WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Jumat, Oktober 19

"Menyimak Rencana Australia Mengakui Yerusalem"

Perdana Menteri Australia (Scott Morrison) beberapa hari ini menjadi heboh pada media - media Nasional Indonesia akibat pernyataanya yang "mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Izrael dan tengah mengkaji rencana pemerintah Australia memindahkan kantor Kedutaan Besar dari kota Tel Aviv ke Jerusalem".

Pemerintah Australia di PBB (United Nation) menyatakan sikap abstain ketika PBB menggelar sidang darurat merespon keputusan Donald Trump (US President) yang mengakui Yerusalem ibu Kota Izrael pada awal Desember 2017 lalu. Ketika itu tercatat 128 Negara menentang keputusan Donald Trump, 9 Negara mendukung dan 33 Negara menyatakan sikap abstain termasuk Australia.

Melalui adanya putusan Perdana Menteri Australia ini, kecaman kemudian bermunculan dalam Negeri Indonesia terhadap Australia. Pemerintah Indonesia adalah negara yang cukup aktif dibarisan terdepan mendukung perjuangan politik Palestina dan menentang Izrael yang dianggap mencaplok kedaulatan Palestina atas wilayahnya. 

Jakarta kemudian merasa terusik terhadap tetangga baiknya (Australia) yang diam-diam justru mendukung pengakuan atas Jerusalem sebagai ibu Kota Izrael. dan oleh hal itu rencana penandatanganan perjanjian dagang Australia - Indonesia terancam macet tahun ini.

Efek Konstelasi Politik Indonesia

Ada beberapa situasi yang bakal mempengaruhi hubungan Indonesia - Australia, salah satunya meningkatnya konstelasi politik nasional jelang Pemilu Presiden Tahun 2019 nanti. Capres Petahana, Jokowi tentu sangat hati-hati untuk mempertimbangkan upaya mempertahankan masa pendukungnya yang tentu mayoritas umat muslim. 

Diketahui, Mayoritas muslim Indonesia sangat aktif berkampanye mendukung perjuangan palestina bahkan mengutuk Izrael yang dianggap ilegal menduduki Jerusalem.
SItuasi justru akan berdampak pada upaya menarik simpati rakyat dengan mengecam Australia termasuk potensi ancaman perjanjian perdagangan bilateral kedua Negara itu.

Efek Papua

Pada sisi lain, Jakarta sangat juga berhati-hati atas kebanyak politikus ulung di Negeri Kanguru sering sependapat dengan aktifis-aktifis Hak Asasi Manusia termasuk kalangan akademisi Australia yang rutin mendukung kampanye Hak Asasi Manusia. Entahlah jika ini terlalu naif untuk menyimak relasi Jakarta - Canberra dan soal Papua. 

Akan tetapi fakta itu tidak terbantahkan, Sekolah Komando Pasukan Khusus (SAS) Australia di Perth kabarnya tahun 2016 lalu pernah menyediakan esai  bagi prajurit pasukan elit untuk menyatakan Papua harus merdeka karena merupakan bagian dari rumpun ras Melanesia".

Selain Australia yang mengakui Jerussalem sebagai Ibu Kota Izrael terdapat beberapa Negara lainnya yang mendukung seperti Guatemala, Honduras, Marshall Island, Mikronesia, Nauru, Palau, Togo dan Amerika Serikat.

Keputusan Australia saat ini mengisyaratkan dukungan serupa bisa saja menyusul  dari 33 Negara yang abstain pada hasil sidang darurat PBB Desember 2017 lalu.***Black_Fox