|
Gedung Pengadilan TIPIKOR Papua Barat (Doc Foto Pribadi) |
Personal Artikel
Beberapa waktu
lalu (Sabtu, 23/08/2014) sejumlah harian Media lokal Manokwari merilis
pernyataan mengejutkan datang dari Ketua PN (Pengadilan Negeri) Manokwari
mengenai capaian Pengadilan Tindak pidana Korupsi Papua Barat, Per-Januari – Agustus 2014 dalam menyidangkan
perkara tindak pidana korupsi. Ketua PN Manokwari, Maryono, SH, M.Hum mengatakan
bahwa “Sejak, Januari sampai dengan Agustus 2014, Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Papua Barat telah menyidangkan 27 Perkara Tindak Pidana Korupsi, 14
kasus sudah diputuskan, sedangkan sisanya 13 perkara masih dalam proses
persidangan”, Demikian pernyataan yang datang dari Ketua PN yang merangkap
sebagai Ketua Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Papua Barat.
Pengadilan Tipikor
Papua Barat selama ini dikenal oleh masyarakat Papua Barat terutama, sebagai satu-satunya
Pengadilan Tipikor di wilayah Propinsi Papua Barat, namun tidak banyak yang
mengetahui pengadilan yang dibentuk berdasarkan pasal 54 UU No. 30 Tahun 2002 ini sudah seberapa jauh berandil dalam
mengurangi praktik kejahatan korupsi birokrat di Papua Barat atau paling tidak
ada efek jerah bagi pelaku (Koruptor), sehingga jumlah kasus berkurang.
Saat ini,
masyarakat mengetahui dengan pasti bahwa prevalensi angka korupsi terbesar ketiga
Di Indonesia yang digenggam Propinsi ini (Papua Barat) tidak seimbang dengan
volume pembangunan terutama sarana dan prasarana sosial yang mengalami
peningkatan. Pada awal tahun 2014
misalnya, release BPK RI tahun 2014 terdapat 478 Kasus serta temuan kerugian
negara 207.395 Miliyar di Propinsi papua Barat. Menyimak sejumlah pemberitaan
di media-media lokal yang sangat pro-aktif meliput perkara korupsi di
Pengadilan Tipikor Papua barat, diketahui tindak pidana korupsi melibatkan
pejabat kalangan atas, kejahatan ini secara masif menjalar pada struktur organ Pemerintahan
Daerah, Eksekutif, Legislatif maupun organ kelembagaan kultur Orang Asli Papua
(MRPB) juga tidak luput dari sasaran kejahatan ini. Dampaknya bongkar pasang posisi (Jabatan) kerap kali
terjadi di jajaran Pemerintahan Propinsi dan Kabupaten Kota di Wilayah Papua
Barat, lantaran sejumlah pejabat terlibat dalam kasus sehingga harus menjalani
persidangan sebagai tersangka atau menjalani masa hukuman sebagai terpidana korupsi.
Meskipun di
Propinsi Papua Barat telah berdiri dua lembaga auditor masing – masing BPKP
(Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) Perwakilan Propinsi Papua Barat dan
BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan) yang berdampingan ataupun sebagai mitra
Pemerintah Daerah yang selalu aktif
menyediakan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) untuk skala kepentingan perbaikan
laporan Pemerintah Daerah (LKPD) “akan tetapi laju kasus korupsi di atas seperti
sebuah paradoks yang mengarah pada ketidakberdayaan aparatur pemerintah”.
Ironisnya, BPKP Perwakilan Papua Barat yang selama ini menjadi partner Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/ Kota di Papua Barat, justru pada bulan Mei 2014 kemarin,
mempublikasikan temuan kerugian Negara di Papua Barat Periode Januari – Mei menembus
nilai rupiah 13 Miliyar lebih, tentunya sangat riskan sekali fakta-fakta
tersebut, aparatur birokrasi ternyata begitu mudah tersandera kasus hukum
disektor anggaran. Fakta legitimasi maraknya kasus-kasus korupsi di Papua Barat
pernah diungkap oleh salah seorang pejabat DPR PB Periode 2009 – 2014, secara
terang-terangan mengaku pada sesi wawancara dengan penulis untuk topik lain
(bukan korupsi) bahwa, “...Media terlalu ceroboh memblow- up kasus korupsi, mereka (media) tidak melihat situasi yang
dihadapi dewan, ada banyak masyarakat datang minta bantuan dan lain sebagainya,
terpaksa kita harus ambil uang yang ada untuk diserahkan kepada masyarakat”,
jika tidak mereka akan bilang apa kepada dewan”, demikian jawaban singkat yang
diberikan berkaitan dengan permasalahan penyimpangan anggaran di Papua
Barat.
Dari uraian keseluruhan kondisi di atas
kemudian mengindikasikan sebuah paradoks mengenai kasus penyimpangan anggaran
yang melanggar UU No. 31 tahun 1999 dan atau yang telah diubah dengan UU No. 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor benar - benar terjadi di Propinsi
Papua barat. Kondisi ini mengirim sinyal Persepsi sosial bahwa di satu sisi
masyarakat layak mengapresiasi Pengadilan Tipikor Papua Barat, berkenaan dengan
wujud keseriusannya dalam memberantas terjadinya kasus korupsi pada jajaran
pemerintahan Propinsi dan Kabupaten/Kota di Papua Barat, akan tetapi sebaliknya
pada sisi lainnya pernyataan ketua PN Manokwari tersebut mengindikasikan sebuah
paradoks yang cukup menggelisahkan dan bahkan menuai keragu-raguan publik,
kesannya tindakan prefentif penegakan hukum pemberantasan Korupsi ternyata belum
mampu menahan laju kerugian Negara yang terjadi di Propinsi Papua Barat.
Lantas pertanyaanya, akankah progress (kemajuan)
penegakan hukum melalui Pengadilan Tipikor ini hanya sekedar menjalankan tugas
pengadilan Tipikor Papua Barat ? atau asumsi lainnya pengadilan Tipikor sebagai
penegak citra postif PN Manokwari dari kesan negatif masyarakat berkaitan
dengan putusan-putusan kontroversi kasus-kasus Non-Tipikor, atau proses hukum
di Pengadilan Tipikor hanya upaya mengelabui masyarakat dari kasus – kasus
biasa (kecil) sembari menutupi kasus kejahatan berskala besar yang terjadi di
Propinsi Papua Barat.dari uraian asumsi di atas inilah yang kemudian menurut
pendapat pribadi saya pertama rangking korupsi yang sementara dilidik maupun
disidik melalui temuan BPK RI ataupun BPKP adalah “ujian pada sebuah Paradoks,
apakah upaya penegakan hukum melalui institusi penegak hukum di peradilan sudah
seberapa mampu membuktikan komitment penegakan hukum tindak pidana Korupsi.
Kedua Kejahatan
tindak pidana korupsi adalah kasus yang oleh ahli disebut kejahatan luar biasa extra-ordinary crime, dengan demikian
dalam memberantas kejahatan ini tidak sekedar menjalankan fungsi peradilan,
akan tetapi integritas, komitment serta kapasitas intelektual aparatur
pro-justitia sangat diharapkan. Sebab hal yang paling utama dari sebuah
paradoks sebuah kasus korupsi di papua barat adalah fungsi aparatur.
Bravo keadilan.
Artikel ini telah di muat pada harian local Manokwari "Cahaya Papua" Edisi, Rabu, 3 September 2014.