Sejarah
RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Di Propinsi Papua Barat, konon simpang siur
proses penggodokannya sampai dengan ada areal wilayah yang sempat mengalami
status holding zone alias wilayah
yang dipending statusnya. RTRW Propinsi Papua Barat baru kemudian diisukan
telah disahkan sepenuhnya melalui produk hukum Perda Propinsi Papua Barat, yang
masih bersifat katanya Perda No. 4 tahun 2013.
Kalangan
LSM menilai produk RTRW Papua Barat mengancam khawasan konservasi yang
merupakan hak mutlak masyarakat, kemudian menggasa pertemuan pada, 7 – 8 Febuari
2014 di Holiday park Hotels, Manokwari, dari pertemuan tersebut menghasilkan
rekomendasi yang berisikan tuntutan terhadap pemerintah Propinsi Papua Barat supaya
menunda pengesahan RTRW Papua Barat. Ironisnya rekomendasi ini gagal memaksa
pihak pemerintah untuk melakukan penundaan terhadap RTRW, terpaksa jalan lain
untuk melakukan advokasi terhadap RTRW Pemda Papua Barat adalah melalui opsi gugatan
hukum.
Gugatan
itu sendiri sepengetahuan hukum pribadi tentu adalah “hak setiap orang, setiap
kelompok/organisasi ataupun badan hukum apapun yang merasa dirugikan berhak
mengajukan tuntutan dalam wujud Produk gugatan” ke insitusi peradilan. ada Peradilan
Umum/Pengadilan Negeri untuk gugatan Perdata, peradilan agama untuk perdata
cerai muslim, ada Peradilan Tata Usaha Negera [PTUN] untuk guagatan kebijakan
atau surat Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung untuk gugatan
Judicial Review peraturan perundang-undangan di bawah undang – undang
struktural ataupun sektoral,g dan gugatan ke Mahkamah konstitusi untuk gugatan perrtentangan
undang-undang terhadap konstitusi (UUD 45).
Upaya
gugatan terhadap RTRW Papua Barat artinya gugatan terhadap Produk Hukum Daerah
pemerintah Propinsi Papua Barat yakni Perda No. 4 Tahun 2013. Menurut ilmu
hukum Administrasi Negara, ada dua cara mengajukan keberatan (gugatan) terhadap Perda RTRW Papua Barat, Pertama yang umum dikenal dengan gugatan
Judicial Review/JR ke lembaga
Mahkamah Agung RI. Di lembaga MA, hakim akan memeriksa materi gugatan yang
berkaitan dengan konflik (pertentangan) norma Perda RTRW Papua Barat seperti
sejauh mana Perda ini bertentangan dengan peraturan atau undang – undang yang
lebih tinggi seperti UU Otsus Papua, UU Kehutanan, UU Migas atau juga Peraturan
Pemerintah terkait. Jika ada pertentangan/konflik norma maka sepatutnya majelis
hakim pemeriksa gugatan akan mengabulkan gugatan pemohon baik sebagian materi,
ataupun seluruhnya tetapi bisa juga gugatan ditolak, apabila oleh Majelis hakim
pemeriksa tidak ditemukan celah konflik norma di dalam implementasi Perda
tersebut.
Kedua,
yang tidak banyak dikenal yaitu Executive
Review/ER produk hukum Perda No. 4 tahun 2013, ER, biasanya dilakukan oleh
Kemendagri untuk kepentingan evaluasi (Review) Produk hukum Perda dari Pemda
dalam rangka harmonisasi, keselarasan dan keserasihan Perda dengan Peraturan perundangan
– undangan yang lebih tinggi.
Proses
ER dilakukan terhadap Perda yang tujuannya untuk PAD suatu Pemda, termasuk tata
ruang, Jika ER yang dipakai artinya ada sejumlah konsep penolakan yang diajukan
ke Kemedagri dengan klaim Perda RTRW Papua Barat dapat menimbulkan masalah yang
serius bagi pemerintahan Propinsi Papua Barat, demi kepentingan pembangunan
yang bermanfaat secara nasional atau lokal, kemendagri harus meminta Pemprov
Papua Barat meninjau kembali produk hukum Perda No. 4 tersebut, inilah cara
melakukan ER terhadap Perda.
Dari
kasus Perubahan RTRW Papua Barat mengancam khawasan hutan konservasi, kuat
dugaan Timdu (tim terpadu) dalam melakukan kajian perubahan khawasan melewati
tahapan – tahapan yang seharusnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur. berkenaan dengan kasus ini maka sewajarnya Gugatan terhadap RTRW Papua
Barat harus memastikan adanya situasi konflik norma yang sedang terjadi.
Misalnya Hutan Lindung [Hutan Lindung] harus ditetapkan dan tidak dapat
dipertahankan dalam keadaan seperti apa demikian juga APL [Areal penggunaan
lain].
Tidak
ada upaya lain, selain Perda RTRW Propinsi Papua Barat harus dibawa ke dalam
materi gugatan ke Mahkamah Agung. Dalam
teori ilmu hukum administrasi negara, fungsi kelembagaan Mahkamah Agung
termasuk Mahkamah Konstitusi hanya sebatas “Negative
Legislators” artinya, lembaga peradilan hanya bisa menyatakan, isi norma
atau keseluruhan norma dalam peraturan perundang-undangan itu tidak memiliki
kekuatan hukum bila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Hakim tidak dapat menambah
norma baru ke dalam peraturan yang di Judicial
Review.
Ketentuan
ini memberikan makna bahwa kasus Perda RTRW Papua Barat adalah kasus penerapan
hukum yang terdapat pertentangan pada sebagian atau dapat juga keseluruhan
materi bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kembali untuk mengingat
bahwa Judicial review ada dua jenis, yang pertama adalah JR terhadap materi dan
yang kedua JR terhadap formalitas organ pembentuk peraturan/Perda RTRW.
Kasus
Perda RTRW Papua Barat harus dapat dilihat dan dicermati secara menyeluruh dan
utuh serta dapat dituangkan dalam suatu analisa kritis, kemudian dapat digelar
dalam workshop terbatas guna menerima berbagai pendapat hukum terutama.
Kasus
Perda RTRW Papua barat, secara formal bisa melibatkan/mempengaruhi institusi
yang telah membuat kekeliruan kebijakan, misalnya insiatif pembentukan RTRW
justru datang dari lembaga yang belum pernah melakukan study kewilayahan target
dan termasuk proses assesment. Adapun faktor lain, RTRW Papua Barat didorong ke
dalam forum paripurna eksekutif dan legislative yang tidak memeuhi standar atau
tatib.
Sementara
secara materiil, kasus RTRW papua Barat tidak lepas dari proses formal yang
ilegal, materi muatan Perda RTRW Papua Barat dapat saja bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi misalnya peraturan pemerintah, peraturan presiden dan
undang – undang. Secara praktis, Perda RTRW Papua Barat dapat digugat jika
bertolak belakang dengan visi – misi Undang-undang yang lebih tinggi dapat
diuraikan sebagai berikut :
Kebijakan/Undang-undang
|
Visi
– Misi
|
UU No. 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok agraria
|
Konservasi
sumber daya alam, pro rakyat dan berfungsi sosial, anti monopoli swasta,
pembatasan kepemilikan dan mengedepankan nasionalisme
|
UU No. 11
tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pertambangan
|
Eksploitasi
bahan tambahng dan pro-kapital
|
UU No. 5 tahun
1990 tentang konsevasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
|
Konservasi dan
pro rakyat.
|
UU No. 41
tahun 1999 tentang kehutanan
|
Pertambangan,
eksploitasi dan konservasi, namun lebih cenderung eksploitasi, masalahnya
lebih pro-kapital dari pada pro-rakyat (sudah dibatalkan oleh Mahkamah
konstitusi)
|
UU No. 22
tahun 2001 tentang Migas
|
Eksploitasi
dan pro – kapital
|
UU No. 7 tahun
2004 tentang sumber daya air.
|
Konservasi dan
eksploitasi, fungsi sosial dan ada kecenderungan pro-kapital dengan
persyaratan ketersediaan modal besar, tekhnologi tinggi dan manajemen usaha
yang ahli
|
UU No. 31
tahun 2004 tentang perikanan
|
Eksploitasi,
pro-kapital meskipun ada perhatian untuk nelayan kecil
|
UU No. 26
tahun 2007 tentang penata ruang
|
Konservasi dan
pro-rakyat
|
UU No. 27
tahun 2007 tentang pengelolahan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
|
Konservasi dan
eksploitasi, pro rakyat tetapi juga pro-kapital
|
UU No. 18
tahun 2008 tentang pengelolahan sampah
|
Konservasi,
pro-rakyat tetapi sekaligus membuka peluang pada kapital besar.
|
Posting ini bersambung .......
Sumber : Artikel Pribadi