WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Minggu, Desember 8

Otsus Papua Gagal dan RUUPP Tak Partispatif

Potret Kegagalan Otsus Membangun Papua.
[Foto : Karya Majalah Honai]
Oleh Roy Y. Simbiak

Istilah Otonomi Khusus Plus tidak dikenal dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yang mengatur tentang sistim ketatanegaraan kita, sehingga pejabat ditanah Papua tidak perlu lagi menyebut Otonomi Khusus Plus karena dalam terminologi hukum dapat membingungkan publik. Pemerintahan dengan sifat Otonomi Khusus diatur dalam UUD 1945 Amandemen Ke II pasal 18B ayat (1) : “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Dari pasal tersebut diatas memberikan pemahaman bahwa tidak ada istilah Otonomi Khusus Plus yang benar adalah pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa berdasarkan latar belakang pembentukan pemerintahan daerah tersebut (baca Provinsi). Pemerintah daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa inilah yang dapat melaksanakan desentralisasi asimetris. Desentralisasi Asimetris adalah desentralisasi yang berbeda dengan desentralisasi daerah pada umumnya sebagaimana diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


Oleh karena itu istilah Otonomi Khusus Plus Papua yang selama ini didengung-dengungkan dapat dianggap semacam “bunga-bunga atau gula-gula politik” saja karena penambahan frasa “Plus” di depan kata Otonomi Khusus adalah untuk menarik simpati dari rakyat Papua agar mendukung perubahan atas Undang-undang Otonomi Khusus Papua menjadi Undang-undang Pemerintahan Papua (UUPP). Pertanyaannya adalah mengapa UU Otsus Papua dirubah menjadi Undang-undang Pemerintahan Papua? Perubahan ini murni dari Pemerintahan Papua atau tawaran dari Pemerintah Pusat? Rakyat Papua memahami dengan benar bahwa usulan perubahan atas UU Otsus Papua menjadi UU Pemerintahan Papua datang dari Pemerintah Pusat yang ditindaklanjuti oleh Velix Wanggai, selaku staf khusus Presiden SBY yang kemudian mendapat dukungan dari Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, MRP, MRPB, DPRP, DPRPB dan beberapa Akademisi Unversitas Cenderawasih.  Pengkondisian terhadap perubahan atas Undang-undang Otsus Papua dilakukan secara elegan sehingga seakan-akan perubahan atas Undang-undang ini merupakan kemauan dari rakyat Papua.  Biasanya proses pembentukan suatu undang-undang ini diawali dengan terbentuknya suatu ide atau gagasan tentang perlunya penganturan terhadap suatu permasalahan, yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan mempersiapkan rancangan undang-undang baik oleh Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah, kemudian pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan bersama, dilanjutkan dengan pengesahan dan diakhiri dengan pengundangan.  Alasan dari pihak yang memaksakan perubahan atas Otsus Papua menjadi UU Pemerintahan Papua atau Otsus Plus Papua  ini dikarenakan implementasi Otsus Papua dianggap tak dirasakan manfaatnya hingga saat ini. Perubahan signifikan dalam kehidupan bagi orang asli Papua juga dianggap tak terlihat. Pemerintah Provinsi Papua mengklaim UU Pemerintahan Papua tak akan menghilangkan semangat Otsus, tapi lebih pada perluasan kewenangan dan kebijakan serta tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan  sehingga tidak ada kepastian hukum dalam implementasi Undang-undang Otonomi Khusus Papua.

OTSUS GAGAL

Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Budi Santoso yang juga Ketua Pengawasan Otsus Papua dan Aceh mempertanyakan langkah pemerintah menetapkan perluasan otonomi khusus Papua atau yang disebut sebagai Otonomi Khusus Plus Papua. DPR meminta pemerintah menghormati dan mengimplementasikan UU Otsus Papua yang sudah ada saat ini. DPR sendiri juga mempertanyakan apa yang dimaksud oleh Presiden tentang otsus plus ini. Kita semua seharusnya mengacu pada UU Otsus Papua yang dengan susah payah kita telah undangkan dan UU Otsus Papua harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen.Pertanyaan dari DPR dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang yaitu penilaian terhadap kinerja pemerintah tentang implementasi Undang-undang Otonomi Khusus Papua.

Kinerja pemerintah pusat dan pemerintah daerah baik di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat memprihatinkan kita semua karena sekian triliunan rupiah yang sudah diberikan kepada pemerintah daerah tetapi rakyat di tanah papua masih miskin, termajinalisasi, pelayanan kesehatan yang buruk, pelayan pendidikan yang buruk dan angka buta huruf yang masih tinggi. Permasalahan tersebut juga diakibatkan karena tata kelola pemerintahan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat masuk dalam kategori tata kelola pemerintahan yang buruk dan tidak berwibawa, korupsi yang menggurita di birokrasi serta penegakkan hukum yang buruk di tanah Papua.  Selain itu juga beberapa ketentuan atau perintah dari Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang belum dibentuk yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pengadilan HAM dan Komisi Hukum Ad Hoc, ini membuktikan bahwa pemerintah pusat dan daerah tidak serius dalam melaksanakan Undang-undang Otsus Papua, dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan UU Otonomi Khusus di Papua gagal.
Perubahan  atas UU Otsus Papua yang dilakukan oleh Tim Asistensi Provinsi bersama beberapa Akademisi Universitas Cenderawasih (penyusun Naskah Akademik) ini menimbulkan polemik karena ada beberapa pasal yang di masukkan dalam draf RUU Pemerinatah Papua dikutip dari  UU No.16 Tahun 2006 tentang  Pemerintahan Aceh yaitu yang mengatur perihal tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia di Aceh, Pemberhentian Kepala Kepolisian Aceh dan  komunikasi dan informasi. Pertanyaannya apakah tidak ada nama lain selain UUPP?  

Beberapa pakar hukum tata negara menyatakan bahwa penggunaan istilah “Pemerintahan Aceh” sebagai nama dari UU No. 11 Tahun 2006 tersebut merupakan suatu yang tidak lazim dalam sistem perundang-undangan nasional. Berbeda dengan daerah lainnya yang menggunakan istilah “Pemerintahan Daerah Provinsi”. Penggunaan istilah tersebut sangat tidak sesuai dengan UUD 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tidak terdapatnya istilah “daerah provinsi” di depan istilah “pemerintah” dalam “Pemerintah Aceh” sangat mirip dengan istilah “Pemerintah Republik Indonesia” yang menunjuk pada makna pemerintahan sebuah negara, bukan sebuah daerah. Maka istilah “Pemerintahan Papua” juga akan mengandung pengertian yang sama dengan uraian diatas. Tim Asistensi harus menjelaskan kepada rakyat Papua mengapa menggunakan istilah “Pemerintahan Papua”.  



Di dalam Pasal 1 ayat 11, Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjwabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsin atau Rancangan Peraturan Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Kaitan dengan ketentuan tersebut diatas, Prof. Dr Hikmahanto Juwana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan bahwa didalam menyusun Naskah Akademik harus dilakukan riset mendalam sebagai dasar penyusunan Naskah Akademik. Riset dalam penyusunan undang-undang dilakukan untuk mengetahui dan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan: Apa yang menjadi masalah di masyarakat? Apa yang seharusnya diatur? Apakah ketentuan yang hendak diatur cukup realistis? Bagaimana infrastruktur pendukung untuk menegakkan aturan? Adakah peraturan perundang-undangan yang berpotensi untuk berbenturan? Melalui Naskah Akademik, dapat dilihat bahwa setiap rancangan undang-undang tidak disusun karena kepentingan sesaat, kebutuhan yang mendadak, atau karena pemikiran yang tidak mendalam. Apabila kita merujuk pada pasal dan pendapat tersebut diatas, maka pertanyaannya adalah apakah Tim Asistensi Provinsi Papua,  Tim Asistensi Provinsi Papua Barat, MRP, MRPB, DPRP, DPRPB dan beberapa Akademisi Universitas Cenderawasih sudah melakukan apa yang disampaikan oleh  Hikmanto Juwana? Jawabannya adalah belum, akibatnya terjadi penolakan yang datang dari berbagai elemen  masyarakat di tanah Papua, yaitu Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokok Perempuan, Akademisi, Pengacara, Mahasiswa, OKP, LSM, dan berbagai kelompok yang peduli terhadap pembangunan di Papua.

Dalam pembuatan undang-undang perlu juga memprediksikan kebaikan dan keburukan yang akan terjadi nanti apabila undang-undang yang baru apabila diimplementasikan, juga menjelaskan secara jelas bagaimana ketentuan-ketentuan  dalam undang-undang yang merupakan hasil revisi menimbulkan perubahan-perubahan signifikan bagi rakyat papua. Rakyat Papua juga berharap adanya jaminan (garantie) dari pemerintah pusat dan pemerintahan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.  Suatu aturan harus didukung oleh kondisi sosial  yang cukup, sarana yang memadai bagi organ atau dinas yang melaksanakan suatu peraturan, dukungan keuangan yang cukup, dan sanksi yang sesuai. Pengalaman yang sering terjadi dalam pelaksanaan suatu undang-undang di Indonesia menunjukkan bahwa banyak undang-undang yang telah dinyatakan berlaku dan diundangkan, tetapi kemudian tidak dapat dilaksanakan. Keberatan yang diajukan oleh masyarakat, menuntut agar undang-undang ini dibatalkan atau direvisi. 

Partisipasi Masyarakat
Di dalam Pasal 96  ayat 1 s/d 4 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan melalui ; a). Rapat dengar pendapat umum, b). Kunjungan Kerja c). Sosialisasi dan/atau d). Seminar, Lokakarya, dan /atau diskusi. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, maka setiap Rancangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Dari ketentuan tersebut diatas sudah jelas bahwa dalam pembentukan sebuah undang-undang masyarakat dilibatkan karena undang-undang pada saat dilaksanakan setiap warga negara dianggap sudah tahu apalagi undang-undang ini bersifat mengikat, mengatur dan adanya sanksi hukum, sehingga partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang wajib untuk dilibatkan.  Tapi dalam kenyataannya rakyat papua tidak dilibatkan mulai dari perencanaan, penyusunan dan pembahasan perubahan atas UU Otsus  Papua yang kemudian disusunlah draf RUU Pemerintah Papua. Langkah yang ditempuh oleh Pemerintahan Papua, Pemerintahan Papua Barat, MRP, MPRP, DPRP, DPRPB dan beberapa Akademisi Universitas Cenderawasih, ini menunjukkan sikap yang tidak demokratis dan juga tidak sepenuhnya mewakili rakyat papua tetapi hanya mewakili kepentingan elit-elit politik tertentu saja serta terkesan terburu-buru karena ada pesan sponsor. 

Pembahasan perubahan atas Undang-undang Otsus Papua yang diusulkan ke Pemerintah untuk dibahas oleh DPR dan Presiden untuk  mendapat persetujuan bersama sehingga Presiden mengesahkan rancangan Undang-undang Pemerintah Papua menjadi Undang-undang sebaiknya untuk sementara ditunda dulu karena ada beberapa alasan sebagai berikut;  Pertama; Pemerintah Papua dan Papua Barat sebaiknya lebih menfokuskan perhatian pada penyelenggaran pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014,  apalagi Daftar Pemilih Tetap (DPT) di kedua provinsi ini masih bermasalah; Kedua ; RUU PP tidak masuk dalam skala proritas program legislasi nasional (Prolegnas), Ketiga; Kinerja DPR RI sekarang ini dalam pembahasan sebuah RUU menjadi UU tidak maksimal karena banyak anggota DPR RI yang maju kembali pada pemilu legislatif 2014 sehingga lebih banyak melakukan sosialisasi ke daerah pemilihannya, Keempat; Perubahan atas UU Otsus Papua yang diusulkan oleh pemerintah Papua dan Papua Barat kemudian dibahas bersama-sama dengan Pemerintah Pusat ini mendapat penolakan dari sebagian besar rakyat Papua  karena melanggar ketentuan-kententuan yang diatur dalam pasal 77 dan pasal 78  Undang-undang  Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, sehinga harus dilakukan dialog dengan rakyat Papua untuk membahas perubahan atas Undang-undang Otsus  Papua. Apabila tidak ada dialog dengan rakyat papua maka dapat dilakukan upaya politik dan hukum, yaitu melakukan hearing dengan DPR RI tentang alasan penolakan serta melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi berdasarkan Hukum Acara Pengujian Undang-Undang dengan catatan apabila RUU Pemerintah Papua (RUUPP) disahkan menjadi Undang-undang.

Sumber : tulisan ini diterima dari Penulis (Roy Y. Simbiak Pengamat Otsus Papua) via email.