WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Minggu, April 12

“Perspektif : Antara Otonomi Khusus dan Penambahan Kodam Untuk Papua Barat ” (Part - I)



Doc Foto ini diambil oleh alm. rekan saya Demat.

Tanah Papua seakan tidak akan pernah senyap dari bunyi sepatu (boots) laras pasukan keamanan militer, berkaca pada sejarah kelam integrasi Papua ke dalam Indonesia melalui proses “Act of free chooice” ala Indonesia (Pepera), masa kelam sepatu (boot) dan senpan laras masih membekas dan seakan sulit untuk dilupakan begitu saja oleh generasi tahun 60-an yang masih hidup saat ini. Sejarah kelam ini oleh penulis-penulis ulung Papua menyebutnya “the memoria passionis” yang artinya “ingatan penderitaan”, ingatan untuk sebuah sejarah kekerasan rezim orde baru yang memakai kekuatan ABRI atau militer saat itu di Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat).



Setelah Jenderal Soeharto dan rezim terguling melalui gelombang reformasi, Mei 1998, perubahan situasi kemudian berubah total dari Jakarta hingga ke daerah, terutama di tanah Papua. Pada masa yang bersamaan gejoak Politik cukup memuncak terutama aspirasi penduduk pribumi #indigenous of Papuan yang menuntut untuk terlepas diri dari Jakarta, bahkan “aspirasi ini telah disampaikan melalui tim 100 dan didengar secara langsung oleh istana yang saat itu menjabat B.J Habibie pada Februari 1999 silam.



Sewaktu KH. Abdurhaman Wahid atau Gusdur menggantikan Habibie sebagai Presiden RI ke-IV, beliau cukup banyak memberi terobosan baru bagi Irian Jaya saat itu, Gusdur mengembalikan nama Papua yang dihilangkan dengan nama “Irian”, bendera bintang kejora dibiarkan berkibar bersamaan dengan bendera nasional merah putih di atas tanah Papua. Meskipun Undang-Undang No. 21 tahun 2001 diundangkan oleh rezim Megawati Soekarno Putri tetapi menurut sejumlah referensi Undang-Undang Otsus Papua adalah adalah “karya rezim Gusdur untuk Papua yang lebih terhormat”, Otonomi khusus Papua menjadi “recognize” bagi pemerintah untuk menyakini dengan serius bahwa “ekses dari kebijakan yang sentralistik telah memicu banyak kesenjangan, termasuk belum sepenuhnya menampakan “penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia” di Papua. Pemerintah mengakui bahwa Papua telah banyak menjadi korban dari praktik kekerasan pemerintah ketika rezim orde baru berkuasa, dan terutama sekitar 24 tahun status DOM (Daerah Operasi Militer) diberlakukan untuk mempertahankan Irian Jaya dan hasil Pepera 1969 saat itu.



Kebijakan politik Otonomi Khusus merupakan upaya untuk mendorong Papua memperbaiki pelbagai permasalahan termasuk didalamnya pelanggaran Hak Asasi Manusia (human rights abuses) dari sejarah kelam diatas. Otonomi khusus diharap menjadi regulasi stimulan guna mendorong terselesainya berbagai permasalahan, tuntutan dan juga berbagai aspirasi di Papua mulai dari saat itu hingga sekarang.



Untuk memastikan proses penyelesaian berbagai permasalahan antara pemerintah dan rakyat Papua berlangsung dengan aman tanpa ada traumatis atau rasa takut masa lalu terhadap militer, Undang-undang Otsus mengakomodir melalui pasal 48 dan pasal 49 bahwa fungsi keamanan di Papua menjadi urusan “Polda Papua atau sekarang telah terbentuk Polda Papua Barat guna menjalankan fungsi kamtibmas dan penegakan hukum’. Undang-Undang Otsus Papua sejalan dengan perubahan yang terjadi pasca TNI dan Polri dipisahkan melalui UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri dan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, adanya kedua undang-undang ini telah merombak banyak peran ABRI sewaktu berkuasa bersama rezim orde baru terutama politik dwi-fungsi ABRI saat itu dilestarikan di dalam Negara termasuk di Papua. 


Menurut persepsi pribadi, bahwa pertama bahwa Otonomi khusus dipahami merupakan policy pemerintah yang tidak melihat perkembangan gejolak politik termasuk aspirasi politik di Papua sebagai permasalahan “separatis, pemberontakan bersenjata ataupun perang saudara” yang tentu memerlukan penanganan serius oleh militer untuk melakukan gelar operasi. Hal ini merupakan perwujudan kebebasan berekspresi yang dijamain konstitusi UUD 1945, dan UU No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat. ....... [BERSAMBUNG..!!!]

Artikel ini  dapat juga diakses pada : www.tapanews.com