WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Selasa, Desember 6

“Urgensi Pembentukan Komnas HAM Di Propinsi Papua Barat”





                                               Opini

Bagian Ke-I

Sebelum memahami lebih mendalam judul diatas, penting menyimak lebih dahulu latar belakang secara singkat, juga Peraturan atau hukum yang menormakan Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) Di Indonesia, teristimewa Di Propinsi Papua dan Papua Barat dengan tujuan, agar lembaga ini dapat dipahami sebagai bagian dari konteks perjalanan hidup orang asli Papua yang diatur berdasarkan Otonomi Khusus Papua.   

Di Indonesia, ketika orde lama maupun orde baru bertahta sekitar 63 tahun, saat itu belum pernah ada pemikiran dari elit Jakarta maupun Daerah (Papua) untuk mengatur, melindungi (to protect), memajukan (to promotions) and menghormati (to respect) hak asasi manusia, dampaknya setiap tindakan aktor – aktor keamanan Negara terutama Militer dan Polisi yang melanggar atau melakukan kejahatan hak asasi manusia, praktis bukanlah sebuah dosa atau crime (tindakan jahat) untuk bisa dituntut ke Pengadilan.

Martabat umat manusia sebagai ciptaan Tuhan benar-benar tidak diakui dalam keberadaan sebuah Negara, fakta-fakta mengungkap orang pribumi Papua indigenous peoples yang berasal dari rumpun ras Melanesia ini paling banyak disasar untuk menjadi tumbal terhadap praktik kejahatan ini. Kalangan korban, banyak mengungkap bahwa “penyelenggaraan act of free choice (Pepera) 1969 yang membawa Indonesia masuk ke Papua, diduga….” proses ini penuh rekayasa, manipulasi, tidak mengikuti New York agreement 1962 dan juga bukan aspirasi mayoritas penduduk pribumi saat itu. Diduga..” Negara kemudian membalas dan melakukan berbagai upaya untuk meredam secara internal keadaan ini dan juga mempengaruhi komunitas internasional yang tengah memantau kejaganggalan yang terjadi, imbasnya orde baru harus menstatuskan DOM (Daerah Operasi Militer) ke bumi Papua untuk misi tersebut. Disinilah akar kejahatan HAM itu tumbuh dan dilestarikan sebagai perintah komando untuk memerangi separatisme dan menghukum sewenang-wenang warga sipil yang tertuduh sebagai subversive atau makar di Tanah Papua.

Ketika kekuasaan rezim orde baru runtuh melalui reformasi Mei 1998, status DOM Papua memang telah resmi dicabut, ABRI bahkan dibubarkan melalui pemisahan TNI, Polri dan BIN, meski demikian tidak bisa berharap banyak pada dinamika tersebut, sebab tugas operasi militer non-perang (OMSP) menumpas separatis didalam Undang-Undang TNI (Undang-Undang No. 34 tahun 2002) tetap masih saja ada dan KUHPidana juga tetap mempopulerkan subversive dan Makar sebagai delik pidana (tindak kejahatan).

Di alam reformasi, Negara memang berusaha mengakui fakta-fakta kejahatan HAM dan coba memperbaiki dengan membentuk regulasi mulai dari Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 26 tahun 2000 yang mengubah Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, Negara juga meratifikasi Kovenan international hak-hak sipil dan politik juga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ke dalam undang-undang RI. Sementara itu kepada Papua pemerintah menyediakan Undang-Undang otonomi khusus (UU No. 21 tahun 2001/UU No.35 tahun 2008) agar HAM memperoleh tempat terhormat di dalam Negara.

Berdasarkan Undang-Undang diatas, maka setiap tindakan yang melanggar HAM akan disebut sebagai “kejahatan”, undang-undang Pengadilan HAM memperjelasnya sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) disamping kejahatan terorisme, narkotika dan korupsi.

Undang-Undang Pengadilan HAM juga mempertegas dengan istilah hukum pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) yang memisahkan kejahatan Kemanusiaan (crimes against humanity) and kejahatan genosida entah dilakukanya dengan senagaja (by commission) ataupun tidak sengaja termasuk pembiaran (by omission), dan kejahatan itu dapat dituntut ke pengadilan HAM yang diatur di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. 

Komisi Nasional HAM kemudian bermunculan melalui list undang-undang diatas, walau sebenarnya institusi ini bukan baru, sebelum reformasi (1998) institusi ini pernah ada melalui Keppres No. 50 Tahun 1993, namun sayangnya “lembaga Komnas ketika itu hanya menjadi stempel Negara yang tidak banyak berperan dalam rezim yang amat kuat saat itu dan bisa saja seperti yang telah disebut diatas mengenai tindakan melanggar HAM bukan perbuatan melanggar hukum”.

Institusi Komnas HAM di dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 18 lembaga Komnas diatur berwenang sebagai penyelidik Kasus Pelanggaran HAM. selanjutnya berdasarkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 lembaga Komnas HAM nampak pada BAB VII, ketentuan pasal 76 ayat (4) dan ayat (5) menyebut Komnas HAM berkedudukan di Ibu Kota Negara (Jakarta) dan dapat juga membentuk kantor perwakilan Di Daerah (Propinsi), Undang-Undang Otonomi Khusus Papua meng-cover ketentuan yang sama di dalam pasal 45 ayat (2) dengan menegaskan “pemerintah dapat membentuk perwakilan Komnas HAM di Propinsi Papua”.

(Bersambung.......****) 

Sumber Posting : Artikel Pribadi