WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Rabu, September 3

“Paradoks, Korupsi Di Papua Barat”



Gedung Pengadilan TIPIKOR Papua Barat (Doc Foto Pribadi)
Personal Artikel

Beberapa waktu lalu (Sabtu, 23/08/2014) sejumlah harian Media lokal Manokwari merilis pernyataan mengejutkan datang dari Ketua PN (Pengadilan Negeri) Manokwari mengenai capaian Pengadilan Tindak pidana Korupsi Papua Barat, Per-Januari – Agustus 2014 dalam menyidangkan perkara tindak pidana korupsi. Ketua PN Manokwari, Maryono, SH, M.Hum mengatakan bahwa “Sejak, Januari sampai dengan Agustus 2014, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Papua Barat telah menyidangkan 27 Perkara Tindak Pidana Korupsi, 14 kasus sudah diputuskan, sedangkan sisanya 13 perkara masih dalam proses persidangan”, Demikian pernyataan yang datang dari Ketua PN yang merangkap sebagai Ketua Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Papua Barat.

Pengadilan Tipikor Papua Barat selama ini dikenal oleh masyarakat Papua Barat terutama, sebagai satu-satunya Pengadilan Tipikor di wilayah Propinsi Papua Barat, namun tidak banyak yang mengetahui pengadilan yang dibentuk berdasarkan pasal 54 UU No. 30 Tahun 2002  ini sudah seberapa jauh berandil dalam mengurangi praktik kejahatan korupsi birokrat di Papua Barat atau paling tidak ada efek jerah bagi pelaku (Koruptor), sehingga jumlah kasus berkurang.

Saat ini, masyarakat mengetahui dengan pasti bahwa prevalensi angka korupsi terbesar ketiga Di Indonesia yang digenggam Propinsi ini (Papua Barat) tidak seimbang dengan volume pembangunan terutama sarana dan prasarana sosial yang mengalami peningkatan.  Pada awal tahun 2014 misalnya, release BPK RI tahun 2014 terdapat 478 Kasus serta temuan kerugian negara 207.395 Miliyar di Propinsi papua Barat. Menyimak sejumlah pemberitaan di media-media lokal yang sangat pro-aktif meliput perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Papua barat, diketahui tindak pidana korupsi melibatkan pejabat kalangan atas, kejahatan ini secara masif menjalar pada struktur organ Pemerintahan Daerah, Eksekutif, Legislatif maupun organ kelembagaan kultur Orang Asli Papua (MRPB) juga tidak luput dari sasaran kejahatan ini. Dampaknya  bongkar pasang posisi (Jabatan) kerap kali terjadi di jajaran Pemerintahan Propinsi dan Kabupaten Kota di Wilayah Papua Barat, lantaran sejumlah pejabat terlibat dalam kasus sehingga harus menjalani persidangan sebagai tersangka atau menjalani masa hukuman sebagai terpidana korupsi.

Meskipun di Propinsi Papua Barat telah berdiri dua lembaga auditor masing – masing BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) Perwakilan Propinsi Papua Barat dan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan) yang berdampingan ataupun sebagai mitra Pemerintah Daerah  yang selalu aktif menyediakan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) untuk skala kepentingan perbaikan laporan Pemerintah Daerah (LKPD) “akan tetapi laju kasus korupsi di atas seperti sebuah paradoks yang mengarah pada ketidakberdayaan aparatur pemerintah”. Ironisnya, BPKP Perwakilan Papua Barat yang selama ini menjadi partner Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota di Papua Barat, justru pada bulan Mei 2014 kemarin, mempublikasikan temuan kerugian Negara di Papua Barat Periode Januari – Mei menembus nilai rupiah 13 Miliyar lebih, tentunya sangat riskan sekali fakta-fakta tersebut, aparatur birokrasi ternyata begitu mudah tersandera kasus hukum disektor anggaran. Fakta legitimasi maraknya kasus-kasus korupsi di Papua Barat pernah diungkap oleh salah seorang pejabat  DPR PB Periode 2009 – 2014, secara terang-terangan mengaku pada sesi wawancara dengan penulis untuk topik lain (bukan korupsi) bahwa, “...Media terlalu ceroboh memblow- up kasus korupsi, mereka (media) tidak melihat situasi yang dihadapi dewan, ada banyak masyarakat datang minta bantuan dan lain sebagainya, terpaksa kita harus ambil uang yang ada untuk diserahkan kepada masyarakat”, jika tidak mereka akan bilang apa kepada dewan”, demikian jawaban singkat yang diberikan berkaitan dengan permasalahan penyimpangan anggaran di Papua Barat.        

Dari uraian keseluruhan kondisi di atas kemudian mengindikasikan sebuah paradoks mengenai kasus penyimpangan anggaran yang melanggar UU No. 31 tahun 1999 dan atau yang telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor benar - benar terjadi di Propinsi Papua barat. Kondisi ini mengirim sinyal Persepsi sosial bahwa di satu sisi masyarakat layak mengapresiasi Pengadilan Tipikor Papua Barat, berkenaan dengan wujud keseriusannya dalam memberantas terjadinya kasus korupsi pada jajaran pemerintahan Propinsi dan Kabupaten/Kota di Papua Barat, akan tetapi sebaliknya pada sisi lainnya pernyataan ketua PN Manokwari tersebut mengindikasikan sebuah paradoks yang cukup menggelisahkan dan bahkan menuai keragu-raguan publik, kesannya tindakan prefentif penegakan hukum pemberantasan Korupsi ternyata belum mampu menahan laju kerugian Negara yang terjadi di Propinsi Papua Barat.

Lantas pertanyaanya, akankah progress (kemajuan) penegakan hukum melalui Pengadilan Tipikor ini hanya sekedar menjalankan tugas pengadilan Tipikor Papua Barat ? atau asumsi lainnya pengadilan Tipikor sebagai penegak citra postif PN Manokwari dari kesan negatif masyarakat berkaitan dengan putusan-putusan kontroversi kasus-kasus Non-Tipikor, atau proses hukum di Pengadilan Tipikor hanya upaya mengelabui masyarakat dari kasus – kasus biasa (kecil) sembari menutupi kasus kejahatan berskala besar yang terjadi di Propinsi Papua Barat.dari uraian asumsi di atas inilah yang kemudian menurut pendapat pribadi saya pertama rangking korupsi yang sementara dilidik maupun disidik melalui temuan BPK RI ataupun BPKP adalah “ujian pada sebuah Paradoks, apakah upaya penegakan hukum melalui institusi penegak hukum di peradilan sudah seberapa mampu membuktikan komitment penegakan hukum tindak pidana Korupsi.

Kedua Kejahatan tindak pidana korupsi adalah kasus yang oleh ahli disebut kejahatan luar biasa extra-ordinary crime, dengan demikian dalam memberantas kejahatan ini tidak sekedar menjalankan fungsi peradilan, akan tetapi integritas, komitment serta kapasitas intelektual aparatur pro-justitia sangat diharapkan. Sebab hal yang paling utama dari sebuah paradoks sebuah kasus korupsi di papua barat adalah fungsi aparatur.
Bravo keadilan.

Artikel ini telah di muat pada harian local Manokwari "Cahaya Papua" Edisi, Rabu, 3 September 2014.