hendropriyono berkata, pindahkan 2 juta penduduk Irian ke Manado, maaf bro..! itu pengusiran, 😠eiitss... saya tidak mau provokatif.

So, kitorang kemudian persis seperti bayi mungil yang dininabobokan dengan semacam tarik ulur evaluasi dan perpanjangan Otsus serta pemekaran. kita jadinya tidak punya bargaining ke istana Presiden RI, padahal kita bersama beberapa orang baik di istana sama-sama mengerti Papua itu sumber daya alamnya disikat, manusianya diseterika "masa bodoh ambrosius, bukan natalis saja".@Mnst