WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Senin, Maret 28

“Menanti Jawaban Hukum MK Untuk PSU Moyeba”


IST. Demokrasi
Bintuni, PSU (Pemungutan Suara Ulang) melalui TPS Moyeba dalam rangka Pemilukada Bupati dan Wakil Bupati Teluk Bintuni Periode 2015 – 2020 telah dilaksanakan dengan sukses, PSU ini berangkat dari amar putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 101/PHP.BUP-XIV/2016 pada amar pertama yang menyatakan “Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Teluk Bintuni, Propinsi Papua Barat untuk melakukan pemungutan suara ulangPemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2015 di TPS 01 Moyeba, Distrik Moskona Utara dalam jangka waktu 30 hari, sejak putusan ini diucapkan”, Putusan Mahkamah untuk perselisihan pemilukada Teluk Bintuni diputus pada 25 Februari 2016”.  

Dari putusan Mahkamah diatas PSU Moyeba berlangsung pada, 19 Maret 2016, atau pada hari ke-22 dari amanat putusan Mahkamah yang memerintahkan PSU Moyeba dalam jangka waktu 30 hari.

Membuka kembali materi putusan Mahkamah terhadap gugatan yang dilayangkan oleh pasangan Pietrus Kasihiuw dan Matret Kokop melawan Komisi Pemilihan Umum Teluk Bintuni, salah satu konklusi mahkamah yakni berdasarkan fakta persidangan Mahkamah “terjadi pelanggaran berupa pencoblosan ganda yang dilakukan oleh ketua KPPS di TPS 1 Moyeba, Distrik Moskona Utara”. [Konklusi 4.5 :amar putusan]

Pada 19 Maret 2016, di TPS 01 Moyeba, PSU berlangsung dengan suatu system yang diklaim menggunakan nama masyarakat adat yakni kesepakatan atau “noken”, dalam system ini sekitar 534 surat suara yang dicetak diduga dicoblos oleh kepala suku Moyeba berinisial “SO dan Kepala Suku Moyeba Utara MO, saat itu ada sekitar puluhan pemilih yang mendatangi TPS untuk menyalurkan hak suara berdasarkan putusan mahkamah tetapi ditolak oleh KPPS.

Potret politik system pencoblosan noken ini tentu bukan pelanggaran hukum seperti pada konklusi putusan mahkamah diatas, tetapi ada fokus penting yang mestinya dijawab mahkamah pasca 19 Maret 2016 diatas.

Pertama siapa pemilik nama dari DPT 534 untuk TPS 1 Moyeba ?,

Pemilik nama pada TPS 01 ini dalam konklusi amar putusan Mahkamah, pada 25 Februari 2016 disebut telah terjadi pelanggaran pencoblosan ganda dalam pengertian inferensi untuk konklusi yang benar adalah pencoblosan sekali yang dilakukan secara langsung oleh pemilik nama pada DPT TPS 01 Moyeba, “ketika pencoblosan telah dilakukan oleh pemilik nama pada DPT tetapi terjadi pencoblosan ulang/ganda maka disitulah pelanggaran”, sesungguhnya ada dua (2) pelanggaran yang dapat dianalisa secara awam, pelanggaran pertama, pencoblosan dilakukan oleh pihak yang tidak legal sebagaimana amanat undang-undang No. 1 tahun 2015 tentang Pemilukada terutama pasal 89 ayat (2) pemberian suara dilakukan oleh pemilih dan pengertian pemilih dari undang-undang yang sama menurut pasal 1 angka 6 disebut pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah pernah kawin yang terdaftar sebagai pemilih di dalam DPT.   

Dan pelanggaran kedua, pencoblosan dilakukan ganda terhadap pemilik nama DPT, tidak ada didalam undang-undang Pemilukada yang mengatur pencoblosan dilakukan lebih dari satu kali selain surat suara dianggap tidak sah apabila mencoblos lebih dari sekali, pencoblosan ganda pada TPS 01 Moyeba pada 9 Desember 2015 adalah pencoblosan yang membuat surat suara tidak sah melalui tindakan pencoretan form C-1 KWK.
Kedua, apa dasar penggunaan kesepakatan alias noken pada pemilukada TPS 01 Moyeba ?

melihat ke belakang, pada 9 Desember 2015 sebelumnya, Pemilukada berlangsung serentak di seluruh Teluk Bintuni dan tidak pernah ada satu TPS pun yang memakai system kesepakatan atau noken. Pada 9 Desember 2015, Peserta pemilih justru mendatangai TPS 01 moyeba dan menyalurkan hak suara, hasil perolehan suara menunjukan pasangan nomor urut 2 memperoleh 126 suara dan pasangan nomor urut 3 memperoleh 405 suara dan pasangan nomor urut 1 tidak memperoleh suara.

Fakta kemudian berbanding terbalik pada 19 Maret 2016, pencoblosan atau PSU berdasarkan amar putusan Mahkamah dilakukan melalui kesepakatan adat (noken) yang kemudian diwakilkan oleh kepala suku moyeba dan moyeba utara untuk mencoblos sekitar 534 surat suara pemilih yang kemudian memenangkan pasangan nomor urut 3 seratus persen.

Menguji dasar penggunaan kesepakatan noken tentu menjadi tanda tanya besar pada penerapan hukum konstitusi di mahkamah, system kesepakatan adat, noken bukan pencoblosan ganda seperti yang tertuang dalam konklusi putusan mahkamah 25 Februari 2016 lalu. Lantas Mahkamah sebaliknya memutus agar dilakukan PSU dalam kurun waktu 30 hari supaya dilakukan PSU di TPS 01 Moyeba, definsi PSU disini akan merujuk pada undang-undang No. 1 tahun 2015 tentang Pemilukada terutama pasal 89 ayat (2) pemberian suara dilakukan oleh pemilih dan pengertian pemilih dari undang-undang yang sama menurut pasal 1 angka 6 disebut pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah pernah kawin yang terdaftar sebagai pemilih di dalam DPT, dengan demikian untuk melaksanakan amar putusan MK sejatinya baru hanya ada dua  (2) surat suara yang tercoblos pada 19 Maret 2016 di Moyeba, 1 surat suara dari Kepala Suku berinisial SO dan satu surat suara lainnya dari MO tercoblos, lalu diapakan 532 surat suara TPS 01 Moyeba pada 19 Maret 2016 ?


Mengapa tidak ada kesepakatan adat Noken untuk 9 Desember 2015 lalu ?

Kalau seandainya TPS 01 Moyeba telah ada kesepakatan adat atau noken untuk menentukan pilihan, mengapa KPU Teluk Bintuni harus menganggarkan dana pemutakhiran data pemilih untuk Moyeba, mencetak surat suara untuk Moyeba, menyelenggarakan pemilihan langsung di moyeba dengan anggaran yang termahal di Indonesia, bukankah ini tindak pidana korupsi ?? pertanyaan selanjutnya, mengapa yang terjadi pada 9 Desember 2015 justru pencoblosan ganda bukan kesepakatan adat noken ? jika kesepakatan adat memang ada, entah sebelum 9 Desember 2015 atau sebelum 19 Maret 2016 mengapa KPU tidak diberitahukan agar menjadi pengusulan ke KPU RI Jakarta agar diakomodir dalam undang-undang, atau negara justru gagal dalam mengakomodir kearifan lokal untuk membentuk regulasi yang demokratis mengakomodir kepentingan rakyat.????..

dan terakhir yang penting untuk eksistensi masyarakat adat, mengapa hanya ada kesepakatan Noken untuk TPS 01 Moyeba sementara TPS di Kampung Mosum, Inofina dan Merestim tidak ada system Noken, padahal Kepala suku SO dan MO toh punya masyarakat juga di wilayah itu yang terdaftar dalam DPT.  menanti jawaban MK, untuk PSU Moyeba.***Black_Fox

Posting ini diolah dari hasil analisa berbagai sumber, hanya untuk kepentingan pengetahuan dan bukan kepentingan politik.


 

Kamis, Maret 10

"Moyeba, Penentu Sejarah Politik Teluk Bintuni"


Potret Kampung Wagura Teluk Bintuni (Doc Pribadi)
Moyeba, kampung ini berlokasi di Distrik Moskona Utara Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Jumlah pemilih di kampung Moyeba berdasarkan data KPU Teluk Bintuni sebanyak 534 Pemilih, Kampung Moyeba saat ini termasuk salah satu kampung terisolir di Teluk Bintuni, kondisi ini mengakibatkan akses informasi juga kerap diisolasikan dari kampung ini dan berbagai kampung lainnya di wilayah Teluk Bintuni.

Ironisnya isolasi Moyeba ini terbuka di meja forum Majelis hakim Mahkamah Konstitusi RI melalui sidang sengketa Pemilukada Nomor 101/PHP.BUP-XIV/2016 antara pasangan calon Bupati dan wakil Bupati Ir. Pietrus Kasihiuw, MT dan Matret Kokop, S.H melawan KPU Teluk Bintuni yang disebut sebagai Termohon. 

Sidang perselisihan hasil Pemilukada Teluk Bintuni adalah sengketa yang mempersoalkan Penetapan KPU Teluk Bintuni tentang rekapitulasi hasil penghitungan pemungutan suara Pemilukada Teluk Bintuni yang ditetapkan dalam Keputusan KPU Teluk Bintuni Nomor : 40 /Kpts/KPU-TB/032.436653/Tahun 2015 , melalui penetapan ini, KPU Teluk Bintuni memutuskan pasangan Nomor urut 1 Agustinus Manibuy, SP. Msi dan Rahmat Urbun, S.Ap memperoleh jumlah suara 7.611, pasangan Nomor urut 2. Ir. Petrus Kasihiuw, MT dan Matret Kokop, S.H memperoleh suara 17.060 dan pasangan nomor urut 3, Daniel Asmorom, S.H. MM dan Yohanes Manibuy, memperoleh suara 17.067, hasil inilah yang kemudian memenangkan pasangan Daniel Asmorom dan Yohanes Manibuy memenangkan Pemilukada Teluk Bintuni.

Sejak awal Januari 2016 sidang Perselisihan hasil Pemilukada Teluk Bintuni sudah digelar oleh lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi RI, Kampung Moyeba menjadi kampung yang paling sering diperbincangkan dalam proses hukum persidangan Perselisihan hasil pemilukada Teluk Bintuni, selain kampung Moyeba ada juga kampung Mosum, Inofina dan Merestim yang keseluruhannya berlokasi di wilayah Distrik Moskona Utara atau yang disebut melalui mekanisme KPU Teluk Bintuni, PPD Moskona Utara.

Di Moyeba, TPS di kampung tersebut menjadi pokok perkara sebab penetapan KPU Teluk Bintuni yang mengesahkan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Teluk Bintuni Nomor Urut 2 yang hanya memperoleh 8 suara dan pasangan Nomor urut 3 memperoleh suara 526 dinyatakan tidak sah versi Pemohon (pasangan nomor urut 2).

Sedangkan versi  rekapitulasi Pemohon, hasil perolehan suara di Moyeba yakni pasangan nomor urut 2 memperoleh 126 suara dan pasangan nomor urut 3 memperoleh 405 suara.  Perbedaan rekapitulasi di Moyeba antara Pemohon dan KPU Teluk Bintuni juga terjadi di KampungMosum, Inofina dan Merestim perbedaan ini kemdian dibuktikan dengan adanya barang bukti pemberian uang sejumlah Rp. 100 Juta rupiah pada 10 Desember 2015 lalu dan terdapat pencoretan hasil perolehan suara TPS melalui form C-1 KWK.

Mahkamah setelah mempertimbangkan mengambil putusan yang pada pokoknya sebagai berikut  :

  1. Memerintahakan kepada KPU Teluk Bintuni agar Pemilukada di TPS 1 Moyeba  diulang dalam jangka waktu, 30 hari setelah putusan diucapkan.
  2. Memerintahkan KPU Teluk Bintuni, melaporkan kembali secara tertulis hasil PSU (Pemungutan Suara Ulang) di TPS Moyeba paling lambat 7 hari setelah PSU
  3. Memerintahkan Polri untuk melakukan pengamanan PSU di Moyeba hingga adanya laporan hasil PSU moyeba diterima Mahkamah Konstitusi.
Tindak lanjut dari putusan ini, KPU Teluk Bintuni menjadwalkan PSU di TPS Moyeba akan segera berlangsung pada Sabtu, 19 Maret 2016 mendatang. Saat ini, Ketua KPU Teluk Bintuni memastikan bahwa DPT Moyeba "tidak ada perubahan" dipastikan 534 Pemilih akan kembali memilih ulang pada 19 Maret 2016 mendatang. 
 
PSU di Kampung Moyeba ini dalam pandangan kritis menjadi sejarah baru perpolitikan Teluk Bintuni yang langka terjadi di wilayah - wilayah yang dimana kekuatan incumben juga mendapati back-up dari partai-partai penguasa, belum lagi terjadi pada daerah otonom baru yang boleh dikata usia mudah tentu tidak mudah. Teluk Bintuni baru saja mempurnatugaskan Drg. Alfons Manibuy, sosok yang memimpin Teluk Bintuni lebih dari 10 tahun bersama partai Golkar, tentunya cukup 10 tahun saja sudah pasti ada (menyediakan) kekuatan terorganisir untuk membina kekuatan politik sebagai upaya untuk memperpanjang kekuasaan namun situasi ini berbeda ketika tongkat estafet itu diterima Daniel Asmorom, mantan Ketua DPRD Teluk Bintuni yang telah berjasa memelihara kekuatan partai Golkar di Teluk Bintuni termasuk Moyeba yang diperoalkan melalui Mahkamah Konstitusi.
 
secara pribadi fakta-fakta persidangan Mahkamah Konstitusi memperlihatkan dengan jelas bahwa ada kekuasaan yang dijalankan tanpa batas untuk meraih kekuasaan, Mahkamah sepintas mengambil jalan tengah untuk merumuskan sejarah Politik Teluk Bintuni ketimbang mengurai konflik yang tentu menguras kerugian yang lebih besar dari sekedar sengketa Pemilukada. 
 
Sebab bisa saja tiga kontestan Pemilukada Teluk Bintuni tahun 2015 lalu adalah putra-putra terbaik Teluk Bintuni, ke-tiga kontestan ini miliki kapasitas yang sama untuk melanjutkan kemajuan yang telah dicapai oleh pemimpin sebelumnya. keadaan in adalah sejarah baru yang bisa sebagai kekuatan perubahan, kekuatan itu sedang digenggam oleh rakyat Teluk Bintuni, Mahkamah Konstitusi memberi mandat kepada kekuatan itu untuk menata kehidupan demokrasi melalui PSU di wilayah yang terisolir tentu hal ini menjadi refleksi tersendiri bagi kehidupan demokrasi untuk jangka panjang di wilayah Teluk Bintuni.
 
Makna tersendiri dari Putusan Mahkamah Konstitusi tentu bukan untuk mengadili pihak mana yang terlibat kriminal tetapi lebih untuk menentukan pelibatan peran penyelenggara Pemilukada (KPU Teluk Bintuni), Pengawas (Panwaslu Teluk Bintuni) dan Polri untuk menjaga kekuatan politik rakyat Teluk Bintuni dapat terpelihara berlanjut selepas Drg. Alfons Manibuy memimpin Teluk Bintuni..."Moyeba, penentu sejarah Politik, Teluk Bintuni.."***Black_Fox
 
  



Senin, Maret 7

"Hoax, Pengembalian Otsus Papua"

Pengembalian Otonomi Khusus Papua sama dengan "Hoax", istilah tersendiri dari bahasa inggris yang mengendung arti "berita bohong". lanjutnya "hoax" ini bukan ditujukan kepada media tetapi terhadap aparatur pemerintah daerah yang terakhir ini dalam pemberitaan miliki semangat 45 mengembalikan Otonomi Khusus Papua. 


Otonomi Khusus Papua diberikan Jakarta sepaket dengan anggaran yang melimpah dari Kementrian Keuangan RI, sejak tahun 2002 silam dana Otonomi Khusus Papua sudah membanjiri tanah Papua yang kaya raya potensi sumber daya alam ini. banyak kalangan ketika itu menilai, Papua layak menerima anggaran yang melimpah sebab telah terjadi pengerukan kekayaan alam yang tanpa batas oleh Jakarta terutama.

Gejala kegagalan Otonomi khusus Papua sebenarnya sudah nampak dihati rakyat Papua sejak lama pasca implementasi, Dewan Adat Papua (DAP) menangkap sinyal ini lebih dulu dan menggalang kekuatan massa orang Papua pada Agustus 2005 turun ke Jalan untuk mengembalikan Otonomi Khusus Papua. Pengembalian ini tidak punya arti apa-apa sebab kalangan birokrat di Papua justru membuka rekening di Bank - Bank se-Papua untuk menerima saluran dana Otonomi Khusus.

Pada pertengahan Tahunn 2013, sebaliknya Jayapura dibawah rezim Gubernur Lukas Enembe lah yang paling aktif mendorong penguatan Otonomi Khusus Papua, Enembe diketahui secara diam-diam membicarakan Otsus dengan Presiden SBY rekan sesama Partai Demokrat yang kemudian mengabaikan Propinsi Papua Barat. baca link : http://banundisimon.blogspot.co.id/2014/01/untuk-apa-pak-bram-atururi-taramau.html

Otonomi Khusus Plus saat itu marak diberitakan media hingga perdebatan alot di Jakarta terjadi antara Jayapura dan Manokwari terhadap beberapa klausul pasal dalam Otsus Plus, RUU Otsus Plus ini kemudian tertunda hingga rezim SBY diambil alih melalui Jokowi dan PDI Perjuangan melalui Pilpres yang dimenangkan tahun 2014.  Akhirnya Polemik Otonomi Khusus Plus berhenti disitu.

Menjelang akhir tahun 2015 hingga Maret 2016 ini, Jayapura kembali menyuarakan pengembalian Otonomi Khusus, rakyat kecil bisa bertanya mengapa demikian ? mau diapakan Otonomi Khusus ? atau Otonomi Khusus Plus ? disitu ada uang rakyat yang digunakan cukup besar dalam berbagai proses dan kegiatan. mengapa ketika pejabat elit Jakarta mulai singgung dana Otsus, http://banundisimon.blogspot.co.id/2016/02/kemenkopolhukam-dan-bin-mulai-singgung.html di Papua justru terjadi gejolak penolakan?, dengan demikian sangat tepat untuk disebut "Hoax, Pengembalian Otsus Papua". ***Black_Fox

 
   

Kamis, Maret 3

“Propinsi Papua Barat menyumbang 7 Daerah Tertinggal Untuk Indonesia”


IST. Peta Wilayah Propinsi Papua Barat

Manokwari City, Propinsi Papua Barat telah menyumbang sedikitnya Tujuh (7) Kabupaten untuk Di tetapkan Presiden Joko Widodo sebagai Daerah Tertinggal di Indonesia, pelibatan tujuh daerah ini bersamaan dengan 122 Daerah lainnya se-Indonesia yang telah distatuskan untuk menjadi Daerah tertinggal. Penetapan ini dilakukan Jakarta pertanggal, 4 November 2015 lalu, berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor : 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal, tahun 2015 – 2019.

Ketuju Daerah di Propinsi Papua Barat yaitu, Kabupaten Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Sorong Selatan, Kabupaten Sorong, Raja Ampat, Tambrauw dan Maybrat

Daerah tertinggal di atas berdasarkan Perpres ini adalah daerah yang disebut "masyarakatnya kurang berkembang dengan masyarakat pada daerah lainnya dalam skala nasional" yang kemudian ditetapkan berdasarkan kriteria :  “Perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah , aksesibilitas dan karakteristik daerah”, demikian yang dapat dipahami substantif dari Perpres tersebut. 

Propinsi Papua Barat saat ini terdiri atas 12 Kabupaten dan 1 Kota, sumbangan ini menjadi tidak berarti, sebab disaat yang bersamaan belum ada pemikiran untuk perbaikan pengukuran status tertinggal, justru 7 daerah ini sedang berpartisipasi dalam mendorong pemekaran daerah otonom baru dari wilayah 7 daerah ini. 

Pemda Teluk Wondama aktif mendorong pembentukan Daerah Otonom Baru Kuri Wamesa, sementara Bintuni mengupayakan pemekaran Moskona menjadi Kabupaten pemekaran di tengah – tengah Bintuni – Sorong Selatan, Raja Ampat bahkan serius untuk memisahkan Raja Ampat Utara dan Raja Ampat Selatan sebagai Daerah Otonom Baru terpisah dari Waisai Pusat Ibu Kota Raja Ampat, demikian juga Tambrauw yang mendukung sebagian wilayah dicaplok oleh rencana calon Daerah Pemekaran Kabupaten Manokwari Barat dan Maybrat yang mendukung secara pasti calon Daerah Otonom Baru, Maybrat Saw.  

Dari situasi diatas, praktis periode daerah tertinggal 2015 – 2019 menurut Perpres Jokowi hanya kertas hampa, sebab energi Pemerintah Daerah tertinggal ini akan terkuras ke mempersiapkan suprastruktur serta infrastruktur  Daerah Otonom baru dari pada memikirkan pemajuan “Perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah”.  

Meski demikian, sang Presiden punya kekuasaan dan pengaruh di pusat untuk menahan laju progres pemekaran Daerah Otonom Baru ini, terutama kewenangan untuk menolak pengajuan Rancangan Undang-Undang Daerah Otonom Baru yang di dorong oleh Parlement. Presiden diketahui lebih banyak masuk ke Papua dan Papua Barat ketimbang parlement (DPR – RI), tentunya seorang Presiden paling mengetahui mengapa daerah- daerah di Papua Barat menjadi tertinggal selama 2015 – 2019, and why ? Daerah Otonom Baru penting ditunda. Presiden melalui staf khusus dan pembisik pasti memahami, jika masih tidak masuk akal pembentukan daerah otonom baru dapat meningkatkan   “Perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah” di Propinsi Papua Barat.  ****black_fox 

Sumber : Artikel Pribadi

“Bupati Manokwari Akan Melarang Supermarket Menjual Sayur”


Pasar Boswesen - Sorong (Foto : Pustaka Anak Papua/Facebook)
Manokwari City, Super market di Kota Manokwari akan dilarang untuk menjual sayur - sayuran. Selama ini sayur – sayuran yang beredar dan diperdagangkan di supermarket kebanyakan didominasi oleh produk luar Papua, sayur ini diduga dipasok dari luar Papua terutama pulau jawa. Akibatnya konsumen sayur di Kota Manokwari dari kalangan kelas menengah ke atas tidak pernah berkunjung ke pasar-pasar tradisional untuk membeli sayur produksi petani lokal Manokwari, para konsumen lebih tertarik untuk datang ke supermarket untuk membeli sayur. Salah satu alasan diketahui secara umum, yaitu pasar-pasar tradisional disebut kotor sehingga pembeli tidak ingin masuk ke pasar tradisional untuk membeli sayur.

“Bupati Manokwari, Paulus Demas Mandacan yang baru dilantik pada 17 Februari 2016 lalu merasa prihatin dengan keadaan ini, Bupati menegaskan, “kedepan kita perlu mengatur supaya apa yang telah dijual di Pasar tidak dijual di Mall atau Supermarket, supaya masyarakat kalau mau beli sayur langsung ke pasar. Kebersihan pasar juga akan diperhatikan, aka nada satu peraturan Bupati tentang penjualan sayur di pasar dan Supermarket, tegas Bupati.!


Di Pasar – pasar tradisional Manokwari, penjual sayur adalah dari kalangan penduduk orang asli Papua, mama – mama Papua di pasar tradisional sudah dikenal sejak lama sebagai penjual sayur-sayuran hasil bumi Papua, hasil usaha (jualan) mereka digunakan sepenuhnya untuk membiayai kebutuan ekonomi rumah tangga, termasuk biaya pendidikan anak - anak yang bersekolah. Mama – mama Papua ini tidak pernah mempunyai akses dengan pemilik mall atau supermarket untuk menjual sayur mereka di supermarket, bila musim hujan tiba, pasar menjadi kotor, pembeli di Manokwari tidak berkunjung ke pasar untuk membeli jualan mereka, mengakibatkan tidak ada penghasilan untuk rumah tangga mereka.

Sedikitnya ada dua pasar utama yang disediakan Pemerintah di Manokwari, pasar wosi dan pasar Sanggeng, pada kedua pasar ini, kebanyakan mama-mama Papua yang berjualan sayur – sayuran dan hasil bumi lainnya beralas karung di tanah yang kotor, sementara para pedagang luar Papua di kedua Pasar ini mendapati tempat yang bersih untuk usaha jualan mereka seperti pakaian, beras, warung makan dan lainnya yang bukan hasil bumi Papua.***Black_Fox

Sumber : Posting Blog ini diolah dari media lokal Manokwari dan pengamatan pribadi