WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Senin, Desember 15

Seberapa Mungkin Menggugat RTRW Papua Barat (Bagian I)



Khawasan Gunung Botak (Minseta : Bhs Daerah) Status Khawasan ini HL, namun berkaitan dengan rencana pengambilan material untuk industri pabrik sement, dari investor SDIC asal China, khawasan ini diminta investor agar masyarakat adat Siep (Momiwaren/Manokwari Selatan) ikut mendorong perubahan status khawasan oleh Kementrian Lingkungan Hidup untuk menjadi APL (Doc Foto Pribadi)

Sejarah RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Di Propinsi Papua Barat, konon simpang siur proses penggodokannya sampai dengan ada areal wilayah yang sempat mengalami status holding zone alias wilayah yang dipending statusnya. RTRW Propinsi Papua Barat baru kemudian diisukan telah disahkan sepenuhnya melalui produk hukum Perda Propinsi Papua Barat, yang masih bersifat katanya Perda No. 4 tahun 2013.


Kalangan LSM menilai produk RTRW Papua Barat mengancam khawasan konservasi yang merupakan hak mutlak masyarakat, kemudian menggasa pertemuan pada, 7 – 8 Febuari 2014 di Holiday park Hotels, Manokwari, dari pertemuan tersebut menghasilkan rekomendasi yang berisikan tuntutan terhadap pemerintah Propinsi Papua Barat supaya menunda pengesahan RTRW Papua Barat. Ironisnya rekomendasi ini gagal memaksa pihak pemerintah untuk melakukan penundaan terhadap RTRW, terpaksa jalan lain untuk melakukan advokasi terhadap RTRW Pemda Papua Barat adalah melalui opsi gugatan hukum. 


Gugatan itu sendiri sepengetahuan hukum pribadi tentu adalah “hak setiap orang, setiap kelompok/organisasi ataupun badan hukum apapun yang merasa dirugikan berhak mengajukan tuntutan dalam wujud Produk gugatan” ke insitusi peradilan. ada Peradilan Umum/Pengadilan Negeri untuk gugatan Perdata, peradilan agama untuk perdata cerai muslim, ada Peradilan Tata Usaha Negera [PTUN] untuk guagatan kebijakan atau surat Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung untuk gugatan Judicial Review peraturan perundang-undangan di bawah undang – undang struktural ataupun sektoral,g dan gugatan ke Mahkamah konstitusi untuk gugatan perrtentangan undang-undang terhadap konstitusi (UUD 45).


Upaya gugatan terhadap RTRW Papua Barat artinya gugatan terhadap Produk Hukum Daerah pemerintah Propinsi Papua Barat yakni Perda No. 4 Tahun 2013. Menurut ilmu hukum Administrasi Negara, ada dua cara mengajukan keberatan (gugatan)  terhadap Perda RTRW Papua Barat, Pertama yang umum dikenal dengan gugatan Judicial Review/JR ke lembaga Mahkamah Agung RI. Di lembaga MA, hakim akan memeriksa materi gugatan yang berkaitan dengan konflik (pertentangan) norma Perda RTRW Papua Barat seperti sejauh mana Perda ini bertentangan dengan peraturan atau undang – undang yang lebih tinggi seperti UU Otsus Papua, UU Kehutanan, UU Migas atau juga Peraturan Pemerintah terkait. Jika ada pertentangan/konflik norma maka sepatutnya majelis hakim pemeriksa gugatan akan mengabulkan gugatan pemohon baik sebagian materi, ataupun seluruhnya tetapi bisa juga gugatan ditolak, apabila oleh Majelis hakim pemeriksa tidak ditemukan celah konflik norma di dalam implementasi Perda tersebut. 


Kedua, yang tidak banyak dikenal yaitu Executive Review/ER produk hukum Perda No. 4 tahun 2013, ER, biasanya dilakukan oleh Kemendagri untuk kepentingan evaluasi (Review) Produk hukum Perda dari Pemda dalam rangka harmonisasi, keselarasan dan keserasihan Perda dengan Peraturan perundangan – undangan yang lebih tinggi.

Proses ER dilakukan terhadap Perda yang tujuannya untuk PAD suatu Pemda, termasuk tata ruang, Jika ER yang dipakai artinya ada sejumlah konsep penolakan yang diajukan ke Kemedagri dengan klaim Perda RTRW Papua Barat dapat menimbulkan masalah yang serius bagi pemerintahan Propinsi Papua Barat, demi kepentingan pembangunan yang bermanfaat secara nasional atau lokal, kemendagri harus meminta Pemprov Papua Barat meninjau kembali produk hukum Perda No. 4 tersebut, inilah cara melakukan ER terhadap Perda. 



Dari kasus Perubahan RTRW Papua Barat mengancam khawasan hutan konservasi, kuat dugaan Timdu (tim terpadu) dalam melakukan kajian perubahan khawasan melewati tahapan – tahapan yang seharusnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur. berkenaan dengan kasus ini maka sewajarnya Gugatan terhadap RTRW Papua Barat harus memastikan adanya situasi konflik norma yang sedang terjadi. Misalnya Hutan Lindung [Hutan Lindung] harus ditetapkan dan tidak dapat dipertahankan dalam keadaan seperti apa demikian juga APL [Areal penggunaan lain]. 


Tidak ada upaya lain, selain Perda RTRW Propinsi Papua Barat harus dibawa ke dalam materi gugatan ke Mahkamah Agung.  Dalam teori ilmu hukum administrasi negara, fungsi kelembagaan Mahkamah Agung termasuk Mahkamah Konstitusi hanya sebatas “Negative Legislators” artinya, lembaga peradilan hanya bisa menyatakan, isi norma atau keseluruhan norma dalam peraturan perundang-undangan itu tidak memiliki kekuatan hukum bila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.   Hakim tidak dapat menambah norma baru ke dalam peraturan yang di Judicial Review.

Ketentuan ini memberikan makna bahwa kasus Perda RTRW Papua Barat adalah kasus penerapan hukum yang terdapat pertentangan pada sebagian atau dapat juga keseluruhan materi bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kembali untuk mengingat bahwa Judicial review ada dua jenis, yang pertama adalah JR terhadap materi dan yang kedua JR terhadap formalitas organ pembentuk peraturan/Perda RTRW. 


Kasus Perda RTRW Papua Barat harus dapat dilihat dan dicermati secara menyeluruh dan utuh serta dapat dituangkan dalam suatu analisa kritis, kemudian dapat digelar dalam workshop terbatas guna menerima berbagai pendapat hukum terutama. 


Kasus Perda RTRW Papua barat, secara formal bisa melibatkan/mempengaruhi institusi yang telah membuat kekeliruan kebijakan, misalnya insiatif pembentukan RTRW justru datang dari lembaga yang belum pernah melakukan study kewilayahan target dan termasuk proses assesment. Adapun faktor lain, RTRW Papua Barat didorong ke dalam forum paripurna eksekutif dan legislative yang tidak memeuhi standar atau tatib.


Sementara secara materiil, kasus RTRW papua Barat tidak lepas dari proses formal yang ilegal, materi muatan Perda RTRW Papua Barat dapat saja bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi misalnya peraturan pemerintah, peraturan presiden dan undang – undang. Secara praktis, Perda RTRW Papua Barat dapat digugat jika bertolak belakang dengan visi – misi Undang-undang yang lebih tinggi dapat diuraikan sebagai berikut :

Kebijakan/Undang-undang
Visi – Misi

UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok agraria
Konservasi sumber daya alam, pro rakyat dan berfungsi sosial, anti monopoli swasta, pembatasan kepemilikan dan mengedepankan nasionalisme
UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pertambangan

Eksploitasi bahan tambahng dan pro-kapital
UU No. 5 tahun 1990 tentang konsevasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
Konservasi dan pro rakyat.
UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan
Pertambangan, eksploitasi dan konservasi, namun lebih cenderung eksploitasi, masalahnya lebih pro-kapital dari pada pro-rakyat (sudah dibatalkan oleh Mahkamah konstitusi)
UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas
Eksploitasi dan pro – kapital
UU No. 7 tahun 2004 tentang sumber daya air.
Konservasi dan eksploitasi, fungsi sosial dan ada kecenderungan pro-kapital dengan persyaratan ketersediaan modal besar, tekhnologi tinggi dan manajemen usaha yang ahli
UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan
Eksploitasi, pro-kapital meskipun ada perhatian untuk nelayan kecil
UU No. 26 tahun 2007 tentang penata ruang
Konservasi dan pro-rakyat
UU No. 27 tahun 2007 tentang pengelolahan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Konservasi dan eksploitasi, pro rakyat tetapi juga pro-kapital
UU No. 18 tahun 2008 tentang pengelolahan sampah
Konservasi, pro-rakyat tetapi sekaligus membuka peluang pada kapital besar.



Posting ini bersambung .......

Sumber : Artikel Pribadi