WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Selasa, April 21

Asian African Conference 2015, Skenario Menutup Pertanyaan Papua ?

Foto kompas.com
Konferensi Asia Afrika (Asian African Conference) 2015 Di bandung, akan diperingati dalam usia yang ke 160, dipastikan lebih dari 21 Pemimpin Negara Asia - Afrika akan menghadiri acara ini. Namun, sejumlah pertanyaan layak diajukan kepada konferensi ini soal Papua terutama. Lantas sudah sejauh mana komitment pemerintah untuk menyelesaikan masalah Papua ??? "sejauh ini Jokowi tidak banyak memberi tanda - tanda harapan mengenai masa depan Papua".  Ada segitu banyak problem hak asasi manusia di Papua yang tidak tuntas. 

Alasan utama pertanyaan ini diajukan kepada Pemerintah Indonesia dan Asian African Conference 2015 sederhana saja :

Pertama, diduga Negara-negara peserta Asian African Conference 2015 ini mengetahui permasalahan hak Asasi Manusia yang dipertanyakan ini, terutama soal Papua, kita teringat tahun 2012, Korea Selatan dan Jepang bahkan mempertanyakan kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat dan perlindungan pembela HAM di Papua kepada Indonesia melalui Universal Periodic Review (UPR) Geneva http://svaxnet.blogspot.com/2012/05/upr-geneva-empat-belas-negara-respon.html , sejauh ini pertanyaan ini belum banyak menghasilkan jawaban kepada komunitas internasional termasuk kepada kelembagaan United Nation, UPR ini seperti akan ditutupi, http://tabloidjubi.com/2013/08/01/paska-upr-inilah-rekomendasi-komite-ham-pbb-terkait-papua/ 

Menodai Asian African Conference 2015 itu sendiri jika pemerintah Indonesia menutupi Papua melalui Asian African Conference 2015 untuk mempengaruhi (mendiplomasi) lebih dari 21 Pemimpin Negara Asia Afrika. Sejarah Asian African Conference mencatat dasa sila Bandung pada 1955 justru menempatkan point Hak Asasi Manusia yang paling kemuka dengan bunyi "Menghormati Hak-hak dasar Manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB (Perserikatan Bangsa - Bangsa)"

Kedua : di dalam Asian African Conference 2015 nanti, Agenda Palestina diangkat oleh pemerintah Indonesia, lalu apa bedanya Pelestina dengan Papua ? Wacana ini bukan untuk mengesampikan permasalahan pertumpahan darah di Palestina yang tidak tuntas, tetapi Papua jauh lebih dekat, Papua juga Manusia, di Papua juga ada muslim dan kristiani seperti di Palestina, So why you let the Papuan ? 

Apakah Asian African Conference 2015 menjadi pola Pemerintah RI untuk menutup pertanyaan soal Papua ? Media on-line http://www.solopos.com/ menulis "begini cara Indonesia taklukan Negara pendukung OPM, http://www.solopos.com/2015/04/19/konferensi-asia-afrika-begini-cara-indonesia-taklukkan-negara-pendukung-opm-596240 sementara situs : http://www.dw.de/ menulis "Papua lebih dekat dari Palestina" http://www.dw.de/papua-lebih-dekat-daripada-palestina/a-18393993, selanjutnya Kompasiana Arkilaus Baho menulis : http://m.kompasiana.com/post/read/713533/3/ada-bau-busuk-dibalik-konferensi-asia-afrika-2015.html 

Artikel diolah dari berbagai sumber media-online



Senin, April 20

“Perspektif : Antara Otonomi Khusus dan Penambahan Kodam Untuk Papua Barat” [Part III]

Doc Gambar Alm. Sahabat saya Demat
Jokowi menurut sejumlah catatan sebelum menjabat sebagai Presiden RI ke-VII telah dua kali masuk ke Papua, kemudian setelah menjabat Presiden RI, Jokowi datang untuk pertamakalinya dalam kapasitas sebagai kepala negara ke Papua pada Desember 2014 di Jayapura, artinya Pak Jokowi sudah tiga kali masuk ke Papua. Disini secara langsung terungkap bahwa “Jokowi tak sekedar menggunakan informasi intelijen soal Papua, tetapi Jokowi rupanya banyak mengetahui secara langsung situasi dan catatan mengenai Papua, bahkan Jokowi menjadi Presiden pertama RI yang merasakan langsung perayaan Natal ketika saat ada korban yang berjatuhan Di Paniai [Papua] pada Desember 2014, meskipun natal itu di tolak oleh kalangan pimpinan gereja di tanah Papua, tetapi Jokowi nekat datang mengikuti natal di Papua”. 

Apabila Jokowi pria Solo yang lembut ini ngotot membentuk Kodam Baru di Papua untuk mendukung pengamanan rencana kunjungan beliau tiga kali dalam setahun ke Papua, tentu sama halnya Jokowi melihat Papua sebagai masalah konflik kekerasan bersenjata atau teroris, disini  tentu kunjungan Jokowi ke Papua mirip kunjungan sang Panglima tertinggi kepada serdadunya di medan pertempuran.

Dan juga persepsi diatas memberi kita arah bahwa, sekalipun pertahanan dan keamanan bukan wewenang daerah dalam rangka otonomi seluas-luasnya, akan tetapi pengembangan postur pertahanan oleh pusat semestinya mendukung Negara demokrasi yang mampu melindungi hak asasi manusia.


Semoga tulisan ini bermanfaat untuk membangun wacana yang lebih konstruktif dalam menata Papua tanpa ada rasa takut masa lalu....”kalau bukan sekarang, kapan lagi ? kalau bukan kitorang, siapa lagi ??   Tabea... Mahikai... Acem Akweii.****[End]

Artikel ini dapat juga di akses pada : http://www.tapanews.com/ dan artikel terkait lainnya : http://banundisimon.blogspot.com/2015/02/plan-to-build-regional-military-command.html 




Senin, April 13

“Perspektif : Antara Otonomi Khusus dan Penambahan Kodam Untuk Papua Barat ” [Part - II]



Kapal Perang TNI AL Pada satu kesempatan di Manokwari

Kedua, Otonomi khusus secara politik adalah win-win solution alias jalan tengah ketika peran militer melalui DOM harus tamat dari Papua dan Papua Barat, penggunaan kekuatan militer telah bukan lagi pilihan yang tepat untuk menyelesaikan masalah dan aspirasi politik, sekali lagi bahwa “Otonomi Khusus menjadi sebuah recognize (pengakuan) Jakarta terhadap hak – hak dasar orang Papua akibat penguarangan yang secara desktruktif terjadi dan dibiarkan.

Ketiga, Otonomi khusus Papua, menjadi sebuah dorongan untuk membentuk system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari otoriter penguasa menjadi Negara demokrasi, melindungi hak asasi manusia warganya dan sanggup untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di dalam negeri tanpa ada satu tetes darah dan air mata.

Dan yang ke-empat, Kebijakan Otonomi khusus Papua pada lain sisi sesungguhnya memberi kontribusi postif bagi reformasi sektor keamanan (security sector reform) nasional Indonesia. Selama puluhan tahun pendekatan keamanan (security approach) atau dikenal juga masalah lainnya problem politik dwifungsi ABRI kerap merusak wajah TNI dari adanya pelibatan TNI di dalam sistem ekonomi capital, politik dan sosial dari Negara dan Pemerintah Daerah ataupun pihak swasta yang berinvestasi terutama di Papua, dari sinilah sesungguhnya iblis kekerasan di dalam keamanan itu ada. Semenjak adanya Otonomi Khsus Papua, peran TNI digeser untuk menjadi alat pertahanan yang melindungi kedaulatan negara termasuk melindungi rakyat. Reformasi sektor keamanan yang disinggung disini menuntut institusi TNI untuk profesional, tidak lagi berada dalam sistem ekonomi dan sosial politik di dalam pemerintah atau masyarakat.

Dan yang terakhir, Ke-enam dalam rangka efektifitas pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, pengurangan postur TNI di Papua dapat berdampak pada penghematan biaya Negara disektor pertahanan dan pembiayaan bisa diarahkan pada sektor pengembangan ekonomi dan infrastruktur di Tanah Papua.

Beberapa persepktif diatas memberi deskripsi bahwa pengembangan postur komando teritorial (koter) melalui Kodam Papua Barat sesungguhnya bukan komitment awal Indonesia terhadap Papua.  rezim SBY sempat menunda penambahan Kodam di Papua dengan alasan anggaran yang terbatas, jika rezim Jokowi – JK meneruskan proyek pembangunan markas Kodam untuk Papua di Manokwari, sama halnya Jokowi menurut bos partai Megawati yang pernah mengeluarkan PP No. 77 tahun 2007 tentang lambang daerah untuk mem-bypass proses yang dibangun Gusdur dalam menyelesaikan disharmonisasi Indonesia dan Papua......" [BERSAMBUNG]

Artikel ini dapat juga dibaca pada : http://www.tapanews.com
 

Minggu, April 12

“Perspektif : Antara Otonomi Khusus dan Penambahan Kodam Untuk Papua Barat ” (Part - I)



Doc Foto ini diambil oleh alm. rekan saya Demat.

Tanah Papua seakan tidak akan pernah senyap dari bunyi sepatu (boots) laras pasukan keamanan militer, berkaca pada sejarah kelam integrasi Papua ke dalam Indonesia melalui proses “Act of free chooice” ala Indonesia (Pepera), masa kelam sepatu (boot) dan senpan laras masih membekas dan seakan sulit untuk dilupakan begitu saja oleh generasi tahun 60-an yang masih hidup saat ini. Sejarah kelam ini oleh penulis-penulis ulung Papua menyebutnya “the memoria passionis” yang artinya “ingatan penderitaan”, ingatan untuk sebuah sejarah kekerasan rezim orde baru yang memakai kekuatan ABRI atau militer saat itu di Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat).



Setelah Jenderal Soeharto dan rezim terguling melalui gelombang reformasi, Mei 1998, perubahan situasi kemudian berubah total dari Jakarta hingga ke daerah, terutama di tanah Papua. Pada masa yang bersamaan gejoak Politik cukup memuncak terutama aspirasi penduduk pribumi #indigenous of Papuan yang menuntut untuk terlepas diri dari Jakarta, bahkan “aspirasi ini telah disampaikan melalui tim 100 dan didengar secara langsung oleh istana yang saat itu menjabat B.J Habibie pada Februari 1999 silam.



Sewaktu KH. Abdurhaman Wahid atau Gusdur menggantikan Habibie sebagai Presiden RI ke-IV, beliau cukup banyak memberi terobosan baru bagi Irian Jaya saat itu, Gusdur mengembalikan nama Papua yang dihilangkan dengan nama “Irian”, bendera bintang kejora dibiarkan berkibar bersamaan dengan bendera nasional merah putih di atas tanah Papua. Meskipun Undang-Undang No. 21 tahun 2001 diundangkan oleh rezim Megawati Soekarno Putri tetapi menurut sejumlah referensi Undang-Undang Otsus Papua adalah adalah “karya rezim Gusdur untuk Papua yang lebih terhormat”, Otonomi khusus Papua menjadi “recognize” bagi pemerintah untuk menyakini dengan serius bahwa “ekses dari kebijakan yang sentralistik telah memicu banyak kesenjangan, termasuk belum sepenuhnya menampakan “penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia” di Papua. Pemerintah mengakui bahwa Papua telah banyak menjadi korban dari praktik kekerasan pemerintah ketika rezim orde baru berkuasa, dan terutama sekitar 24 tahun status DOM (Daerah Operasi Militer) diberlakukan untuk mempertahankan Irian Jaya dan hasil Pepera 1969 saat itu.



Kebijakan politik Otonomi Khusus merupakan upaya untuk mendorong Papua memperbaiki pelbagai permasalahan termasuk didalamnya pelanggaran Hak Asasi Manusia (human rights abuses) dari sejarah kelam diatas. Otonomi khusus diharap menjadi regulasi stimulan guna mendorong terselesainya berbagai permasalahan, tuntutan dan juga berbagai aspirasi di Papua mulai dari saat itu hingga sekarang.



Untuk memastikan proses penyelesaian berbagai permasalahan antara pemerintah dan rakyat Papua berlangsung dengan aman tanpa ada traumatis atau rasa takut masa lalu terhadap militer, Undang-undang Otsus mengakomodir melalui pasal 48 dan pasal 49 bahwa fungsi keamanan di Papua menjadi urusan “Polda Papua atau sekarang telah terbentuk Polda Papua Barat guna menjalankan fungsi kamtibmas dan penegakan hukum’. Undang-Undang Otsus Papua sejalan dengan perubahan yang terjadi pasca TNI dan Polri dipisahkan melalui UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri dan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, adanya kedua undang-undang ini telah merombak banyak peran ABRI sewaktu berkuasa bersama rezim orde baru terutama politik dwi-fungsi ABRI saat itu dilestarikan di dalam Negara termasuk di Papua. 


Menurut persepsi pribadi, bahwa pertama bahwa Otonomi khusus dipahami merupakan policy pemerintah yang tidak melihat perkembangan gejolak politik termasuk aspirasi politik di Papua sebagai permasalahan “separatis, pemberontakan bersenjata ataupun perang saudara” yang tentu memerlukan penanganan serius oleh militer untuk melakukan gelar operasi. Hal ini merupakan perwujudan kebebasan berekspresi yang dijamain konstitusi UUD 1945, dan UU No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat. ....... [BERSAMBUNG..!!!]

Artikel ini  dapat juga diakses pada : www.tapanews.com
 


Sabtu, April 11

"West Papua - Return to Melanesia"

Press Release – Australian West Papua Association
West Papua – Return to Melanesia On the 15 August 1962 an agreement was signed between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea. A vote on a Dutch/Indonesian resolution was adopted by the UN General Assembly …West Papua – Return to Melanesia
On the 15 August 1962 an agreement was signed between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea. A vote on a Dutch/Indonesian resolution was adopted by the UN General Assembly in September 1962 and included this statement:
“The Agreement contains certain guarantees for the population of the territory, including detailed provisions regarding the exercise of the right of self-determination
In 1969, Indonesia chose 1025 electors (one representative for approximately every 700 Papuans) to vote in the UN sanctioned election. Under coercion the electors voted to integrate with Indonesia. The West Papuan people call this act, “The act of no choice”
(Note. AWPA uses the name “West Papua” to refer to the whole of the western half of the Island of New Guinea. However, “West Papua” at this time is divided into two provinces, Papua and West Papua).
West Papua Leaders ‘Summit on Reconciliation and Unification in Vanuatu
At a historic meeting of West Papuan leaders in Port Vila in December 2014, a new organisation called the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) was formed. The groups who have united include the Federal Republic of West Papua (NRFPB), the National Coalition for Liberation (WPNCL) and the National Parliament of West Papua (NPWP). An external secretariat consisting of five elected members from the various groups will co-ordinate the ULMWP activities. Octovianus Mote has been elected as General Secretary, while Benny Wenda, Jacob Rumbiak, Leone Tangahma and Rex Rumakiek are other elected members and spokespeople. The meeting was hosted by the Vanuatu Government, church leaders, chiefs and moderated by the Pacific Council of Churches. The “West Papua Leaders ‘Summit on Reconciliation and Unification” was in response to the MSG leaders inviting all West Papua groups to form an inclusive and united umbrella group to work on submitting a fresh application for membership after their (MSG) special summit in Port Moresby in June 2014.

West Papua Leaders ‘Summit on Reconciliation and Unification in Port Vila
Background
Melanesian Spearhead Group
The Melanesian Spearhead Group (MSG) is one of the two main regional organisations in the Pacific and is composed of the four Melanesian countries of Fiji, Papua New Guinea, Solomon Islands, Vanuatu as well as the Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste (FLNKS) of Kanaky (New Caledonia). The organisation celebrated its 25th anniversary in 2013.
The West Papuan people and their supporters have been calling on the MSG to grant membership to representatives of the West Papuan people for years. In 2013 the West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) applied for full membership of the MSG. Representatives of the group toured the region lobbying the MSG Leaders. However, the issue of membership for West Papua at the MSG’s Summit in Noumea in June 2013 was deferred, but a number of decisions by the leaders of the MSG in relation to West Papua are to be welcomed.
this article taken from http://pacific.scoop.co.nz/

Kamis, April 9

CALL TO DEMONSTRATION : "End 50 Years Of Isolation West Papua"


Join us to call on the Indonesian government to allow free and open access to Papua for international journalists, humanitarian agencies and human rights organisations! 

29 April 2015, 12:00 noon, outside the Indonesian embassy, 38 Grosvenor Square, London W1K 2HW 

West Papua is one of the world’s most isolated conflict spots. For decades, indigenous activists campaigning for their rights have been arrested, disappeared, torture and killed. Local journalists who uncover the truth face lethal risks. Foreign journalists trying to report on Papua have been arrested, deported and even imprisoned. One by one, international humanitarian organisations have closed their Papua offices. Access for UN human rights observers has been closed for eight years. Until Indonesia lifts the repressive restrictions on access to Papua, Indonesian security forces and paramilitaries are free to act with total impunity, and indigenous Papuans will continue to be killed.

Demonstrators will be wearing all-black clothing to protest the media blackout in Papua. They will be carrying placards, some of which will be ‘censored,’ and have their mouths taped shut. This visual protest will highlight the absence of free and open access to Papua for international journalists and human rights observers.

We invite advocacy groups around the world to join our call to the Indonesian government to open access to West Papua. Let the authorities know that the world is watching and standing in solidarity with Papuans. Protest against this veil of secrecy and ask President Jokowi to make good his Presidential campaign promise of opening access to Papua!

Resources for this demonstration, including ideas for ‘censored’ placards and slogans (in English and Indonesian) will be shared via a Dropbox toolkit from 23 March. Please email campaigns@tapol.org for access to this toolkit.

If you plan to organise a demonstration in your country and would like to coordinate with us, please contact us at campaigns@tapol.org.

Please visit www.tapol.org to find out more about our work in West Papua.




"New Footage of West Papua Massacre Cast Spotlight on Military Abuses"

London : New Video footage showing the bloody aftermath of the Paniai massacre' in west Papua, highlights the urgent needs for indonesia to hold an independent and transparent investigation into the tragedy, Minority Group International (MRG) said on thursday.

In December 2014 four unarmed papuan teenargers were killed and 17 more papuans were injured when the Indonesian army and police opened fire on a group of peaceful protestors in Pania, west papua. They had gathered to protest an earlier incindent of violence by the indonesian security forces.

The four minute video, shot by citizen journalist and released publicly for the first time today include first hand testimoni from survivors of the massacre as well as graphic footage taken in the immediate aftermath.
this film gives a disturbing insight into the indonesian military's casual this regards for the lives of the indigenous papuan,' said Esther Cann from Tapol, the protestors had gathered peacefully to chalanges the beating of a young boy the previous day by the indonesian security forces and they were greeted with bullet's.

Resource : you can also visit http://tapol.org/news/new-footage-west-papua-massacre-casts-spotlight-military-abuses