WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Rabu, Desember 7

“Bagian II : (Sambungan) Urgensi Pembentukan Komnas HAM Di Papua Barat”

Propinsi Papua Barat (Doc . Ist)

                                                                  OPINI

Adapun melalui pengaturan diatas, sejak hadirnya implementasi Otonomi Khusus dan juga pressure LSM DI Jayapura yang sangat masif, Komnas HAM perwakilan Papua kemudian terbentuk dan berkedudukan di Jayapura guna melayani berbagai kerja terhadap kasus pelanggaran HAM Papua, Lembaga Komnas ini berdasarkan undang-undang bertujuan mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia serta meningkatkan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia secara khusus di Propinsi Papua.

Lantas, bagaimana dengan Propinsi Papua Barat yang telah eksis lebih dari 13 tahun, apakah tidak membutuhkan lembaga ini, atau tidak ada permasalahan HAM atau mungkin cukupkah kantor perwakilan Jayapura bisa efektif menjangkau konstituen termasuk korban dugaan pelanggaran HAM di Propinsi Papua Barat. Ini menjadi materi perenungan seberapa urgensi pembentukan perwakilan Komnas HAM di Propinsi Papua Barat.

Pertama, patut dipahami bahwa Undang-Undang dengan tegas dan jelas mengatur seperti yang disebut paragrap sebelumnya yakni Komnas HAM berkedudukan di Ibu Kota Negara (Jakarta) dan dapat membentuk kantor perwakilan di daerah (pasal 76 ayat (5) UU HAM dan Pasal 55 ayat (2) UU Otsus Papua). Tentunya dengan dasar tersebut demi tegaknya perlindungan, penghormatan dan pemajuan HAM serta efektifitas implementasi Otonomi Khusus Papua di Propinsi Papua maka idealnya dari norma hukum, Komnas HAM Perwakilan Propinsi Papua Barat layak terbentuk serta berkedudukan di Manokwari.

Kedua, melalui Inpres Nomor 1 tahun 2003 Propinsi Papua Barat telah eksis, yang kemudian pada tahun 2008 berstatus Otonomi Khusus terpisah (dimekarkan) dari Propinsi Papua melalui Undang-undang RI No. 35 tahun 2008 tentang penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2008 menjadi Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua Barat. Adapun konsekuensi dari fakta hukum tersebut pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dapat menjadikan legalitas yang serupa untuk membentuk Komnas HAM perwakilan RI di Propinsi Papua Barat.

Ketiga, sejak tahun 2009 penyaluran dana Otonomi Khusus dalam bentuk transfer penerimaan daerah dari pemerintah pusat di Propinsi Papua barat, tidak lagi melalui Jayapura, dalam pengertian konkrit yakni setiap kebijakan maupun program yang timbul dalam rangka otonomi khusus Papua, termasuk pula Hak Asasi Manusia di Propinsi Papua barat tidak lagi miliki relasi diberbagai aspek dengan Propinsi Papua.

Ke-empat, pada tahun 2011, MRP (Majelis Rakyat Papua) kemudian terbentuk di Propinsi Papua Barat dan berkedudukan di Manokwari, institusi ini sebagai lembaga kultur orang asli Papua. MRP juga berperan pada sektor Hak Asasi Manusia, menurut pasal 5 ayat (2) dan pasal 20 ayat (1) huruf e Undang-Undang Otonomi Khusus, MRP juga bertugas dan berwenang dalam “memperhatikan perlindungan hak-hak orang asli Papua  serta memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya”, secara khusus di Propinsi Papua Barat.

Dan Ke-lima, di tahun 2015, DPR Papua Barat dan Pemerintah Propinsi Papua Barat kemudian membentuk dan mengangkat pengisian 11 kursi Otonomi khusus di DPR Papua Barat, sesuai ketentuan pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Otonomi Khusus. Kursi ini memiliki peran yang seirama dengan Majelis Rakyat Papua untuk memperjuangkan hak-hak dasar orang asli termasuk yang maksud undang-undang Hak Asasi Manusia. Kursi Otonomi Khusus di DPR saat ini bukan lagi representasi partai politik nasional agar tidak lagi menjadi corong kepentingan politik praktis tertentu melainkan kepentingan konstituen yang menjadi affirmative Otsuslah yang diperjuangkan dalam kursi Otsus.

Dengan fakta yang ada saat ini, serta merujuk pada refleksi diatas, setiap insiden atau dugaan kasus pelanggaran HAM secara khusus di wilayah Propinsi Papua Barat hampir terluputkan dari perhatian serius Komnas HAM Papua untuk menyelidik berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Adapun kasus Wasior, tahun 2001 mungkin terlihat aktif di dorong (diikutsertakan bersama kasus wamena tahun 2000) tetapi kasus-kasus lainnya, misalnya kasus pembunuhan kilat 53 warga sipil di Arfai, juli 1969, dan penghilangan paksa Permenas Ferry Awom dan Yosep Inden, di Manokwari tahun 1970, Kasus, penembakan warga sipil di Aimas, Sorong, 30 April 2013 termasuk kasus terakhir, penembakan Sanggeng, 26 – 27 Oktober 2016. Sungguh ironis, sebab kasus – kasus ini jauh dari keseriusan kerja Komnas HAM.

Sementara itu, jikapun Komnas HAM Papua melakukan penyelidikan yang serius, lembaga ini praktis tidak akan miliki bargaining strategis dengan Pemerintah Propinsi Papua Barat yang berdiri sendiri dari Propinsi Papua, hal ini sama halnya juga dengan DPR Papua Barat serta MRP Papua Barat.

Dari keseluruhan argumentasi diatas, maka urgensi perwakilan Komnas HAM Papua Barat sangat tepat dan tidak melanggar hukum untuk segera dibentuk, tidak ada pilihan lain sebab masalah Hak Asasi Manusia di Propinsi Papua Barat juga merupakan kebijakan khusus otonomi khusus dalam regulasi. Pemerintah Propinsi Papua Barat harus yakin bahwa dengan dilindungi, dihormati dan dimajukannya hak asasi manusia di Propinsi Papua Barat maka barometer keberhasilan otonomi khusus dapat terukur secara pasti dan jelas di Propinsi ini.***Black_Fox


Sumber Posting, Artikel Pribadi