WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Senin, Maret 28

“Menanti Jawaban Hukum MK Untuk PSU Moyeba”


IST. Demokrasi
Bintuni, PSU (Pemungutan Suara Ulang) melalui TPS Moyeba dalam rangka Pemilukada Bupati dan Wakil Bupati Teluk Bintuni Periode 2015 – 2020 telah dilaksanakan dengan sukses, PSU ini berangkat dari amar putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 101/PHP.BUP-XIV/2016 pada amar pertama yang menyatakan “Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Teluk Bintuni, Propinsi Papua Barat untuk melakukan pemungutan suara ulangPemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2015 di TPS 01 Moyeba, Distrik Moskona Utara dalam jangka waktu 30 hari, sejak putusan ini diucapkan”, Putusan Mahkamah untuk perselisihan pemilukada Teluk Bintuni diputus pada 25 Februari 2016”.  

Dari putusan Mahkamah diatas PSU Moyeba berlangsung pada, 19 Maret 2016, atau pada hari ke-22 dari amanat putusan Mahkamah yang memerintahkan PSU Moyeba dalam jangka waktu 30 hari.

Membuka kembali materi putusan Mahkamah terhadap gugatan yang dilayangkan oleh pasangan Pietrus Kasihiuw dan Matret Kokop melawan Komisi Pemilihan Umum Teluk Bintuni, salah satu konklusi mahkamah yakni berdasarkan fakta persidangan Mahkamah “terjadi pelanggaran berupa pencoblosan ganda yang dilakukan oleh ketua KPPS di TPS 1 Moyeba, Distrik Moskona Utara”. [Konklusi 4.5 :amar putusan]

Pada 19 Maret 2016, di TPS 01 Moyeba, PSU berlangsung dengan suatu system yang diklaim menggunakan nama masyarakat adat yakni kesepakatan atau “noken”, dalam system ini sekitar 534 surat suara yang dicetak diduga dicoblos oleh kepala suku Moyeba berinisial “SO dan Kepala Suku Moyeba Utara MO, saat itu ada sekitar puluhan pemilih yang mendatangi TPS untuk menyalurkan hak suara berdasarkan putusan mahkamah tetapi ditolak oleh KPPS.

Potret politik system pencoblosan noken ini tentu bukan pelanggaran hukum seperti pada konklusi putusan mahkamah diatas, tetapi ada fokus penting yang mestinya dijawab mahkamah pasca 19 Maret 2016 diatas.

Pertama siapa pemilik nama dari DPT 534 untuk TPS 1 Moyeba ?,

Pemilik nama pada TPS 01 ini dalam konklusi amar putusan Mahkamah, pada 25 Februari 2016 disebut telah terjadi pelanggaran pencoblosan ganda dalam pengertian inferensi untuk konklusi yang benar adalah pencoblosan sekali yang dilakukan secara langsung oleh pemilik nama pada DPT TPS 01 Moyeba, “ketika pencoblosan telah dilakukan oleh pemilik nama pada DPT tetapi terjadi pencoblosan ulang/ganda maka disitulah pelanggaran”, sesungguhnya ada dua (2) pelanggaran yang dapat dianalisa secara awam, pelanggaran pertama, pencoblosan dilakukan oleh pihak yang tidak legal sebagaimana amanat undang-undang No. 1 tahun 2015 tentang Pemilukada terutama pasal 89 ayat (2) pemberian suara dilakukan oleh pemilih dan pengertian pemilih dari undang-undang yang sama menurut pasal 1 angka 6 disebut pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah pernah kawin yang terdaftar sebagai pemilih di dalam DPT.   

Dan pelanggaran kedua, pencoblosan dilakukan ganda terhadap pemilik nama DPT, tidak ada didalam undang-undang Pemilukada yang mengatur pencoblosan dilakukan lebih dari satu kali selain surat suara dianggap tidak sah apabila mencoblos lebih dari sekali, pencoblosan ganda pada TPS 01 Moyeba pada 9 Desember 2015 adalah pencoblosan yang membuat surat suara tidak sah melalui tindakan pencoretan form C-1 KWK.
Kedua, apa dasar penggunaan kesepakatan alias noken pada pemilukada TPS 01 Moyeba ?

melihat ke belakang, pada 9 Desember 2015 sebelumnya, Pemilukada berlangsung serentak di seluruh Teluk Bintuni dan tidak pernah ada satu TPS pun yang memakai system kesepakatan atau noken. Pada 9 Desember 2015, Peserta pemilih justru mendatangai TPS 01 moyeba dan menyalurkan hak suara, hasil perolehan suara menunjukan pasangan nomor urut 2 memperoleh 126 suara dan pasangan nomor urut 3 memperoleh 405 suara dan pasangan nomor urut 1 tidak memperoleh suara.

Fakta kemudian berbanding terbalik pada 19 Maret 2016, pencoblosan atau PSU berdasarkan amar putusan Mahkamah dilakukan melalui kesepakatan adat (noken) yang kemudian diwakilkan oleh kepala suku moyeba dan moyeba utara untuk mencoblos sekitar 534 surat suara pemilih yang kemudian memenangkan pasangan nomor urut 3 seratus persen.

Menguji dasar penggunaan kesepakatan noken tentu menjadi tanda tanya besar pada penerapan hukum konstitusi di mahkamah, system kesepakatan adat, noken bukan pencoblosan ganda seperti yang tertuang dalam konklusi putusan mahkamah 25 Februari 2016 lalu. Lantas Mahkamah sebaliknya memutus agar dilakukan PSU dalam kurun waktu 30 hari supaya dilakukan PSU di TPS 01 Moyeba, definsi PSU disini akan merujuk pada undang-undang No. 1 tahun 2015 tentang Pemilukada terutama pasal 89 ayat (2) pemberian suara dilakukan oleh pemilih dan pengertian pemilih dari undang-undang yang sama menurut pasal 1 angka 6 disebut pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah pernah kawin yang terdaftar sebagai pemilih di dalam DPT, dengan demikian untuk melaksanakan amar putusan MK sejatinya baru hanya ada dua  (2) surat suara yang tercoblos pada 19 Maret 2016 di Moyeba, 1 surat suara dari Kepala Suku berinisial SO dan satu surat suara lainnya dari MO tercoblos, lalu diapakan 532 surat suara TPS 01 Moyeba pada 19 Maret 2016 ?


Mengapa tidak ada kesepakatan adat Noken untuk 9 Desember 2015 lalu ?

Kalau seandainya TPS 01 Moyeba telah ada kesepakatan adat atau noken untuk menentukan pilihan, mengapa KPU Teluk Bintuni harus menganggarkan dana pemutakhiran data pemilih untuk Moyeba, mencetak surat suara untuk Moyeba, menyelenggarakan pemilihan langsung di moyeba dengan anggaran yang termahal di Indonesia, bukankah ini tindak pidana korupsi ?? pertanyaan selanjutnya, mengapa yang terjadi pada 9 Desember 2015 justru pencoblosan ganda bukan kesepakatan adat noken ? jika kesepakatan adat memang ada, entah sebelum 9 Desember 2015 atau sebelum 19 Maret 2016 mengapa KPU tidak diberitahukan agar menjadi pengusulan ke KPU RI Jakarta agar diakomodir dalam undang-undang, atau negara justru gagal dalam mengakomodir kearifan lokal untuk membentuk regulasi yang demokratis mengakomodir kepentingan rakyat.????..

dan terakhir yang penting untuk eksistensi masyarakat adat, mengapa hanya ada kesepakatan Noken untuk TPS 01 Moyeba sementara TPS di Kampung Mosum, Inofina dan Merestim tidak ada system Noken, padahal Kepala suku SO dan MO toh punya masyarakat juga di wilayah itu yang terdaftar dalam DPT.  menanti jawaban MK, untuk PSU Moyeba.***Black_Fox

Posting ini diolah dari hasil analisa berbagai sumber, hanya untuk kepentingan pengetahuan dan bukan kepentingan politik.